KABARBURSA.COM – Ramadan dan Idulfitri tahun 2025 disebut tak semarak menggerakkan perekonomian Tanah Air. Masalahnya, konsumsi rumah tangga masih lesu hingga pekan ketiga bulan Ramadan tahun ini. Ini terjadi lantaran pemerintah dinilai tak memahami akar masalah dari pelemahan daya beli di tengah masyarakat.
Center of Reform on Economics atau CORE Indonesia mengungkap temuan bahwa pemerintah tak mampu memanfaatkan momentum bulan puasa dan lebaran untuk mengerek konsumsi rumah tangga. Hal ini disampaikan melalui risetnya, “CORE Insight: Awas Anomali Konsumsi Jelang Lebaran 2025”.
“Data-data ekonomi yang biasanya mencerminkan tren konsumsi rumah tangga tidak menunjukkan ‘gairah’ konsumsi yang meyakinkan,” tulis riset CORE Indonesia yang diterbitkan Rabu, 26 Maret 2025.
Alih-alih masyarakat ramai berbelanja untuk kebutuhan Ramadan dan Hari Raya, CORE Indonesia menangkap sinyal masyarakat mengerem rutinitas itu. Gejala ini sudah ada sejak awal tahun 2025, melihat laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat deflasi. Pada Februari, deflasi secara bulanan (month on month/mom) berada pada angka 0,48 persen, sedangkan secara tahunan (year on year/yoy) sebesar 0,09 persen. Dari awal tahun (year to date/ytd), deflasi nasional sebesar 1,24 persen.
Selain itu, Mandiri Spending Indeks pertama kali minus sepekan jelang Ramadan dengan angka sebesar 0,04 persen. Padahal, periode yang sama tahun 2023 dan 2024 masing-masing mencatatkan tumbuh sebesar 5,5 persen dan 4,2 persen. Ini mengindikasikan besaran belanja masyarakat yang terjadi periode Ramadan.
“Janggalnya, deflasi pada Februari 2025 juga terjadi pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau, dengan andli sebesar 0,12 persen mom,” sambungnya. Padahal pada bulan yang sama tahun sebelumnya, kelompok pengeluaran ini memberi andil inflasi sebesar 0,29 persen (mom) dan 0,13 persen pada Februari 2023.
Data Indeks Penjualan Riil (IPR) Bank Indonesia (BI) diprediksi mendukung laporan BPS. Pasalnya, IPR Februari 2024 diperkirakan merosot 0,5 persen (yoy) yang dipengaruhi turunnya penjualan kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 1,7 persen. Data IPR bisa menggambarkan pergerakan konsumsi rumah tangga karena mencerminkan tingkat penjualan eceran meskipun hanya di beberapa kota besar di Indonesia.
Apabila kembali dikaitkan dengan momen perayaan Hari Raya, Survei Potensi Pergerakan Masyarakat Angkutan Lebaran 2025 yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunjukkan bahwa jumlah pemudik diprediksi mencapai 146,48 juta, lebih rendah 24 persen dibandingkan pada periode 2024 yang mencapai 193,6 juta. Ini menjadi indikasi penurunan belanja rumah tangga, khususunya kelompok menengah dan menengah ke bawah, karena mengurungkan niat mudik ke kampung halaman.
“Mengapa anomali konsumsi terjadi? CORE Indonesia menilai kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, sulitnya mencari pekerjaan layak bagi pekerja kerah putih, dan melambatnya pertumbuhan upah riil di sektor industri, perdagangan, pertanian, dan jasa lainnya, menjadi penyebab anomali konsumsi rumah tangga menjelang lebaran 2025,” ungkap riset tersebut.
CORE Indonesia menilai bahwa pelemahan daya beli masyarakat menjelang Ramadan dan Idulfitri 2025 yang dibiarkan terus menerus, kemungkinan menggerus kinerja ekonomi domestik dan menurunkan kualitas hidup masyarakat pada umumnya. Jika ini dibiarkan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada semester I 2025 dapat melambat signifikan.
Bagi CORE Indonesia, terimpitnya rumah tangga yang ditandai dengan menurunnya kemampuan daya beli adalah akumulasi masalah struktural dalam ekonomi Indonesia. “Sayangnya, pemerintah tak paham masalah pelemahan daya beli masyarakat dan faktor akumulatif ini,” tegasnya.
Yang dilakukan oleh pemerintah melalui paket stimulus sejak akhir 2024 dan periode bulan Ramadan ini tak membantu mengatasi masalah utama. Stimulus masih menjadi solusi jangka pendek. Selain itu, efektivitas skema ini masih menjadi tanda tanya lantaran tidak tepatnya sasaran berupa inclusion error dan exclusion error.
Padahal, sambungnya, selepas lebaran tidak ada pengungkit yang kuat bagi masyarakat untuk mendorong belanja. Jika situasi semakin buruk, tentu pertumbuhan ekonomi pada semester I berpotensi melemah cukup signifikan.
Oleh karena itu, CORE Indonesia telah memetakan tiga faktor utama yang menjadi tantangan besar. Pertama, stagnasi mobilitas sosial. Mobilitas sosial yang stagnan menjadi indikasi bahwa kelas menengah Indonesia semakin rentan tergelincir ke bawah.
“Alih-alih menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang kuat, banyak rumah tangga kelas menengah kini kembali masuk kategori calon kelas menengah, bahkan sebagian semakin dekat dengan kelompok rentan miskin,” ucap riset itu.
Situasi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir belum cukup inklusif untuk memastikan keberlanjutan kesejahteraan bagi masyarakat luas. Kondisi ini, dampaknya tidak hanya pada daya beli, tetapi juga pada stabilitas sosial dan ekonomi dalam jangka panjang.
Akibatnya, yang kedua, banyak tenaga kerja yang terpaksa beralih ke sektor dengan produktivitas dan tingkat kesejahteraan yang lebih rendah, menciptakan tekanan ekonomi yang lebih besar bagi rumah tangga.
“Ketiga, tekanan terhadap upah riil di sektor-sektor strategis. Tekanan terhadap upah riil di sektor strategis seperti manufaktur dan perdagangan semakin mempersempit ruang konsumsi masyarakat,” jelas CORE Indonesia.
Dalam risetnya tersebut, ditemukan bahwa strategi yang lebih menyeluruh, mencakup kebijakan industri yang lebih kuat, penciptaan lapangan kerja berkualitas, serta perlindungan upah dan kesejahteraan pekerja, menjadi langkah krusial yang harus dilakukan pemerintah. Tujuan utamanya, agar daya beli masyarakat dapat pulih secara berkelanjutan.
“Kuncinya, reformasi struktural jangka menengah hingga panjang merupakan kunci utama keberlanjutan daya beli masyarakat, yang didukung oleh langkah-langkah stabilisasi jangka pendek,” tutup laporan itu. (*)