Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ini Konsekuensi Indonesia Gabung NDB: Langkah BRICS

Bahwa keberadaan NDB dengan modal sebesar 100 miliar USD dapat mengubah lanskap kebutuhan pembiayaan pembangunan.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 26 March 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Pramirvan Datu
Ini Konsekuensi Indonesia Gabung NDB: Langkah BRICS Para pemimpin negara dan pejabat tinggi dari anggota BRICS serta negara-negara undangan berkumpul untuk sesi foto bersama di KTT BRICS Plus 2024 di Kazan, Rusia.

KABARBURSA.COM - Indonesia resmi bergabung dengan New Development Bank (NDB), lembaga keuangan yang didirikan oleh negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan). Keanggotaan ini diharapkan dapat membuka peluang baru bagi pembiayaan pembangunan berkelanjutan dan infrastruktur, terutama bagi negara-negara berkembang di kawasan selatan.

Mantan Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta, menilai bahwa keberadaan NDB dengan modal sebesar 100 miliar USD dapat mengubah lanskap kebutuhan pembiayaan pembangunan.

 "NDB dengan modal 100 miliar USD diharapkan dapat mengubah lanskap kebutuhan pembiayaan pembangunan berkelanjutan dan infrastruktur, khususnya di negara-negara selatan," ujar dia dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Rabu 26 Maret 2025.

NDB didirikan oleh negara-negara BRICS dengan lima negara tersebut sebagai pemegang saham mayoritas, dengan kepemilikan tidak boleh kurang dari 55 persen. 

Menurut Arif, kebutuhan pembiayaan pembangunan di negara-negara berkembang sangat besar, sehingga mereka tetap akan mencari sumber alternatif seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Bank Investasi Infrastruktur Asia, serta lembaga multilateral lainnya.

Namun, keanggotaan Indonesia dalam NDB juga membawa sejumlah konsekuensi, termasuk kewajiban penyetoran modal dan membership fee. Selain itu, mekanisme voting juga menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan, meskipun dalam NDB tidak ada hak veto bagi negara-negara anggota. 

"Rencana masuknya Indonesia ke dalam NDB tentu membawa sejumlah konsekuensi seperti kewajiban untuk penyetoran modal ataupun membership fee, dan yang perlu juga dilihat adalah mekanisme voting. Walau NDB tidak mengenal hak veto bagi negara-negara yang menjadi anggotanya," jelasnya.

Arif juga menekankan bahwa keanggotaan Indonesia di NDB seharusnya diiringi dengan perencanaan proyek pembangunan berkelanjutan yang akan diajukan. 

"Rencana masuknya Indonesia ke dalam NDB seyogyanya diikuti dengan pipeline proyek-proyek pembangunan berkelanjutan yang akan diajukan ke NDB," katanya.

Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa skema pembiayaan dari NDB, seperti tingkat bunga, lama pinjaman, mata uang, serta persyaratan lainnya, harus menjadi perhatian utama pemerintah. 

"Yang juga perlu dilihat adalah skema pembiayaan dari NDB seperti tingkat bunga, lama pinjaman, mata uang, persyaratan biaya lainnya, dan jenis-jenis proyek yang dibiayai," tegasnya.

Indonesia Resmi Jadi Anggota NDB

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan bahwa Indonesia resmi bergabung sebagai anggota New Development Bank (NDB). Keputusan ini disampaikan usai pertemuannya dengan Presiden NDB, Dilma Vana Rousseff, di Istana Merdeka pada Selasa 25 Maret 2025.

Prabowo menjelaskan bahwa keputusan tersebut telah melalui pembahasan dengan tim keuangan pemerintah, termasuk Kementerian Keuangan. Menurutnya, NDB bertujuan untuk membiayai proyek pembangunan berkelanjutan serta mendorong pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

Sebagai bank yang didirikan oleh negara-negara anggota BRICS, NDB berfokus pada mobilisasi sumber daya untuk pengembangan infrastruktur dan proyek pembangunan berkelanjutan. Bank ini telah memiliki modal awal sebesar 100 miliar USD yang dikontribusikan oleh negara-negara pendiri. Indonesia pun mendapat undangan untuk bergabung sebagai anggota.

Ketergantungan Pada Negara Besar

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim Presiden Prabowo berhasil mengambil langkah penting di 90 hari masa kepemimpinannya dengan masuk ke BRICS.

“Dalam kurun waktu 90 hari pemerintahan Bapak Prabowo, banyak hal positif yang telah terwujud, termasuk beberapa paket kebijakan ekonomi,” ujar Airlangga dalam acara Business Competitiveness Outlook 2025, di Jakarta, Senin, 13 Januari 2025.

Menurutnya, salah satu pencapaian yang mencuri perhatian adalah masuknya Indonesia ke dalam poros ekonomi BRICS. Langkah ini menjadi perbincangan di dalam dan luar negeri. Di sisi lain, langkah ini juga mengundang pertanyaan banyak pihak terkait dampaknya bagi ekonomi domestik.

Publik juga mempertanyakan terkait dengan ketergantungan Indonesia pada negara-negara besar yang lebih lama menjadi bagian dari blok tersebut seperti China.

“Presiden menjelaskan kepada mitra Jepang kita, Perdana Menteri, bahwa Indonesia sendiri adalah negara non-aliansi,” tambahnya.

Namun, menurutnya, Airlangga menjelaskan bahwa hubungan Indonesia dengan negara-negara anggota BRICS seperti Tiongkok, India, dan Brasil telah lama terjalin melalui perjanjian perdagangan, seperti Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).

“Jadi, dengan India, misalnya, kita adalah bagian dari Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Dengan China, kita adalah bagian dari RCEP dengan rekan-rekan kita dari ASEAN,” jelas Airlangga.

Berupaya Seimbang

Selain BRICS, Airlangga juga menyoroti upaya Indonesia untuk bergabung dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Ia mengungkapkan bahwa Amerika Serikat telah mendukung keanggotaan Indonesia di OECD dan memulai hubungan dengan CPTPP.

“Pemerintah Jepang juga mendukung kedua inisiatif tersebut untuk memastikan bahwa Indonesia dapat menjadi anggota CPTPP dan OECD,” ungkapnya.

Meski demikian, Airlangga mengakui bahwa proses ini penuh tantangan, terutama dalam memenuhi standar internasional, seperti transparansi ekonomi dan penyesuaian kebijakan domestik agar sejalan dengan persyaratan global. Namun, pemerintah optimis Indonesia mampu memenuhi standar tersebut.

Selain itu, Indonesia juga aktif dalam kerangka kerja ekonomi Indo-Pasifik, yang menegaskan komitmen negara untuk menjaga stabilitas dan menarik investasi di kawasan tersebut.

“Kita telah menandatangani tiga dari empat pilar kerangka kerja ekonomi Indo-Pasifik dan Presiden telah menandatangani ratifikasi tersebut,” jelas Airlangga.(*)