KABARBURSA.COM - Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS mengalami pelemahan signifikan, mencapai titik terendah sejak krisis finansial Asia 1998. Pada Selasa, 25 Maret 2025, Rupiah melemah 0,5 persen ke level 16.640 per Dolar AS, mendekati rekor terendah 16.800 pada Juni 1998.
Bank Indonesia (BI) sebenarnya telah melakukan intervensi di pasar valuta asing dan obligasi untuk menstabilkan Rupiah, mengaitkan depresiasi ini dengan ketidakpastian global dan faktor domestik. Namun, investor khawatir terhadap inisiatif fiskal yang mahal, seperti program pemberian makanan gratis senilai USD28 miliar per tahun, yang berkontribusi pada defisit anggaran dan kekhawatiran perlambatan ekonomi.
Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanata pada Rabu, 26 Maret 2025, menjelaskan, secara teknikal, USD/IDR berada dalam saluran tren naik jangka panjang, namun menunjukkan divergensi negatif pada indikator RSI, yang dapat mengindikasikan potensi pembalikan arah.
"Pelemahan Rupiah ini menimbulkan kekhawatiran serius, terutama karena terjadi saat Indeks Dolar AS (DXY) belum mencapai level tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa faktor domestik mungkin berperan signifikan dalam depresiasi Rupiah," tulis Liza dalam risetnya, hari ini.
Investor disarankan untuk memantau perkembangan data ekonomi AS, seperti Indeks Harga PCE yang akan dirilis Jumat nanti, yang dapat mempengaruhi kebijakan suku bunga The Fed dan pergerakan Dolar AS.
Dalam situasi pasar yang selalu berubah, penting bagi investor dan trader untuk memiliki rencana trading yang disiplin dan strategi mitigasi risiko yang efektif.
Faktor Pelemahan Rupiah
Bank Indonesia telah mengambil langkah intervensi di pasar obligasi dan valuta asing untuk menjaga stabilitas rupiah. Bank sentral menyatakan bahwa pelemahan rupiah sebagian besar disebabkan oleh ketidakpastian global, termasuk kebijakan tarif yang direncanakan oleh Donald Trump, kemungkinan sikap lebih hawkish dari Federal Reserve, serta ketegangan geopolitik yang masih berlangsung.
Namun, di luar faktor eksternal, kepercayaan investor terhadap kebijakan fiskal Indonesia juga menjadi perhatian utama. Program unggulan Presiden Prabowo Subianto, seperti pemberian makan siang gratis bagi anak sekolah dan ibu hamil, diperkirakan memerlukan anggaran sekitar USD28 miliar per tahun. Beban fiskal yang semakin besar ini telah menyebabkan defisit anggaran dalam dua bulan pertama tahun ini, yang sebelumnya tidak diperkirakan.
Di tengah situasi ini, tanda-tanda perlambatan ekonomi semakin mengkhawatirkan investor. Jika pertumbuhan ekonomi terus melemah, Bank Indonesia mungkin terpaksa menurunkan suku bunga untuk mendukung pemulihan. Namun, langkah ini justru bisa semakin menekan nilai tukar rupiah karena menurunkan daya tarik investasi dalam mata uang rupiah.
Viktor Szabo, seorang manajer dana di Aberdeen Investments, menilai bahwa kondisi fiskal Indonesia semakin tidak stabil. Rupiah pun menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di antara ekonomi besar Asia tahun ini, mengalami pelemahan hampir 3 persen terhadap dolar AS. Di sisi lain, indeks saham utama Jakarta juga mengalami penurunan sekitar 14 persen dalam hitungan dolar sejak awal 2025.
Situasi ini mengingatkan kembali pada krisis keuangan Asia 1997-1998, di mana Indonesia menjadi salah satu negara yang paling terdampak. Krisis tersebut dimulai dari jatuhnya baht Thailand sebelum menyebar ke seluruh Asia, memaksa Indonesia dan beberapa negara lainnya untuk meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF).
Pada masa itu, tekanan ekonomi yang berat turut memicu demonstrasi besar-besaran yang akhirnya menyebabkan kejatuhan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Sejak krisis tersebut, bank sentral di Asia, termasuk Indonesia, telah berupaya membangun cadangan devisa yang kuat untuk menghindari kejadian serupa. Namun, data menunjukkan bahwa Indonesia telah menggunakan sekitar 1,5 miliar dolar AS dari cadangan devisanya—yang saat ini sekitar 154 miliar dolar AS—untuk mendukung nilai rupiah dalam dua bulan pertama tahun ini. Intervensi yang dilakukan Bank Indonesia mencakup berbagai instrumen, mulai dari pasar spot, kontrak berjangka non-deliverable, hingga pasar obligasi.
Para analis di Barclays memperkirakan bahwa pelemahan rupiah masih akan berlanjut hingga kuartal kedua tahun ini, meskipun ada kemungkinan dolar AS melemah dalam jangka pendek. Tekanan fiskal dan sentimen negatif investor asing terhadap aset Indonesia menjadi alasan utama mengapa rupiah diperkirakan akan terus tertekan.
Di sisi lain, perusahaan-perusahaan Indonesia semakin merasakan dampak persaingan dengan produk-produk murah asal China yang semakin banyak mengalir ke pasar negara berkembang. Jika AS memberlakukan tambahan tarif terhadap China, maka arus barang dari China ke negara-negara seperti Indonesia bisa semakin meningkat, yang pada akhirnya bisa semakin menekan industri domestik. Salah satu perusahaan garmen terbesar di Indonesia, Sritex, bahkan telah menutup operasinya bulan lalu akibat tekanan ini.
Di tengah situasi yang penuh tantangan ini, perhatian investor kini tertuju pada pengelolaan dana kekayaan negara yang baru, Danantara. Dana ini baru saja menunjuk investor miliarder Ray Dalio serta mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, sebagai penasihat asing. Namun, investor masih berhati-hati terhadap potensi pengaruh politik dalam pengelolaan dana tersebut, terutama karena portofolionya mencakup beberapa perusahaan milik negara.
Analis dari JPMorgan memperingatkan bahwa ketidakpastian terkait eksekusi dan operasional dana tersebut dapat memperburuk volatilitas pasar, terutama mengingat agresivitas pemerintah dalam belanja negara. Hal ini semakin menambah ketidakpastian terhadap stabilitas ekonomi Indonesia di tengah tekanan global yang sedang berlangsung.(*)