Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Perang Dagang Meletus di Banyak Negara

Gelombang proteksionisme baru menyapu dunia, dari tarif baja Trump hingga pembatasan dagang terhadap China. Para ekonom khawatir dunia sedang mengulang babak kelam sejarah tahun 1930-an.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 25 March 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Perang Dagang Meletus di Banyak Negara Ilustrasi: Gedung Bursa Efek Indonesia di Jakarta Selatan. Perang tarif yang melanda negara-negara di dunia turut berdampak pada pasar saham di banyak negara. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM - Aroma proteksionisme makin merebak di mana-mana. Negara-negara mulai menutup pintu dagangnya rapat-rapat, seolah hendak memutar ulang adegan muram tahun 1930-an saat dunia larut dalam krisis dan memilih berlindung di balik tembok tarif. Apa yang dulu memicu Depresi Besar, kini menjelma kembali dalam bentuk yang lebih kompleks—dan lebih global.

Dilansir dari The Wall Street Journal di Jakarta, Selasa, 25 maret 2025, bukan cuma soal tarif baru yang ditebar Presiden Donald Trump dalam masa jabatan keduanya. Bahkan sebelum sang mantan taipan kembali masuk Gedung Putih, banyak negara sudah lebih dulu memagari industrinya, utamanya dari serbuan barang-barang murah asal China: mobil listrik, baja, plastik, sampai bahan kimia. Kini, langkah-langkah pembalasan dan pengalihan ekspor makin menjamur, menyusul tarif 25 persen Trump terhadap baja dan aluminium. Uni Eropa pun bersiap mengencangkan ikat pinggang dan melindungi produsennya dari limpahan barang yang sebelumnya menuju Amerika.

Kondisi ini, menurut para ekonom dan sejarawan, mencerminkan gejala awal dari gelombang proteksionisme paling luas sejak Amerika memberlakukan Smoot-Hawley Tariff Act tahun 1930. Kala itu, dunia benar-benar mundur bersama dalam isolasi dagang sampai akhirnya dipaksa bersatu pasca Perang Dunia II.

Meski tarif global hari ini belum setinggi zaman dulu, para analis tetap mewanti-wanti kerusakan yang bisa timbul—baik dari sisi ekonomi maupun diplomasi. Rantai pasok bisa berantakan, inflasi bisa membubung, dan solidaritas antarnegara yang selama ini dijalin lewat perdagangan bebas bisa retak perlahan.

Grafik ini menunjukkan lonjakan jumlah pembatasan impor yang diberlakukan oleh negara-negara anggota G20 sejak 2008 hingga 2024. Amerika Serikat menjadi kontributor utama dalam peningkatan hambatan perdagangan global, disusul Uni Eropa, Tiongkok, dan negara-negara lain. Sumber: Global Trade Alert / Wall Street Journal.

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang dibentuk justru untuk mencegah pengulangan kesalahan masa lalu, kini makin kehilangan taji. Perannya sebagai wasit sengketa dagang dan penggerak integrasi ekonomi internasional kian pudar.

Trump, yang sejak lama menyalahkan perdagangan bebas atas hilangnya lapangan kerja Amerika, tampaknya belum puas. April nanti, ia akan meluncurkan rencana tarif balasan berbasis prinsip resiprokal untuk semikonduktor, obat-obatan, dan mobil. Barang siapa mempersulit AS, akan mendapat balasan setimpal.

Sementara itu, negara-negara lain tak tinggal diam. Kanada memberlakukan tarif pada komputer dan perlengkapan olahraga dari AS. Korea Selatan dan Vietnam menghukum baja China. Meksiko menyelidiki dumping pada plastik dan bahan kimia. Indonesia bersiap mengenakan bea pada nylon kemasan. Rusia, yang mesra dengan China, ikut menaikkan pajak mobil impor asal Negeri Tirai Bambu. Separuh kendaraan baru yang terjual di Rusia sekarang buatan China—bandingkan dengan kurang dari 10 persen sebelum invasi Ukraina pada 2022.

Profesor kebijakan dagang dari Cornell University, Eswar Prasad, menyebut situasi saat ini sebagai “ambang perang dagang besar-besaran.” Menurutnya, dalam medan yang makin agresif ini, tiap negara mulai bermain untuk dirinya sendiri.

Data dari Global Trade Alert menegaskan peringatan itu. Per 1 Maret 2025, negara-negara anggota G20 telah menerapkan 4.650 kebijakan pembatasan impor: dari tarif, bea antidumping, kuota, hingga pembatasan lainnya. Jumlah itu naik 75 persen sejak Trump pertama kali menjabat pada 2016, dan hampir sepuluh kali lipat dari akhir 2008.

Di AS sendiri, lebih dari 90 persen dari 5.200 kategori produk kini dikenai hambatan dagang. Padahal sebelum 2016, baru separuhnya yang terpengaruh. Rata-rata tarif impor AS kini melonjak ke angka 8,4 persen—kembali ke level tahun 1946. Jika ancaman tarif Trump benar-benar diwujudkan semua, angka itu bisa meroket sampai 18 persen, menurut perkiraan Fitch Ratings—tertinggi dalam 90 tahun terakhir.

Grafik ini menunjukkan rata-rata tarif impor Amerika Serikat sejak awal abad ke-20. Setelah menurun drastis usai Perang Dunia II, tarif kembali melonjak tajam pada era Presiden Donald Trump, bahkan mendekati level pasca-Smooth-Hawley Act tahun 1930-an. Kenaikan ini menjadi yang tertinggi dalam beberapa dekade terakhir. Sumber: Tax Foundation.

Kala Depresi Besar melanda dunia pada 1930-an, tarif menjadi lonceng kematian bagi perdagangan global yang sudah limbung. Di tengah pengangguran massal dan kemerosotan ekonomi, Amerika Serikat mencoba bertahan lewat Smoot-Hawley Tariff Act—sebuah aturan yang menaikkan tarif impor hingga 20 persen demi melindungi petani dan industri dalam negeri. Tak butuh waktu lama, negara-negara besar lain pun merespons dengan menutup rapat-rapat jalur dagang mereka. Dunia pun terjerumus lebih dalam ke jurang resesi.

Lalu datang Perang Dunia, dan setelahnya kesadaran baru. Pada 1947, AS dan puluhan negara lain sepakat menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) untuk meruntuhkan tembok proteksi dan membangun kembali ekonomi global yang hancur lebur. Rata-rata tarif perdagangan internasional turun dari 22 persen (1947) jadi 14 persen (1964), dan tinggal 3 persen di 1999. GATT akhirnya digantikan oleh WTO pada 1995.

Penurunan tarif membawa angin segar: barang jadi lebih murah, perdagangan tumbuh pesat. Tapi tak semuanya gembira. Di banyak negara maju, industri dalam negerinya kempis pelan-pelan karena kalah bersaing dengan barang-barang murah dari negara berkembang seperti Tiongkok. Dan dari situlah gelombang penolakan dimulai. Saat Trump menjabat presiden pertama kali, ia meluncurkan tarif baru ke berbagai negara. Biden tak banyak mengubah kebijakan itu. Dunia makin ketat menjaga batas-batasnya.

China pun jadi sasaran empuk. Dengan ekonomi domestik yang lemah dan pabrik-pabrik yang kebanyakan kelebihan kapasitas, barang-barang murahnya membanjiri pasar global. Sebagai respons, Trump kembali menebar tarif, yakni dari 25 persen ke Meksiko dan Kanada, 20 persen ke China. Balasannya datang dari segala penjuru. China menargetkan kedelai Amerika, sementara Uni Eropa bersiap mengenakan tarif 50 persen pada wiski dan motor buatan AS mulai 1 April.

Bagi Trump, era perdagangan bebas adalah bencana. Ia ingin menambal defisit dagang AS dengan China, Meksiko, Vietnam, dan Uni Eropa, lalu menghidupkan kembali kejayaan industri manufaktur Amerika—dari chip komputer sampai kapal kontainer. Ia dan para pendukungnya percaya tarif bisa membuka lapangan kerja, mendorong investasi, dan menciptakan "kebangkitan ekonomi baru."

Tapi perang dagang masa kini tak akan separah tahun 1930-an. Ekonomi global sudah berubah. Layanan jasa kini lebih penting daripada barang. Bank sentral dan pemerintah juga lebih sigap menyuntikkan stimulus. Beberapa negara, seperti Australia dan Jepang, menahan diri untuk tak membalas tarif Trump, demi menghindari dampak buruk bagi ekonominya sendiri. Sikap realistis ini, kata Frederic Neumann dari HSBC Hong Kong, mungkin bisa mencegah perang dagang jadi tidak terkendali.

Dampak Ekonomi Mulai Terasa

Meski belum membakar habis, bara perang dagang sudah bikin pelaku usaha resah. Hla ini terasa dari para konsumen yang menahan belanja, perusahaan menunda investasi, dan perekrutan melambat. Di AS, kepercayaan konsumen turun, pasar saham melemah, dan survei bisnis menunjukkan penurunan niat investasi.

BMW, raksasa otomotif Jerman, mengaku bisa merugi 1 miliar euro (sekitar USD1,1 miliar) akibat tarif baru AS terhadap baja dan produk Meksiko, serta bea Uni Eropa untuk mobil listrik dari China. Sang CEO, Oliver Zipse, mengingatkan kalau tarif terlalu agresif, pasar bisa terpukul balik. "Tak ada yang menang dalam permainan ini," ujarnya.

IMF menyebut dunia kini sedang retak jadi blok-blok baru dengan arus modal dan perdagangan yang makin berpihak pada sekutu geopolitik masing-masing. Fitch Ratings juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini melambat ke 2,4 persen dari 2,9 persen pada 2024—salah satunya karena perang dagang yang meluas.

Faktor lain yang memicu gelombang proteksi adalah kekhawatiran negara-negara Barat akan serbuan teknologi murah dari China. Mereka ingin melindungi sektor strategis seperti kendaraan listrik, semikonduktor, dan teknologi hijau. Di sisi lain, invasi Rusia ke Ukraina dan tuntutan Trump agar Eropa membiayai pertahanannya sendiri, juga mendorong peningkatan belanja militer dan preferensi untuk membeli dari produsen lokal.

"Dulu narasinya, integrasi akan bikin Eropa dan AS makin kuat. Tapi itu sudah lewat," ujar ekonom utama Capital Economics, Neil Shearing. Menurutnya, sekarang negara-negara berlomba membangun kapasitas untuk bertahan sendiri.

Kembali ke era perdagangan terbuka seperti satu dekade lalu tampaknya tidak mudah—kalau pun masih diinginkan. WTO, yang dulunya jadi wasit perdagangan dunia, kini tak lagi digubris Washington. Sejak 2019, AS menolak mengangkat hakim untuk panel banding tertinggi WTO. Upaya besar-besaran untuk memangkas hambatan dagang pun tinggal kenangan.(*)