KABARBURSA.COM – Di tengah sorotan terhadap ketahanan pangan nasional, ada satu sektor yang justru luput dari perhatian pemerintah: kelapa sawit. Padahal, komoditas ini diam-diam menjadi tulang punggung penerimaan negara, terutama ketika ekspor batu bara mulai seret. Hal inilah yang dikeluhkan anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, dalam rapat kerja bersama Kementerian Pertanian dan lembaga terkait, Senin, 24 Maret 2025.
Menurut Firman, pemerintah terlalu terfokus pada padi dan gabah—dua komoditas yang sering dibahas namun belum menunjukkan hasil konkret. Ia menilai pendekatan ini tidak seimbang, apalagi sawit justru memiliki kontribusi nyata terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kementerian Pertanian jangan hanya sibuk membahas padi dan gabah yang tak kunjung berhasil, sementara sawit sebagai penyokong utama APBN justru kurang diperhatikan,” ujarnya.
Firman mengungkapkan saat ini penerimaan negara sangat bergantung pada dua komoditas, yakni batu bara dan kelapa sawit. Tapi ekspor batu bara ke China yang selama ini menjadi pasar utama, mulai berkurang lantaran Negeri Tirai Bambu itu kini menggeser fokus industrinya ke sektor teknologi tinggi.
“Sekarang ekspor batu bara ke Tiongkok menurun karena mereka lebih fokus ke industri high-tech. Sementara sawit justru menghadapi banyak masalah terkait dengan Undang-Undang Cipta Kerja,” katanya.
Bukannya mendorong kepastian usaha, implementasi UU Cipta Kerja justru menambah beban bagi pelaku industri sawit. Firman menyebut, banyak perusahaan perkebunan terseret ke masalah hukum akibat kesalahan teknis dalam pelaksanaan regulasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan.
“Banyak pelaku usaha sawit yang kini ditangkap oleh Satgas, aset mereka disita oleh negara. Ini bukan solusi. Padahal, tujuan dari Cipta Kerja bukanlah untuk mengkriminalisasi, melainkan menciptakan kepastian usaha,” jelasnya.
Politisi Partai Golkar ini pun menyindir Kementerian Pertanian yang dinilai terlalu sibuk dengan komoditas yang hasilnya tak kunjung terlihat. Bagi Firman, sawit seharusnya diberi tempat istimewa dalam strategi pembangunan ekonomi ke depan.
“Jangan hanya sibuk dengan padi dan gabah yang tidak jelas hasilnya. Sawit telah terbukti membawa manfaat besar bagi bangsa ini, dan seharusnya mendapatkan perhatian lebih serius,” katanya.
Sawit Tulang Punggung Ekspor Nasional
Tak bisa dimungkiri, sawit masih menjadi raja dalam struktur ekspor pertanian Indonesia. Data resmi dari Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementan (2024) mencatat bahwa sepanjang 2023, kelapa sawit menyumbang 93,17 persen dari total nilai ekspor pertanian nasional.
Artinya, dari setiap USD100 yang dihasilkan sektor pertanian dari ekspor, lebih dari USD93 datang dari sawit. Angka ini menunjukkan betapa dominannya posisi komoditas ini dibanding subsektor lain seperti hortikultura, tanaman pangan, dan peternakan. Fakta ini sejalan dengan kekhawatiran DPR bahwa sawit justru luput dari perhatian pemerintah, padahal kontribusinya terhadap devisa negara begitu besar.
Sementara itu, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), sepanjang 2024, nilai ekspor minyak sawit mentah (CPO) menyumbang USD27,76 miliar atau setara Rp440 triliun ke kantong negara. Namun, di balik angka tersebut, tren ekspor justru mengalami penurunan—baik dari sisi volume maupun nilai.
Ketua Umum GAPKI,Eddy Martono, menjelaskan devisa ratusan triliun itu dihasilkan dari ekspor sebanyak 29,5 juta ton minyak sawit sepanjang tahun lalu. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 32,2 juta ton dengan nilai ekspor USD30,32 miliar (sekitar Rp463 triliun).
Menurut Eddy, meski harga rata-rata Free on Board (FOB) dalam satuan dolar AS per ton mengalami kenaikan, namun penurunan tetap terjadi di hampir semua jenis produk, kecuali oleokimia. Ia menyebut bahwa penurunan ekspor terbesar terjadi ke Tiongkok dan India, dua pasar utama bagi CPO Indonesia. Ekspor ke China turun sebesar 2,38 juta ton, sementara ke India susut 1,13 juta ton. Negara lain seperti Bangladesh, Malaysia, Amerika Serikat, dan Uni Eropa juga mencatatkan penurunan, meskipun dalam volume yang lebih kecil.
Penurunan yang paling mencolok terjadi pada bulan Desember 2024, di mana volume ekspor hanya mencapai 2,06 juta ton, atau merosot 21,88 persen dibandingkan November yang mencatatkan angka 2,63 juta ton. Jika dirinci lebih jauh, ekspor ke India turun sebesar 246 ribu ton dalam sebulan, sementara China mencatatkan penurunan 39 ribu ton.
Namun demikian, GAPKI mencatat ada juga negara tujuan yang justru menunjukkan peningkatan signifikan. Ekspor ke Pakistan melonjak sebesar 486 ribu ton, disusul kawasan Timur Tengah yang naik 164 ribu ton, serta Rusia dan sejumlah negara lainnya dengan kenaikan lebih kecil.
Untuk tahun 2025, GAPKI memproyeksikan total produksi minyak sawit nasional akan mencapai 53,6 juta ton dengan konsumsi dalam negeri diperkirakan 26,1 juta ton, termasuk untuk kebutuhan biodiesel B40. Dengan asumsi tersebut, volume ekspor diprediksi kembali mengalami penurunan, yakni berada di angka 27,5 juta ton, lebih rendah dibandingkan realisasi 2024.
Riau dan Kalimantan Mendominasi
Secara volume, produksi sawit Indonesia juga tak main-main. Sepanjang 2023, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementan mencatat total produksi nasional mencapai 46,99 juta ton. Dari jumlah tersebut, sembilan provinsi di Sumatera dan Kalimantan menyumbang 87,82 persen.
Dengan dominasi wilayah-wilayah penghasil ini, seharusnya perhatian pemerintah melalui alokasi anggaran, penguatan riset, hingga peremajaan sawit rakyat menjadi prioritas. Tapi sayangnya, menurut data yang sama, program peremajaan sawit justru jalan di tempat.(*)