KABARBURSA.COM - Lelang Surat Utang Negara (SUN) pada Selasa, 18 Maret 2025, menarik perhatian para ekonom dan pelaku pasar keuangan. Pemerintah berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp28 triliun dari lelang tersebut, melebihi target indikatif Rp26 triliun, dengan total penawaran masuk mencapai Rp61,75 triliun.
Pengamat ekonomi Yanuar Rizki menyoroti potensi terjadinya inverse rate antara kupon SUN dan suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Situasi dapat memengaruhi stabilitas pasar keuangan dan solvabilitas dan lembaga keuangan tertentu, seperti BPJS Ketenagakerjaan.
Menurut Yanuar, jika Komite Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) berupaya menahan harga SUN, pelebaran imbal hasil (yield) harus dikompensasi dengan kenaikan bunga SRBI.
"Kalau KKSK mau nahan harga SUN, maka ruang yield melebar harus dikompensasi bunga SRBI naik," ujarnya dalam keterangan yang diterima Kabarbursa.com, Senin, 24 Maret 2025.
Lebih jauh, ia menduga adanya upaya KKSK mengunci harga SUN sekunder. Dugaan ini didasarkan pada potensi insolvensi BPJS Ketenagakerjaan akibat koreksi nilai wajar aset yang dimiliki.
"Pertimbangan terbesar dugaan saya insolvensi rate BPJS-TK, karena koreksi nilai wajar asetnya. Di saat naiknya kewajiban akan berdampak buruk," ungkapnya.
Ia merujuk pada pengalaman di Amerika Serikat (AS), di mana lonjakan klaim dana pengangguran hingga 50-60 persen per negara bagian menyebabkan krisis solvabilitas sistem jaminan sosial.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh penurunan premi yang signifikan dalam laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan, mengindikasikan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang cukup masif. Kondisi ini diperumit oleh ketentuan Omnibus Law sektor keuangan yang membatasi pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) saat pekerja terkena PHK.
Sebagai gantinya, pekerja yang kehilangan pekerjaan hanya mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) selama enam bulan, namun akumulasi dana JKP sendiri masih tergolong kecil karena baru berjalan dua tahun.
"Laporan keuangan BPJS TK menunjukkan penurunan premi signifikan, artinya PHK lumayan masif," tambah Yanuar.
Dengan kondisi seperti ini, Yanuar mengingatkan bahwa jika pekerja yang terkena PHK tidak mendapatkan pekerjaan dalam enam bulan, mereka berpotensi melakukan protes terkait akses terhadap tabungan JHT mereka.
"Kalau yang PHK tak dapat kerja lagi dalam enam bulan, bisa ngamuk soal tabungan JHT," katanya.
Di sisi lain, Yanuar juga menyoroti kebijakan Bank Indonesia yang berencana membeli instrumen subprime mortgage senilai Rp150 triliun untuk tiga juta rumah.
"Satu sisi, lagi berat-beratnya, aku ya bingung malah mau beli instrumen subprime mortgage tiga juta rumah Rp150 triliun BI," terangnya.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia berisiko mengulang kesalahan yang pernah terjadi di AS pada 2004-2006, ketika kenaikan suku bunga Federal Reserve menyebabkan lonjakan bunga KPR yang berujung pada krisis subprime mortgage 2008.
"Kita enggak belajar ke US, penyebabnya subprime mortgage yang bunga KPR-nya naik karena Fed rate naik di 2004-2006. Lah, kita on curve lagi naik tren bunganya," ujarnya.
Selain itu, ia juga mengingatkan pelajaran dari China pada 2021, di mana proyek perumahan besar-besaran justru berakhir dengan stagnasi karena tidak ada yang membeli rumah. Fenomena ini, menurutnya, dipengaruhi oleh pergeseran pola pikir generasi muda.
"Menarik, ternyata pergeseran paradigma Gen Z. Daripada terbebani kredit jangka panjang yang sama dengan harga sewa apartemen, mereka pilih sewa. Dan, bayar sewa dari membeli aset keuangan daripada rumah," paparnya.
Namun, ia juga mengkritisi perbedaan respons kebijakan di Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Di AS, kebijakan moneter sering dikawal secara ketat oleh Kongres melalui testimoni dari Ketua The Fed. Sementara di Indonesia, menurutnya, keputusan penting justru lebih bersifat tertutup.
"Susah DPR juga kayak gini, kalau di US, yang ditunggu testimoni Chair The Fed di Kongres yang dinamis, di kita malah GBI 'menghadap' ke rumah menteri perumahan," kritiknya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa China sendiri masih berjuang agar proyek perumahan mereka yang tidak terserap pasar tidak berubah menjadi krisis perbankan seperti yang terjadi di AS pada 2007.
"Kita juga enggak belajar ke China 2021, yang hingga saat ini PBoC (bank sentralnya) tengah berusaha keras agar tidak terserapnya rumah tak jadi crash ke sistem perbankan seperti di US 2007," pungkasnya.
Kinerja BPJS Ketenagakerjaan
BPJS Ketenagakerjaan mencatat kinerja positif sepanjang tahun 2024, meskipun di tengah tantangan ekonomi yang signifikan. Hingga Juni 2024, total dana kelolaan mencapai Rp746,22 triliun, meningkat 0,74 persen dibandingkan Mei 2024 yang sebesar Rp740,71 triliun. Dari jumlah tersebut, program Jaminan Hari Tua (JHT) menyumbang Rp468,21 triliun, sementara Jaminan Pensiun (JP) sebesar Rp172,43 triliun.
Hasil investasi juga menunjukkan pertumbuhan yang solid. Pada kuartal pertama 2024, BPJS Ketenagakerjaan membukukan hasil investasi sebesar Rp12,31 triliun, dengan kontribusi terbesar berasal dari program JHT sebesar Rp7,79 triliun dan JP sebesar Rp2,79 triliun.
Dari sisi pelayanan, BPJS Ketenagakerjaan menyelesaikan 11.615 kasus klaim sepanjang tahun 2024, dengan total pembayaran mencapai Rp140,85 miliar. Selain itu, tingkat pengembangan saldo untuk program JHT konvensional mencapai 6,05 persen, JHT syariah 6,79 persen, dan JP 5,88 persen, yang semuanya melebihi rata-rata bunga deposito bank pemerintah sebesar 2,88 persen.
Meskipun menghadapi tantangan ekonomi yang kompleks, BPJS Ketenagakerjaan tetap berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja melalui pengelolaan dana yang optimal dan pelayanan yang prima. (*)