Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Sektor Perhotelan Babak Belur Akibat Efisiensi Anggaran

Industri perhotelan mengeluh kebijakan efisiensi mulai berdampak signifikan dan mereka khawatir bakal memberikan efek panjang terjadinya gejolak ekonomi.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 23 March 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Yunila Wati
Sektor Perhotelan Babak Belur Akibat Efisiensi Anggaran Ilustrasi industri perhotelan di Indonesia.

KABARBURSA.COM – Industri perhotelan di Indonesia mengalami tekanan luar biasa akibat kebijakan penghematan anggaran pemerintah yang mulai diterapkan sejak November 2024.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani, menyebutkan bahwa pemangkasan belanja perjalanan dinas dan kegiatan MICE (Meeting, Incentives, Conferences, and Exhibitions) memberikan dampak signifikan terhadap tingkat hunian hotel, terutama di wilayah yang bergantung pada permintaan dari instansi pemerintah. 

"Kebijakan ini memang bertujuan untuk menjaga stabilitas keuangan negara di tengah ketidakpastian global. Namun, dampaknya terhadap industri perhotelan cukup besar, terutama bagi hotel yang selama ini bergantung pada permintaan dari instansi pemerintah dan sektor MICE," ujar Hariyadi dalam keterangannya kepada Kabarbursa.com, Minggu, 23 Maret 2025.  

Ia memaparkan data survei yang dilakukan PHRI bersama Horwath HTL mengungkapkan bahwa permintaan kamar hotel dari pemerintah menyumbang sekitar 5 persen hingga 7 persen dari total bisnis hotel di Indonesia. Sementara itu, kegiatan MICE memiliki kontribusi yang lebih besar, berkisar antara 6 persen hingga 21 persen, terutama di hotel berbintang tiga ke atas.  

Menurut dia, ketergantungan pengeluaran pemerintah dan permintaan terkait MICE sangat mendominasi di segmen  hotel bintang 3, 4 dan 5. Serta destinasi pintu masuk gerbang domestik yang populer. Namun gejolak muncul setelah kebijakan efisiensi ini.

"Tren historis 2018 dan 2019 menunjukkan bahwa keputusan untuk mengurangi anggaran perjalanan resmi dan dinas tidak hanya mempengaruhi akun pemerintah tapi juga mengganggu dinamika pasar secara keseluruhan," ujar dia.

Padahal menurut dia, bisnis MICE memiliki efek ganda karena sebagai pendominasi sektor pemasok makanan dan minuman, transportasi dan keuangan.

Pemangkasan anggaran ini, kata dia berimbas pada perubahan sentimen pasar yang cukup drastis dalam beberapa bulan terakhir. 

"PHRI melakukan survei kepada 726 responden dengan mencakup 717 hotel dari 30 provinsi dan kota di Indonesia. Hotel-hotel di Pulau Jawa sering dijadikan aktivitas kegiatan pemerintah merupakan kontributor utama dalam survei ini," kata dia.

Proporsi surveinya Jawa Barat 19 persen, Jawa Tengah 15 persen, DKI Jakarta 10 persen, Bali 8 persen, Jawa Timur 7 persen, Daerah Istimewa Yogyakarta 5 persen, Sumatra Barat 5 persen, Aceh 4 persen, Kalimantan Selatan 3 persen dan Sumatra Utara 3 persen.

Pada November 2024, lebih dari 50 persen responden dalam survei PHRI masih optimistis bahwa kinerja tahun 2024 akan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pada Desember 2024, sentimen mulai netral, dengan 29 persen responden menyatakan bahwa dinamika pasar berubah, meski destinasi wisata populer masih mampu menahan dampak negatif selama musim liburan setelah adanya kebijakan efisiensi.

Memasuki Januari 2025, mayoritas pelaku industri perhotelan mulai merasakan dampak penuh dari kebijakan ini. 

"Sebanyak 83 persen responden merasa berada dalam posisi yang tidak menguntungkan untuk memulai tahun fiskal baru," ungkap Hariyadi.  

Dampak terbesar terjadi di hotel-hotel yang berlokasi di Pulau Jawa, yang menjadi pusat aktivitas pemerintahan. Beberapa perubahan signifikan yang terjadi akibat kebijakan ini meliputi penurunan tingkat hunian, penyesuaian tarif kamar, serta efisiensi operasional yang mengarah pada pengurangan tenaga kerja dan layanan. 

Survei itu mencatat bahwa 42 persen hotel mengalami fasilitas ruang pertemuan yang tidak terpakai akibat berkurangnya kegiatan MICE. Ruang ballroom, meeting room, dan function hall yang sebelumnya menjadi andalan hotel untuk menjaring pemasukan kini lebih sering kosong, bahkan pada hari kerja yang biasanya ramai dengan acara pemerintah.

Selain itu, beberapa fasilitas pendukung juga terdampak secara signifikan, antara lain:

  • Pusat bisnis (business center) yang biasanya digunakan untuk rapat kecil dan kerja remote kini sepi peminat.
  • Layanan katering dan banquet mengalami penurunan pemesanan karena minimnya acara berskala besar.
  • Area lounge eksekutif dan VIP rooms yang biasa dipakai untuk jamuan makan pejabat atau tamu korporat kini jarang digunakan.
  • Paket full-board meeting yang mencakup penginapan, konsumsi, dan ruang konferensi mengalami penurunan drastis.

Kondisi ini membuat hotel harus mencari strategi baru untuk memaksimalkan ruang yang ada, seperti menawarkan paket meeting hybrid dengan teknologi konferensi online atau menyewakan ruangan untuk kegiatan lain seperti co-working space dan event komunitas.

Hariyadi menambahkan bahwa pelaku industri perhotelan tengah berupaya beradaptasi dengan kondisi ini, salah satunya dengan meningkatkan promosi untuk wisatawan domestik dan mengembangkan paket wisata yang menarik bagi segmen korporasi. 

"Perlu dicatat bahwa dalam jangka panjang akan menciptakan pasar sensitif red ocean yang mengganggu pertumbuhan destinasi jangka panjang," ujar dia.

Namun, tanpa adanya dukungan kebijakan yang lebih akomodatif, pemulihan sektor ini diperkirakan akan berjalan lebih lambat. Ia berharap pemerintah dapat meninjau kembali kebijakan ini, terutama yang berkaitan dengan perjalanan dinas dan kegiatan MICE, karena industri perhotelan masih menjadi salah satu pilar penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional.

Pelaku industri juga mengusulkan berbagai insentif yang dapat mendorong peningkatan permintaan dari sektor lain agar dampak kebijakan ini tidak semakin dalam. Tanpa strategi yang lebih komprehensif, industri perhotelan dikhawatirkan akan terus mengalami tekanan yang lebih berat sepanjang 2025.

Diberitakan Kabarbursa,com sebelumnya, Analis Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menilai kebijakan efisiensi anggaran pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dikhawatirkan akan memperparah kinerja perdagangan saham-saham di sektor perhotelan dan pariwisata.

"Kalau itu kalau untuk saham-saham perhotelan maupun tempat wisata memang sebenarnya sudah lama itu memiliki pergerakan harga yang kurang likuid. Terlebih dengan adanya faktor kebijakan efisiensi anggaran," kata Nafan kepada Kabarbursa.com pada Jumat, 14 Februari 2025.

Penghematan yang dilakukan pemerintah, khususnya dalam belanja perjalanan dinas dan penyelenggaraan acara, akan menekan potensi pendapatan emiten-emiten di sektor ini.

Saham-saham sektor ini memang sudah menghadapi tekanan sejak beberapa waktu terakhir akibat permintaan yang belum kembali ke tingkat optimal. Termasuk karena harga tiket pesawat di Indonesia terlalu tinggi sehingga berimplikasi pada jumlah penumpang. Dengan adanya pemangkasan anggaran pemerintah, permintaan dari sektor korporasi dan pemerintahan terhadap jasa perhotelan serta perjalanan dinas semakin berkurang, yang berdampak pada proyeksi pendapatan perusahaan itu.

Menurut Nafan, emiten perhotelan dan pariwisata kini harus lebih mengandalkan sektor swasta dan wisatawan individu untuk menopang bisnis mereka. 

“Mereka perlu mengoptimalkan kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik. Strategi seperti memanfaatkan momentum hari libur, promosi lebih agresif, serta mendorong konsep work from anywhere dapat menjadi langkah mitigasi atas kebijakan efisiensi anggaran ini,” jelasnya.

Dari sisi perdagangan saham, Nafan menambahkan bahwa pergerakan sektor ini masih cenderung stagnan dan kurang likuid. 

“Sebagian besar saham perhotelan dan pariwisata bukan saham big caps, sehingga wajar jika likuiditasnya terbatas,” tutur dia.(*)