Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

IHSG Terpuruk, Sentimen Politik bikin Investor Angkat Kaki

Ketidakpastian politik dan revisi UU TNI membuat investor menarik modal dari pasar Indonesia, menyebabkan IHSG terus melemah dalam beberapa pekan terakhir.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 21 March 2025 | Penulis: Dian Finka | Editor: Moh. Alpin Pulungan
IHSG Terpuruk, Sentimen Politik bikin Investor Angkat Kaki Gedug Bursa Efek Indonesia. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM - Kabar buruk bagi pasar modal Indonesia masih terus berlanjut. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus terpuruk dalam beberapa waktu terakhir. Banyak yang menganggap ini diakibatkan sentimen negatif yang semakin menguat. Namun, penyebab kejatuhan IHSG kali ini bukan sekadar faktor ekonomi, melainkan ada aroma politik yang kental dalam pergerakannya.

Ekonom senior INDEF, Didik J Rachbini, menyoroti dampak politik di tubuh militer terhadap ekonomi nasional. Menurutnya, politik TNI yang dimainkan oleh segelintir elite kekuasaan bukan sesuatu yang bisa diremehkan. “Jangan anggap remeh politik TNI yang diolah dan dimasak oleh segelintir orang dalam kekuasaan. Hal ini memiliki hubungan langsung dengan kondisi ekonomi,” ujar Didik kepada awak media di Jakarta, Jumat, 21 Maret 2025.

Didik menambahkan, setelah lebih dari tiga dekade berada di bawah rezim otoriter, demokrasi Indonesia yang dibangun kembali pada era reformasi kini justru menghadapi ancaman serius. Jika tidak dijaga, sistem ini bisa tergelincir kembali ke etatisme, militerisme, dan dwifungsi, yang malah merusak masa depan tata kelola negara.

Pasar modal selalu bereaksi terhadap ketidakpastian. Kali ini, sentimen negatif terhadap kondisi politik menjadi pemicu utama arus modal keluar dari Indonesia.

Menurut Didik, kerusakan ekosistem demokrasi selama pemerintahan mantan Presiden Jokowi tidak serta-merta bisa diperbaiki dalam kepemimpinan baru. Akibatnya, pasar semakin tidak yakin dengan arah kebijakan yang diambil pemerintah sehingga investor mulai menarik modalnya.

“Faktor ketidakstabilan ini menjadi pemicu pasar untuk menolak kondisi politik yang tidak kondusif sehingga modal cenderung hengkang ke tempat yang lebih stabil,” jelas Didik.

Selain itu, kejatuhan IHSG dalam beberapa pekan terakhir bukan hanya karena faktor ekonomi, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakpastian politik yang membuat investor waswas. Aksi jual saham pun menjadi sinyal bahwa pasar menolak arah kebijakan yang diterapkan selama ini.

Data menunjukkan modal asing mulai keluar dari Indonesia dalam jumlah signifikan dalam beberapa pekan terakhir. Investor memilih mengarahkan dananya ke instrumen yang lebih stabil, baik itu ke pasar luar negeri maupun komoditas yang lebih tahan terhadap gejolak politik.

“Pasar modal adalah refleksi dari kepercayaan terhadap pemerintah. Jika kepercayaan itu tergerus, maka pasar akan merespons dengan mengalihkan dananya ke instrumen yang lebih aman,” kata Didik.

RUU TNI bikin Investor Ragu

Ilustrasi: TNI Angkatan Darat. Foto: Dok. Dispenad.

Ketidakpastian politik yang menghantui pasar modal makin diperparah dengan rencana revisi Undang-Undang (UU) TNI yang membuka peluang prajurit aktif mengisi jabatan sipil. Meski pemerintah mengklaim langkah ini bertujuan memperkuat birokrasi, para ekonom justru menilai kebijakan ini bisa memperburuk iklim investasi dan merusak persaingan usaha.

Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, menegaskan masuknya unsur militer dalam ekonomi bisa menciptakan ketimpangan. Investor bakal berpikir ulang sebelum menanamkan modalnya di Indonesia karena khawatir bisnis swasta akan kalah bersaing dengan entitas yang memiliki akses ke jaringan militer.

“Buat apa investor asing atau swasta bersaing dengan perusahaan yang punya akses ke jaringan militer? Ini jelas akan berdampak negatif, karena investor enggan masuk ke pasar yang tidak kompetitif,” ujarnya saat dihubungi KabarBursa.com, Senin, 17 Maret 2025, lalu.

Seiring dengan pelemahan IHSG dan keluarnya modal asing dalam beberapa pekan terakhir, kekhawatiran ini makin terasa di kalangan investor. Pasar modal yang seharusnya menjadi refleksi stabilitas ekonomi, kini justru terguncang karena ketidakpastian regulasi.

Tak cuma soal investasi, keterlibatan militer dalam ekonomi juga dikhawatirkan berdampak pada kinerja BUMN dan tata kelola bisnis nasional.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menilai keberadaan militer dalam bisnis justru berisiko menciptakan inefisiensi. Bukan cuma karena perbedaan keahlian, tapi juga karena potensi bias dalam pengambilan keputusan strategis. “Jika semua masalah ditarik pada konteks keamanan dan pertahanan, terdapat risiko proses pembangunan akan bias kepentingan militer,” ujarnya.

Mantan peneliti Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) ini menyinggung potensi crowding out effect, di mana militer mengambil alih peran yang seharusnya dijalankan oleh pelaku swasta, UMKM, hingga petani.

Ia mencontohkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan dapur umum yang tersentralistik dan food estate yang kini lebih banyak dikerjakan TNI. “Artinya ada potensi lapangan pekerjaan masyarakat diperebutkan militer aktif,” jelas Bhima.

Selain itu, Bhima menyinggung kinerja BUMN yang buruk meski banyak diisi oleh purnawirawan TNI. Alih-alih meningkatkan efisiensi, masuknya unsur militer malah menciptakan demoralisasi dalam manajemen perusahaan negara. Kalau meritokrasi dalam BUMN semakin terkikis, potensi brain drain meningkat, di mana talenta-talenta terbaik justru meninggalkan sektor ini.

Di tengah persaingan ketat menarik investasi global, revisi UU TNI justru bisa mengembalikan sistem ekonomi Indonesia ke pola komando ala Orde Baru. Akibatnya, investasi asing atau foreign direct investment (FDI) bisa anjlok, dan target investasi Rp3.414 triliun pada 2029 sulit tercapai. “Efeknya investor akan menimbang ulang berinvestasi di Indonesia. Dengan tata kelola, korupsi, dan izin lingkungan yang bermasalah, Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Vietnam dan China,” kata Bhima.

Selain itu, rencana memperpanjang usia pensiun prajurit juga bakal membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Saat ini, total belanja pegawai pemerintah sudah mencapai Rp521,4 triliun, naik 85,5 persen dalam 10 tahun terakhir. Kalau usia pensiun diperpanjang, defisit APBN bisa menembus 3 persen yang artinya melanggar UU Keuangan Negara Tahun 2003.

“Jika usia pensiun TNI diperpanjang, defisit APBN bisa dengan cepat menembus 3 persen. Ini berbahaya karena melanggar konstitusi,” kata Bhima.(*)