Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Sanksi AS ke Iran Menyulut Kenaikan Harga Brent dan WTI

Iran saat ini memproduksi lebih dari 3 juta barel minyak mentah per hari

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 21 March 2025 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Yunila Wati
Sanksi AS ke Iran Menyulut Kenaikan Harga Brent dan WTI Ilustrasi sebuah titik pengeboran minyak di tengah laut. (Foto: Pexels/Umar Affan)

KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia kembali menguat setelah Amerika Serikat menjatuhkan sanksi baru terhadap Iran. Ketegangan yang terus meningkat di Timur Tengah menjadi faktor utama yang menopang kenaikan harga, meskipun penguatan dolar AS sempat membatasi lonjakan lebih lanjut.

Minyak mentah berjangka Brent, sebagai acuan global, ditutup menguat USD1,22 atau 1,72 persen ke level USD72 per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak April yang berakhir pada Kamis, ditutup naik USD1,10 atau 1,64 persen menjadi USD68,26 per barel. 

Kontrak Mei WTI, yang lebih aktif diperdagangkan, juga mengalami kenaikan USD1,16 atau 1,73 persen ke level USD68,07 per barel.

Pemerintah AS mengeluarkan sanksi yang menargetkan beberapa entitas, termasuk kilang independen di China yang disebut sebagai "teapot refineries." Kilang-kilang ini merupakan pembeli utama minyak mentah Iran, sementara China sendiri adalah importir terbesar minyak dari negara tersebut. 

Iran saat ini memproduksi lebih dari 3 juta barel minyak mentah per hari, dan pembatasan baru ini diperkirakan akan semakin mengganggu pasokan global.

Selain itu, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC+) juga mengumumkan jadwal baru pemangkasan produksi bagi tujuh negara anggota, termasuk Rusia, Kazakhstan, dan Irak. Pemangkasan ini dilakukan sebagai kompensasi atas produksi yang melebihi batas yang telah disepakati sebelumnya. 

Rencana tersebut akan mengurangi produksi antara 189.000 hingga 435.000 barel per hari dan akan berlangsung hingga Juni 2026.

Di sisi lain, data terbaru menunjukkan bahwa persediaan minyak mentah AS melonjak 1,7 juta barel, jauh melebihi perkiraan yang hanya 512.000 barel. Namun, harga minyak tetap mendapat dukungan dari meningkatnya risiko geopolitik.

The Federal Reserve tetap mempertahankan suku bunga acuannya tanpa perubahan, tetapi masih berencana untuk memangkas suku bunga sebanyak dua kali sebesar 25 basis poin pada akhir tahun ini. Dolar AS pun menguat 0,5 persen, yang membuat harga minyak menjadi lebih mahal bagi pembeli dengan mata uang lain.

Ketidakpastian global semakin meningkat setelah Israel kembali meluncurkan operasi darat di Gaza, mengakhiri gencatan senjata yang telah berlangsung selama hampir dua bulan. Amerika Serikat juga terus melakukan serangan udara terhadap kelompok Houthi di Yaman, sebagai respons atas serangan mereka terhadap kapal-kapal di Laut Merah. 

Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa Iran akan dimintai pertanggungjawaban atas aksi-aksi Houthi di masa mendatang.

Meski demikian, beberapa analis memperkirakan bahwa harga minyak akan mengalami pergerakan yang tidak stabil dalam jangka pendek. Faktor lain yang berpengaruh adalah kebijakan ekonomi China serta kemungkinan perang dagang yang kembali memanas setelah Trump berencana mengenakan tarif tambahan terhadap Kanada, Meksiko, dan China.

J.P. Morgan memperkirakan harga minyak Brent akan tetap berada di kisaran pertengahan hingga tinggi USD70 per barel dalam beberapa bulan ke depan. Namun, menjelang akhir tahun, harga diperkirakan turun ke kisaran USD60-an dengan rata-rata tahunan sekitar USD73 per barel. 

Sementara itu, para analis tetap memperingatkan bahwa ketegangan geopolitik yang berlarut-larut dapat membawa kejutan baru dalam pergerakan harga minyak global.

Proyeksi ExxonMobil: Permintaan Minyak Bumi di 2050 Bisa Kembali ke Level 2010 Jika Adopsi EV Sukses

Sementara itu, ExxonMobil Corporation memproyeksikan bahwa permintaan minyak bumi global pada 2050 berpotensi kembali ke tingkat yang sama seperti pada 2010, yakni sekitar 85 juta barel per hari (bph), jika adopsi kendaraan listrik (EV) berlangsung sukses. 

Prediksi ini muncul dalam ringkasan eksekutif Proyeksi Global ExxonMobil, yang disampaikan oleh Vice President Public & Government Affairs ExxonMobil Cepu Limited, Dave A. Seta.

Meski demikian, ExxonMobil menegaskan bahwa minyak dan gas bumi masih akan mendominasi lebih dari 50 per en bauran energi global pada 2050. Namun, permintaan minyak untuk bensin mobil penumpang diperkirakan akan menurun secara signifikan. 

Jika semua mobil baru yang dijual pada 2035 merupakan kendaraan listrik, maka konsumsi minyak bumi pada pertengahan abad ini diproyeksikan kembali ke level yang sama seperti satu dekade lalu.

Saat ini, menurut data terbaru dari International Energy Agency (IEA), permintaan minyak dunia pada 2024 telah mencapai 103,9 juta bph. Namun, ExxonMobil menekankan bahwa banyak pihak kurang menyadari bahwa produksi bensin hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan pemanfaatan minyak bumi. 

Mayoritas produksi minyak global sebenarnya dimanfaatkan dalam berbagai sektor industri, seperti manufaktur dan produksi bahan kimia, serta transportasi berat seperti angkutan logistik, truk, dan penerbangan.

Meskipun konsumsi minyak untuk bensin mobil diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar 25 persen adari 2023 hingga 2050, sektor industri justru diprediksi mengalami peningkatan konsumsi hingga 30 persen dalam periode yang sama. Selain itu, kebutuhan minyak bumi untuk sektor transportasi komersial seperti angkutan truk dan penerbangan juga diproyeksikan meningkat 10 persen. 

Dengan demikian, ExxonMobil memperkirakan bahwa setelah 2030, permintaan minyak bumi akan mencapai titik stagnan tetapi tetap berada di atas 100 juta bph hingga 2050.

Sementara itu, laporan terbaru IEA dalam Oil Market Report edisi Maret 2025 menyebutkan bahwa permintaan minyak global pada tahun ini diperkirakan tumbuh lebih dari 1 juta bph. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan permintaan minyak pada 2024 yang hanya mencapai 830.000 bph. 

Asia diperkirakan menjadi kontributor utama dalam lonjakan permintaan minyak ini, dengan China sebagai pemimpin dalam sektor bahan baku petrokimia yang menjadi pendorong utama pertumbuhan konsumsi.

Di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, data pengiriman minyak terbaru menunjukkan angka yang lebih rendah dari ekspektasi, yang menyebabkan revisi estimasi pertumbuhan permintaan minyak pada kuartal IV-2024 dan kuartal I-2025 menjadi sekitar 1,2 juta bph secara tahunan. 

Meskipun begitu, dengan meningkatnya kebutuhan minyak untuk sektor industri dan transportasi komersial, permintaan minyak bumi global diperkirakan tetap kuat dalam beberapa dekade mendatang.(*)