Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Impor Didominasi Bahan Baku-Barang Modal, ini Bahayanya

Impor Februari 2025 alami kenaikan tetapi didominasi oleh impor bahan baku (73,90 persen) dan barang modal (18,31 persen)

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 20 March 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Syahrianto
Impor Didominasi Bahan Baku-Barang Modal, ini Bahayanya Ilustrasi mesin di sebuah industri manufaktur. (Foto: PxHere)

KABARBURSA.COM - Impor Indonesia pada Februari 2025 tercatat naik 5,18 persen secara bulanan. Namun, kenaikan ini didominasi oleh impor bahan baku (73,90 persen) dan barang modal (18,31 persen), sementara impor barang konsumsi justru mengalami penurunan (10,61 persen).

Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai pola impor yang terjadi saat ini menunjukkan ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi. 

Menurutnya, hal ini berisiko terhadap stabilitas ekonomi jangka panjang. "Salah satu faktor kunci surplus neraca dagang adalah pola impor yang selektif," ujarnya dalam keterangannya kepada Kabarbursa.com, Kamis, 20 Maret 2025.

"Penurunan impor barang konsumsi seperti daging lembu beku, beras, dan buah-buahan mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat, yang juga terkonfirmasi melalui penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari 127,2 ke 126,4," imbuhnya.

Di sisi lain, lonjakan impor bahan baku seperti logam mulia, minyak mentah, dan gandum mencerminkan ekspansi sektor manufaktur nasional. Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur yang mencapai 53,6 pada Februari 2025 menunjukkan aktivitas industri yang meningkat.

Namun, Achmad mengingatkan bahwa ekspansi ini belum sepenuhnya berdampak pada penyerapan tenaga kerja.

"Banyak industri justru mengandalkan teknologi dan otomatisasi, sehingga ekspansi produksi tidak diikuti oleh penambahan karyawan. Akibatnya, PHK di sektor padat karya—seperti retail, pariwisata, dan UMKM—terus terjadi, sementara lapangan kerja baru di sektor manufaktur berteknologi tinggi terbatas," paparnya.

Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun industri berkembang, masyarakat kelas pekerja belum merasakan manfaat ekonomi secara langsung.

Achmad juga menyoroti ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas mentah atau setengah jadi sebagai pendorong utama surplus neraca dagang. Batu bara, nikel, dan minyak sawit masih menjadi andalan, sementara ekspor produk manufaktur bernilai tambah tinggi masih terbatas.

"Ketika harga komoditas global tinggi, surplus mudah tercapai, tetapi ketika harga turun, neraca dagang berpotensi defisit," jelasnya.

Selain itu, sektor pertambangan dan perkebunan yang menjadi tulang punggung ekspor memang menyerap tenaga kerja, tetapi upah yang diberikan sering kali tidak sebanding dengan risiko kerja dan fluktuasi permintaan pasar.

"Sektor pertambangan dan perkebunan memang menciptakan lapangan kerja, tetapi upah yang diberikan seringkali tidak sebanding dengan risiko kerja dan fluktuasi permintaan," ungkapnya.

Sementara itu, industri manufaktur yang membutuhkan keterampilan tinggi belum mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Akibatnya, surplus perdagangan yang tinggi tidak serta-merta mengurangi pengangguran atau meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

"Di sisi lain, industri manufaktur yang membutuhkan keterampilan tinggi belum mampu menyerap tenaga kerja dalam skala besar. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang digerakkan ekspor tidak serta-merta mengurangi pengangguran atau meningkatkan kualitas hidup masyarakat," tandasnya.

Trump Elon dan Kebijakan Tarif Impor

Donald Trump kembali menggemparkan dunia. Setelah menghentikan dukungan militer untuk Ukraina dan mempererat hubungan dengan Rusia, sejak Selasa, 4 Maret 2025, Trump memberlakukan tarif impor sebesar 25 persen bagi produk dari Meksiko dan Kanada, dua sekutu terdekat Amerika. Di hari yang sama, ia juga menaikkan tarif produk Tiongkok sebesar 10 persen.

Langkah ini menjadi bagian dari rentetan kebijakan mengejutkan yang diambil duo Trump-Elon Musk, yang kerap dijuluki “Trump-Elon.”

Sebelumnya, mereka telah membubarkan USAID, memangkas jumlah kementerian, serta mengurangi anggaran pemerintah federal. Jika ancaman Trumpelon untuk keluar dari NATO, WHO, PBB, Bank Dunia, dan IMF benar-benar terwujud, daftar kebijakan kontroversial mereka akan semakin panjang.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai tindakan Trumpelon bukan hanya cerminan unilateralisme, tetapi lebih didasarkan pada pragmatisme ekonomi.

"Trumpelon ingin menyelamatkan Amerika dari kebangkrutan akibat terbenam dalam tumpukan utang, dan narasi ini secara implisit selalu muncul dalam statemen mereka berdua sejak masa kampanye hingga detik ini," ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu 12 Maret 2025.

Menurut Wijayanto, kebijakan seperti pembubaran USAID, pengurangan jumlah kementerian, dan pemangkasan anggaran federal merupakan bagian dari strategi besar untuk mengendalikan defisit anggaran.

Data menunjukkan, pembubaran USAID saja dapat menghemat hingga USD 40 miliar per tahun, penghentian bantuan ke Ukraina memangkas pengeluaran sebesar USD 39 miliar, sementara keluar dari WHO dan NATO berpotensi mengurangi beban anggaran tahunan sebesar USD1,28 miliar dan USD3,58 miliar.

Namun, kebijakan tarif yang agresif juga membawa konsekuensi bagi rakyat Amerika. Kenaikan tarif impor secara otomatis berdampak pada harga barang yang lebih tinggi di dalam negeri.

"Sekitar 50 persen hingga 100 persen tarif impor akan ditanggung oleh rakyat dalam bentuk kenaikan harga barang. Inflasi akan terjadi, tetapi tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena hanya berdampak pada tahun pertama kenaikan," jelas Wijayanto.

Ia menambahkan, secara teknis tarif berfungsi layaknya pajak yang meningkatkan penerimaan negara, tetapi lebih mudah diterima oleh masyarakat dibandingkan dengan pajak langsung.

"Jika pajak dinaikkan, rakyat akan marah dan ini bertentangan dengan ideologi ekonomi Partai Republik yang menganut rezim pajak rendah. Jika tarif yang dinaikkan, selain tidak berlawanan dengan ideologi partai, rakyat juga tidak marah, apalagi langkah ini bisa dinarasikan sebagai upaya memproteksi pekerjaan dan industri di Amerika," paparnya.