KABARBURSA.COM – Kunjungan anggota DPR ke Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan tujuan menenangkan pasar dinilai tidak memberikan dampak signifikan terhadap pergerakan indeks saham. Analis Pasar Modal dari MikirDuit, Surya Rianto, mengatakan langkah tersebut tidak memiliki pengaruh terhadap fundamental ekonomi maupun kondisi pasar modal Indonesia.
"Tidak ada efeknya anggota DPR datang ke BEI terhadap menenangkan market karena tidak ada hal esensial dari kehadiran anggota DPR tersebut terhadap fundamental market maupun ekonomi Indonesia," ujar Surya saat dihubungi KabarBursa.com di Jakarta, Kamis, 20 Maret 2025.
Surya menjelaskan tekanan jual di saham-saham berkapitalisasi besar atau big caps saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh aksi jual investor asing. Hal ini terjadi setelah keputusan Morgan Stanley Capital International (MSCI) dan Goldman Sachs yang menurunkan peringkat pasar saham Indonesia.
"Tekanan investor asing menjadi salah satunya setelah kemarin dari MSCI dan Goldman Sachs men-downgrade market saham kita. Ditambah, ada beberapa data ekonomi yang kurang baik seperti defisit APBN yang membuat kepercayaan investor menurun," jelasnya.
Selain itu, Surya melihat adanya pola tekanan jual di saham konglomerasi yang diduga akibat aksi forced sell dari trader margin. Forced sell atau penjualan paksa adalah situasi di mana sekuritas atau saham milik investor dijual secara otomatis oleh sekuritas (broker) karena saldo margin mereka tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban pinjaman.
Dalam konteks trader margin, mereka membeli saham dengan dana pinjaman dari sekuritas, dengan jaminan berupa saham yang dibeli atau aset lain di akun mereka. Jika harga saham yang dibeli dengan margin turun drastis dan saldo jaminan tidak lagi memenuhi batas minimum yang ditetapkan oleh broker (margin call), maka broker akan memaksa menjual (forced sell) saham tersebut untuk menutup kerugian dan menghindari risiko lebih besar.
Di sisi lain, Surya melihat tekanan yang terjadi di pasar modal Indonesia lebih banyak disebabkan oleh faktor internal dibanding faktor eksternal. Kondisi pasar regional, kata dia, relatif stabil, sementara di Indonesia terjadi kombinasi antara aksi jual trader margin dan minimnya arus modal masuk dari investor asing.
"Kalau lihat kondisi market kemarin, faktornya lebih ke internal daripada eksternal karena market regional nggak ada masalah. Jadi memang antara hal teknis terkait trader margin kena forced sell ditambah inflow asing yang lemah," katanya.
Kombinasi Defisit Fiskal, Trump 2.0, dan Aksi Jual Besar-besaran
Meskipun tekanan jual di pasar saham Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh aksi investor asing dan forced sell dari trader margin, beberapa ekonom melihat kejatuhan IHSG sebagai akumulasi dari berbagai tekanan yang telah berlangsung selama berbulan-bulan. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, melihat kejatuhan IHSG sudah berlangsung selama enam bulan terakhir sebelum akhirnya mencapai titik dramatis dalam satu hari perdagangan. “Sejak 6 bulan yang lalu konsisten mengalami penurunan. Kemudian satu hari kemarin, itu betul-betul penurunan yang sangat dramatis. Saya melihatnya ada 3 variable utama yang muncul bersamaan,” ungkapnya dalam program Bursa Pagi-Pagi di Channel YouTube Kabar Bursa, Rabu, 19 Maret 2025.
Salah satu faktor utama yang menciptakan tekanan di pasar saham adalah kondisi fiskal Indonesia yang semakin mengkhawatirkan. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per Februari 2025 tercatat lebih besar dari yang diperkirakan, sementara prospek fiskal sepanjang tahun ini dipandang berat. Wijayanto menyoroti bagaimana dalam empat bulan pertama pemerintahan baru, kebijakan ekonomi yang dijalankan masih berorientasi pada program-program besar yang bombastis, tetapi minim pendekatan teknokratis yang matang.
Selain itu, investor saat ini tengah mencermati peringkat utang (sovereign rating) Indonesia yang akan diumumkan oleh Moody’s dan Fitch pada April mendatang, disusul oleh Standard & Poor’s (S&P) pada pertengahan tahun. Jika kondisi ekonomi dianggap semakin memburuk, bukan tidak mungkin peringkat kredit Indonesia mengalami penurunan, yang pada akhirnya akan semakin menggerus kepercayaan investor. “Situasi yang tidak menggembirakan ini bisa membuat rating kita berpotensi turun,” kata Wijayanto.
Selain masalah dalam negeri, faktor eksternal juga memberikan tekanan tambahan pada pasar saham Indonesia. Sejumlah hedge fund global saat ini tengah melakukan rebalancing aset mereka dengan memindahkan dana dari negara-negara yang dianggap memiliki risiko tinggi ke aset yang lebih aman.
Salah satu pemicunya adalah kebijakan ekonomi Trump 2.0 yang kembali menerapkan tarif tinggi dan pendekatan proteksionis dalam perdagangan global. Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk dalam daftar dengan risiko meningkat, terutama karena kombinasi defisit fiskal, pelemahan rupiah, dan ketidakpastian kebijakan ekonomi yang belum menunjukkan arah yang jelas. “Investor besar melihat risiko di Indonesia sedang naik,” kata Wijayanto.
Dengan kombinasi tekanan domestik dan eksternal yang semakin kompleks, pasar saham Indonesia tampaknya masih harus menghadapi tantangan berat dalam beberapa waktu ke depan. Investor pun perlu mencermati perkembangan lebih lanjut perihal kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan strategi mitigasi terhadap ketidakpastian global.(*)