KABARBURSA.COM — Wacana pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2024 tentang TNI yang dikabarkan akan dilakukan besok menimbulkan kekhawatiran akan munculnya berbagai polemik di masyarakat, termasuk di kalangan pengamat. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah rencana pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)untuk menempatkan prajurit aktif dalam jabatan sipil, yang dinilai berisiko tinggi, terutama terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa perubahan aturan ini dapat menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap ekonomi Indonesia. Menurutnya, penempatan prajurit aktif di jabatan sipil berisiko menyebabkan inefisiensi sumber daya.
“Ini didasarkan pada gap keahlian militer berbeda dengan pekerjaan sipil terutama dalam pengambilan keputusan strategis. Jika semua masalah ditarik pada konteks keamanan dan pertahanan, terdapat risiko proses pembangunan akan bias kepentingan militer,” ujar Bhima kepada KabarBursa, Rabu 19 Maret 2025.
Selain itu, Bhima mengkhawatirkan adanya potensi crowding out effect jika militer diperbolehkan berbisnis. Kondisi tersebut menggambarkan situasi di mana belanja atau aktivitas pemerintah menghambat investasi atau pertumbuhan sektor swasta. Dikarenakan militer mengambil alih peran yang seharusnya dijalankan oleh pelaku swasta, UMKM, hingga petani.
“Contohnya sudah terjadi pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan dapur umum yang tersentralistik, dan food estate yang dikerjakan TNI. Artinya ada potensi lapangan pekerjaan masyarakat diperebutkan militer aktif,” jelas Bhima.
Bhima juga menyinggung kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak terbukti lebih baik meskipun telah melibatkan personel militer aktif. Kendati menempatkan posisi militer aktif, dalam hal ini menurut Bhima, tak terbukti meningkatkan kinerja BUMN, baik sebagai penyedia layanan publik (Public Service Obligation/PSO) maupun sebagai entitas bisnis yang menghasilkan keuntungan. “Yang terjadi adalah demoralisasi pada manajerial dan staff BUMN karena puncak karier ditentukan oleh political appointee bukan karena meritrokrasi,” jelasnya. Dengan artian, dengan ketidakadaan konsep meritokrasi pada badan BUMM, dikhawatirkan brain drain akan merugikan BUMN itu sendiri.
Masalah lain dari sisi investasi, Bhima menilai revisi UU TNI berpotensi mengembalikan sistem ekonomi ke pola komando, bukan berbasis inovasi dan persaingan sehat. Akibatnya investasi asing atau foreign direct investment berisiko turun, dan target penanaman modal asing sebesar Rp3.414 triliun pada 2029 akan sulit tercapai. “Efeknya investor akan menimbang ulang berinvestasi di Indonesia. Dengan tata kelola, korupsi, dan izin lingkungan yang bermasalah, Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Vietnam dan China,” kata Bhima.
Selain itu, Bhima juga mengingatkan soal risiko fiskal jika revisi UU TNI menaikkan batas usia pensiun prajurit. “Saat ini, total belanja pegawai pemerintah sudah mencapai Rp521,4 triliun, meningkat 85,5 persen dalam 10 tahun terakhir. Jika usia pensiun TNI diperpanjang, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa dengan cepat menembus 3 persen. Ini berbahaya karena melanggar konstitusi, khususnya Undang-Undang Keuangan Negara Tahun 2003,” tutupnya.
RUU TNI bikin Pasar tak Kompetitif
Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, menilai revisi ini dapat berdampak negatif terhadap iklim investasi. Menurutnya, investor akan berpikir ulang untuk masuk ke Indonesia jika keterlibatan militer dalam sektor bisnis semakin meluas.
“Buat apa investor asing atau swasta bersaing dengan perusahaan yang punya akses ke jaringan militer? Ini jelas akan berdampak negatif, karena investor enggan masuk ke pasar yang tidak kompetitif,” ujarnya saat dihubungi KabarBursa.com di Jakarta, Senin, 17 Maret 2025.
Sentimen ini semakin menguat seiring dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang tengah bergulir di DPR RI. Revisi terhadap UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ini menuai sorotan lantaran membuka peluang lebih luas bagi perwira aktif TNI untuk menduduki jabatan sipil, termasuk di kementerian dan lembaga negara.
RUU ini telah disetujui Komisi I DPR RI dan kini masuk dalam tahap pembahasan Panitia Kerja (Panja) yang beranggotakan perwakilan dari berbagai fraksi. Ketua Komisi I DPR sekaligus Ketua Panja, Utut Adianto, menjelaskan bahwa revisi ini mencakup berbagai aspek, mulai dari postur organisasi TNI, peran dan fungsi, hingga kesejahteraan prajurit. Salah satu yang paling kontroversial adalah penempatan prajurit aktif dalam 16 kementerian/lembaga negara, yang sebelumnya dilarang dalam Pasal 47 Ayat 2 UU TNI.
Dalam aturan yang baru, perwira aktif bisa ditempatkan di berbagai institusi strategis, seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung (Kejagung), hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun, untuk jabatan di luar daftar tersebut, anggota TNI tetap diwajibkan mundur dari dinas militer sebelum menjabat.
Tak hanya soal jabatan sipil, revisi UU TNI juga mengusulkan perubahan batas usia pensiun. Jika sebelumnya bintara dan tamtama pensiun di usia 53 tahun, dalam usulan baru mereka bisa aktif hingga 55 tahun, sedangkan perwira yang sebelumnya pensiun di usia 58 tahun bisa diperpanjang hingga 62 tahun, tergantung pangkatnya.
Banyak pihak mengkritik bahwa perluasan peran TNI ini bisa mengaburkan batas antara sektor militer dan sipil, termasuk dalam ranah ekonomi. Meski RUU TNI secara eksplisit tidak menyebutkan peluang prajurit aktif untuk masuk ke dunia bisnis, pola yang ada saat ini menunjukkan bahwa purnawirawan TNI telah banyak mengisi posisi strategis dalam perusahaan negara maupun swasta.