KABARBURSA.COM - Pelaku industri pertambangan meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali rencana kenaikan royalti yang dinilai semakin membebani sektor tersebut. Berbagai asosiasi pertambangan menyoroti dampak kebijakan ini terhadap investasi dan keberlanjutan industri, terutama di tengah tren harga global yang sedang melemah dan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil.
Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menegaskan bahwa industri saat ini sudah dibebani oleh berbagai regulasi yang terus berubah. Menurutnya, kebijakan ini dapat menghambat pertumbuhan industri serta mengurangi daya saing Indonesia di pasar global.
“Sekarang industri sudah terbebani dengan berbagai kewajiban akibat regulasi yang terus berubah-ubah. Tren harga sedang turun, ekonomi global juga tidak dalam kondisi baik-baik saja, sementara ekonomi lokal berpotensi mengalami kontraksi. Kenaikan royalti ini tentu akan berdampak bukan hanya pada perusahaan, tetapi juga pada target pemerintah dalam menarik investasi, terutama di sektor hilirisasi,” ujar Hendra.
IMA sendiri telah mengajukan surat kepada pemerintah untuk meminta kajian lebih lanjut terkait rencana tersebut. Mereka menyoroti bahwa kebijakan ini tidak hanya akan memukul perusahaan pertambangan, tetapi juga investor yang telah menanamkan modal di sektor ini. Hendra juga meminta agar pengambil kebijakan berdiskusi lebih lanjut dengan para pemangku kepentingan sebelum kebijakan ini diterapkan.
Senada dengan Hendra, Ketua Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Nanan Soekarna, menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan dalam kebijakan pertambangan. Ia menyoroti bahwa industri nikel dan sektor mineral lainnya harus memiliki regulasi yang adil dan tidak memberatkan pelaku usaha.
“Kita ingin industri ini maju karena menjadi tulang punggung investasi dan perekonomian nasional. Jika industri sehat, maka negara juga akan sehat. Namun, jika regulasi terus berubah tanpa kajian mendalam, maka para pelaku usaha akan menghadapi ketidakpastian yang merugikan,” kata Nanan.
Menurutnya, asosiasi pertambangan saat ini telah membangun sinergi dengan membentuk sekretariat bersama untuk mengawal regulasi di sektor ini. Ia berharap pemerintah dapat membuka ruang dialog yang lebih luas sebelum mengambil keputusan strategis yang dapat berdampak luas bagi sektor pertambangan.
Skema MIP dan Penurunan Tarif Royalti
Harapan besar mengarah pada dua kebijakan penting yang dinanti, yaitu penerapan skema Mitra Instansi Pengelola (MIP) dan penurunan tarif royalti batu bara. Skema MIP dirancang untuk menjaga stabilitas harga batu bara domestik sekaligus memastikan ketersediaan pasokan bagi sektor strategis seperti kelistrikan, pupuk, dan semen.
Dalam rancangan skema ini, harga batu bara untuk sektor kelistrikan akan dipatok pada level USD70 per ton, sedangkan sektor non-kelistrikan di angka USD90 per ton. Kebijakan ini, yang merupakan bagian dari langkah stabilisasi domestic market obligation (DMO), diharapkan mampu memberikan kestabilan yang lebih baik bagi industri batu bara domestik.
Tidak hanya itu, juga mengurangi dampak fluktuasi harga global yang sering kali menjadi tantangan besar bagi pelaku industri. Namun, penerapan skema MIP hingga kini masih menanti keputusan final dari Kementerian Keuangan.
Analis Verdhana Sekuritas Michael Edward, dalam risetnya menyebut bahwa kebijakan ini akan memberikan keuntungan signifikan bagi perusahaan batu bara dengan porsi penjualan domestik yang besar. Michael menyebut beberapa emiten yang berpeluang mendapatkan cuan dari sektor ini, yaitu PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indika Energy Tbk (INDY), dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI).
Jika MIP terealisasi, laba setelah pajak PTBA diprediksi melonjak hingga 59 persen. Sementara itu, INDY dan BUMI masing-masing berpotensi mengalami kenaikan laba sebesar 65 persen dan 52 persen.
Selain MIP, perhatian juga tertuju pada kebijakan penurunan tarif royalti batu bara, yang diperkirakan akan membawa dampak signifikan bagi para pemegang lisensi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Michael memprediksi bahwa kebijakan ini akan menguntungkan sejumlah pemain besar, seperti PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO), INDY, dan BUMI. Jika penurunan tarif royalti direalisasikan, ADRO dapat melihat kenaikan laba bersih sebesar 20 persen pada tahun ini. Sementara itu, laba INDY dan BUMI diperkirakan akan melonjak hingga masing-masing 135 persen dan 44 persen.
Dua kebijakan tersebut, jika diimplementasikan, tidak hanya berpotensi mengangkat performa emiten-emiten batu bara di Indonesia tetapi juga mengokohkan sektor ini sebagai salah satu pilar utama ekonomi nasional.
Dengan demikian, sektor batu bara tak hanya menjadi tonggak penting bagi kebutuhan energi dan industri dalam negeri, tetapi juga sebuah peluang besar bagi investor yang memahami potensi besar di balik dinamika regulasi dan tren pasar yang terus berkembang.(info-bks/*)