KABARBURSA.COM - Kebijakan ekonomi berbasis utang dinilai semakin mengkhawatirkan dan berisiko menyeret Indonesia ke jalur krisis seperti yang dialami Sri Lanka dan Argentina. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai tren akumulasi utang yang terus meningkat dapat menjadi bom waktu bagi perekonomian nasional.
"Rasio utang terhadap PDB mungkin masih dianggap aman, tetapi jika tren ini terus meningkat 8 persen per tahun, pada 2030 bisa melampaui 70 persen, ambang batas kritis menurut IMF," ujar Achmad kepada KabarBursa.com, Rabu 19 Maret 2025.
Ia mengingatkan bahwa krisis di Sri Lanka dan Argentina juga berawal dari kebijakan populis yang tidak diimbangi dengan reformasi struktural.
Sri Lanka, misalnya, bangkrut pada 2022 setelah memaksakan subsidi besar-besaran dan proyek mercusuar yang akhirnya tidak produktif. Sementara itu, Argentina terperosok dalam inflasi 200 persen pada 2023 setelah gagal membayar bunga utangnya yang mencapai 90 persen dari PDB.
"Indonesia sedang menapaki jalur yang sama. Jika tidak ada perubahan, investor akan semakin kehilangan kepercayaan," tegasnya.
Investor Asing Mulai Menarik Diri
Kekhawatiran terhadap kondisi fiskal Indonesia sudah mulai tercermin di pasar keuangan. Achmad menyoroti lonjakan imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) ke level 7,5 persen, tertinggi sejak 2018, sebagai sinyal meningkatnya risiko yang dipersepsikan investor.
Ia juga menyoroti dampak utang terhadap suku bunga domestik. Akumulasi utang yang besar dinilai memaksa Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75 persen pada Maret 2025, salah satu yang tertinggi di ASEAN.
"Dampaknya ke sektor riil sangat nyata. Kredit investasi hanya tumbuh 5 persen secara tahunan (yoy), jauh dari target 12 persen. Sektor UMKM pun terpukul karena 60 persen pelaku usaha mengeluhkan sulitnya mengakses pinjaman bank," jelasnya.
Selain itu, menurut Achmad, besarnya porsi anggaran untuk pembayaran bunga utang juga mengurangi ruang fiskal untuk belanja produktif. Ia menyoroti minimnya anggaran riset dan pengembangan (R&D) yang hanya Rp35 triliun atau 0,3 persen dari PDB pada 2025.
"Sementara itu, negara seperti Korea Selatan mengalokasikan 4 persen dari PDB untuk inovasi. Tanpa investasi di sektor ini, Indonesia akan semakin sulit keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah," ujarnya.
Achmad menegaskan bahwa pemerintah perlu segera menata ulang kebijakan fiskalnya sebelum terlambat agar Indonesia tidak terjebak dalam krisis akibat pengelolaan utang yang tidak hati-hati.
Ia memperingatkan bahwa jika pemerintah terus bergantung pada utang tanpa melakukan reformasi struktural, investor akan semakin menarik diri, yang berpotensi menimbulkan dampak lebih besar dari yang diperkirakan.
"Jangan sampai Indonesia jatuh ke dalam krisis akibat utang yang dikelola secara tidak hati-hati. Jika terus mengandalkan utang tanpa reformasi struktural, investor akan semakin menarik diri, dan dampaknya bisa jauh lebih besar dari yang dibayangkan," pungkasnya.
Sri Mulyani Klaim Investor Tetap Kuat
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kepercayaan investor terhadap pemerintah tetap kuat, meskipun pasar saham mengalami tekanan yang cukup signifikan. Hal itu didasari oleh hasil positif dalam lelang Surat Utang Negara (SUN) pekan ini, dengan total penawaran masuk (incoming bid) mencapai Rp61,75 triliun, atau 2,38 kali lipat dari target indikatif Rp26 triliun.
Bendahara negara itu menyatakan bahwa tingginya penawaran ini mencerminkan kepercayaan investor terhadap pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
“Penawaran yang masuk atau kita sering sebut incoming bid sangat kuat. Ini artinya kepercayaan investor masih kuat terhadap pemerintah dan APBN. Kalau mereka tidak percaya, mereka tentu tidak ikut dalam incoming bid,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada Selasa 18 Maret 2025.
Dari total incoming bid tersebut, investor asing berkontribusi sebesar Rp13,95 triliun atau 22,59 persen dari total penawaran masuk. Hal ini menunjukkan bahwa investor global masih melihat Indonesia sebagai tempat investasi yang menarik di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Melebihi Target Indikatif
Sri Mulyani mengungkapkan bahwa pemerintah memenangkan penawaran (awarded bid) sebesar Rp28 triliun, sedikit di atas target indikatif Rp26 triliun. Dari jumlah tersebut, investor asing memenangkan Rp5,33 triliun atau 19,04 persen dari total awarded bid.
“Ini artinya di atas indikatif target yang sudah kita tetapkan. Dari awarded Rp28 triliun tadi, komposisi investor asing yang memenangkan penawaran ini mencapai Rp5,33 triliun atau 19,04 persen,” jelasnya.
Sri Mulyani menekankan bahwa yield atau imbal hasil dari SUN yang dilelang tetap stabil dan sejalan dengan pasar sekunder. Dengan kata lain, pemerintah tidak perlu memberikan tambahan imbal hasil (premium) untuk menarik minat investor.
“Tingkat yield yang diaward sama dengan tingkat di secondary market. Artinya pemerintah tidak perlu harus memberikan premium atau tambahan imbal hasil untuk bisa menarik investor. Ini artinya kepercayaan sekali lagi,” kata Sri Mulyani.
Berikut hasil awarded bid dan yield masing-masing tenor SUN:
Sri Mulyani juga membandingkan spread (selisih imbal hasil) SUN Indonesia dengan US Treasury sebagai tolok ukur global. Spread SUN 10 tahun Indonesia terhadap US Treasury hanya 267 basis poin, lebih rendah dibandingkan negara-negara sekelasnya seperti Meksiko (521 bps), Afrika Selatan (629 bps), dan Brasil (1.070 bps).
“Memang Indonesia memiliki daya tarik dari surat utang negara yang kompetitif dan ini sekali lagi juga mencerminkan kepercayaan terhadap pengelolaan APBN kita,” katanya.(*)