KABARBURSA.COM - Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja, menilai daya beli masyarakat masih belum sepenuhnya kembali normal.
Indikasi dari tren ini dapat dilihat dari perubahan pola konsumsi masyarakat kelas menengah dan menengah ke bawah, yang kini lebih memilih barang dengan harga lebih rendah dan ukuran lebih kecil.
"Meskipun daya beli masyarakat kelas menengah turun, tapi mereka tetap belanja. Tetapi pola belanjanya berubah. Sekarang yang diburu itu adalah barang-barang produk yang harga satuan, yang unit price-nya rendah, unit size-nya kecil," ujar Alphonzus usai menghadiri peluncuran BINA Diskon Lebaran 2025 di Lippo Mal Nusantara, Jakarta, Jumat, 14 Maret 2025.
Menurutnya, kategori produk dengan harga lebih terjangkau terus mengalami pertumbuhan di sektor ritel. Fenomena ini memperlihatkan bahwa belanja dalam jumlah kecil atau eceran semakin meningkat, yang sekaligus menjadi indikasi berkurangnya jumlah uang yang dimiliki masyarakat untuk konsumsi.
"Karena uang yang dipegang semakin sedikit, daya belinya menurun," tambahnya.
Selain itu, tren pergeseran konsumsi ini turut memicu peningkatan impor ilegal, sebab masyarakat semakin mencari barang dengan harga yang jauh lebih murah. Alphonzus menilai, kondisi ini berpotensi memperburuk kondisi pelaku usaha dalam negeri yang harus bersaing dengan barang impor tidak resmi.
Memasuki bulan Ramadan, APPBI mencatat bahwa meskipun sektor ritel masih mengalami pertumbuhan, dampak pelemahan daya beli membuat peningkatan penjualan diperkirakan tidak terlalu signifikan. Alphonzus memperkirakan pertumbuhan penjualan ritel di periode Lebaran tahun ini hanya akan berada di bawah 10 persen.
"Tumbuh tapi hanya single digit saja," ucapnya.
Namun, ia masih optimistis terhadap tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan, yang diperkirakan akan meningkat sekitar 15 hingga 20 persen.
Ia menambahkan bahwa 95 persen dari total kunjungan ke pusat perbelanjaan di Indonesia berasal dari kelas menengah bawah. Dengan kondisi daya beli kelompok ini yang masih tertekan, dampaknya turut terasa pada perekonomian secara keseluruhan.
"Dalam kondisi ekonomi seperti ini masyarakat tetap datang di pusat perbelanjaan, tidak berkurang, namun pola belanjanya yang bergeser," pungkasnya.
Aturan Insentif PPh Karyawan
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025 yang mengatur Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Tertentu yang Ditanggung Pemerintah (DTP) dalam rangka stimulus ekonomi tahun anggaran 2025.
Kebijakan ini ditetapkan dan mulai berlaku sejak 4 Februari 2025 sebagai bagian dari langkah strategis untuk meringankan beban pajak karyawan, meningkatkan daya beli masyarakat, serta menjaga stabilitas perekonomian nasional.
Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1 persen menjadi 12 persen yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025.
Dengan adanya insentif pajak ini, pemerintah berharap dapat mengurangi dampak kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi rumah tangga.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dwi Astuti, menjelaskan bahwa penerbitan PMK Nomor 10 Tahun 2025 adalah bentuk komitmen pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat melalui paket-paket stimulus yang diberikan.
Insentif ini diharapkan dapat memberikan manfaat langsung bagi pekerja yang memiliki penghasilan terbatas, terutama di sektor industri tertentu.
Dalam aturan ini, pegawai tetap dengan penghasilan bruto tidak lebih dari Rp10 juta per bulan serta pegawai tidak tetap yang memperoleh penghasilan hingga Rp500 ribu per hari di sektor industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit akan menerima gaji tanpa potongan pajak.
Ketentuan ini berlaku mulai masa pajak Januari 2025 atau sejak bulan pertama pekerja mulai bekerja di tahun tersebut.
Diharapkan, kebijakan ini mampu memberikan dorongan bagi sektor-sektor yang menjadi sasaran insentif. Dengan meningkatkan daya beli masyarakat, konsumsi rumah tangga diharapkan tumbuh lebih kuat, sehingga mendukung laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk mempertahankan daya saing industri yang terdampak perubahan kebijakan pajak dan kondisi ekonomi global.
Pemerintah optimis bahwa langkah ini akan memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional. Dengan adanya keringanan pajak bagi pekerja di sektor strategis, diharapkan dapat terjadi peningkatan produktivitas, kesejahteraan pekerja, serta daya tahan industri dalam menghadapi dinamika ekonomi.
Oleh karena itu, keberhasilan implementasi PMK Nomor 10 Tahun 2025 ini sangat bergantung pada koordinasi yang baik antara pemerintah, pelaku industri, dan pekerja untuk memastikan manfaatnya dapat dirasakan secara maksimal oleh masyarakat luas.(*)