KABARBRURSA.COM – Kementerian Keuangan melaporkan defisit APBN mencapai Rp31,3 triliun per Februari 2025. Defisit di awal tahun ini merupakan yang pertama dalam empat tahun terakhir. Hal ini disebabkan merosotnya penerimaan pajak hingga 41,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak menilai kondisi keuangan negara saat ini begitu mengkhawatirkan. "Kami sangat prihatin dengan tren fiskal ini. Turunnya penerimaan pajak secara drastis bukan hanya mengancam keberlanjutan anggaran negara. Tetapi juga bisa berdampak luas pada perekonomian nasional, stabilitas nilai tukar, dan kepercayaan investor," ujar Amin dalam keterangan tertulis yang diterima KabarBursa.com di Jakarta, Jumat, 14 Maret 2025.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan salah satu penyebab utama turunnya penerimaan pajak adalah gangguan teknis pada sistem Coretax yang berdampak pada proses administrasi perpajakan. Menanggapi hal ini, Amin menilai permasalahan tersebut tidak boleh dianggap remeh dan harus segera diatasi dengan langkah konkret.
Ia menilai jika sistem perpajakan baru justru membuat penerimaan negara merosot tajam, berarti ada kesalahan serius dalam perencanaannya. Menurutnya, pemerintah perlu segera memastikan Coretax berfungsi dengan optimal.
"Kalo tidak, pemerintah harus menyiapkan mekanisme darurat agar pengumpulan pajak tidak terus terganggu," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.
Di sisi lain, lemahnya penerimaan pajak juga mencerminkan perlambatan ekonomi yang berdampak pada pajak korporasi dan PPN. Jika kondisi ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan defisit APBN akan melebihi target Rp 612,2 triliun (2,53 persen dari PDB) tahun ini.
Selain itu, keterlambatan publikasi laporan APBN KiTa untuk Januari-Februari 2025 turut menimbulkan kekhawatiran perihal transparansi dalam pengelolaan fiskal.
Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini menegaskan keterbukaan data keuangan negara sangat krusial untuk menjaga kepercayaan publik dan investor.
"Kita tidak ingin ada spekulasi negatif akibat keterlambatan informasi. Menteri Keuangan harus lebih transparan dan responsif dalam menyampaikan kondisi fiskal negara agar pasar dan dunia usaha dapat mengantisipasi risiko dengan baik," katanya.
Amin mengatakan BAKN DPR RI berkomitmen untuk mengawal kebijakan ekonomi nasional agar tetap berada di jalur yang sehat dan berkelanjutan.
"Kami akan terus mengawasi dan memberikan masukan kepada pemerintah agar kebijakan fiskal kita tidak hanya sekadar memenuhi target angka. Tetapi benar-benar memperkuat ekonomi nasional secara menyeluruh," katanya.
Penerimaan Pajak Terjun Bebas
Merosotnya penerimaan pajak yang berkontribusi pada defisit APBN ini tidak hanya disebabkan oleh kendala teknis dalam sistem perpajakan, tetapi juga dipengaruhi oleh melemahnya sektor komoditas utama. Penurunan harga batu bara, minyak, dan nikel semakin menekan setoran pajak yang akhirnya berdampak signifikan pada realisasi penerimaan negara di awal 2025.
Sri Mulyani melaporkan.hingga Februari 2025, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target tahunan. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp269,02 triliun, angka ini menunjukkan penurunan hingga 30,19 persen.
“Penerimaan pajak Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target (Rp2.189,3 triliun),” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Kamis, 13 Maret 2025.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menuturkan, ada dua faktor utama yang menyebabkan anjloknya penerimaan pajak, yakni penurunan harga komoditas utama dan penyesuaian kebijakan administrasi pajak.
“Ada dampak dari penurunan harga komoditas, serta adanya kebijakan administrasi yang menggeser timing penerimaan pajak,” ujarnya.
Sektor pertambangan—yang selama ini menjadi tulang punggung penerimaan pajak—mengalami pelemahan. Harga batu bara turun 11,8 persen, minyak anjlok 5,2 persen, dan nikel jatuh 5,9 persen secara tahunan. Kondisi ini berdampak langsung pada setoran pajak negara, terutama dari perusahaan tambang yang mengalami penurunan profitabilitas.
“Jika dibandingkan dengan tahun lalu, harga komoditas ini mengalami koreksi yang cukup tajam, dan ini mempengaruhi setoran pajak dari sektor pertambangan dan penggalian,” kata Anggito.
Selain faktor eksternal, perubahan dalam kebijakan administrasi pajak juga menjadi penyebab keterlambatan penerimaan. Salah satunya adalah penyesuaian tarif efektif rata-rata (TER) untuk PPh 21, serta relaksasi PPN dalam negeri yang menyebabkan penerimaan pajak bergeser ke bulan berikutnya.
“Ada faktor pergeseran timing karena relaksasi PPN yang menyebabkan penerimaan, yang seharusnya masuk pada Februari bergeser ke Maret,” jelasnya.
Di sisi lain, Anggito juga menyebut bahwa kelebihan pembayaran pajak pada 2024 turut berkontribusi pada rendahnya penerimaan awal tahun ini.
“Jika kita hitung normalisasi, sebetulnya ada lebih bayar di 2024 sekitar Rp16,5 triliun. Ini yang membuat penerimaan pajak awal tahun terlihat lebih kecil,” katanya.
Laporan APBN KiTa edisi Februari 2025 mencatat hingga akhir Januari, penerimaan pajak mencapai Rp88,89 triliun, atau setara 4,06 persen dari target tahunan sebesar Rp2.289,3 triliun.
Dari sisi sektoral, kontribusi terbesar masih berasal dari PPh Nonmigas yang menyumbang Rp57,78 triliun atau 5,04 persen dari target. Sementara itu, PPN dan PPnBM tercatat sebesar Rp24,62 triliun atau 2,60 persen dari target, sedangkan PPh Migas mencapai Rp4,27 triliun, atau 6,79 persen dari target.
Namun, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, ketiga sektor utama ini mengalami perlambatan. Di sisi lain, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pajak lainnya justru menunjukkan peningkatan, dengan realisasi mencapai Rp2,22 triliun, atau 6,37 persen dari target.(*)