KABARBURSA.COM - Penerimaan pajak pada awal tahun 2025 mengalami penurunan signifikan. Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan, hingga Februari 2025 realisasinya baru mencapai Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target tahunan. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp269,02 triliun, angka ini mencerminkan penurunan hingga 30,19 persen.
"Penerimaan pajak Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target (Rp2.189,3 triliun)," ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Kamis, 13 Maret 2025.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, menjelaskan ada dua faktor utama yang menyebabkan anjloknya penerimaan pajak, yaitu penurunan harga komoditas utama dan penyesuaian kebijakan administrasi pajak.
"Ada dampak dari penurunan harga komoditas, serta adanya kebijakan administrasi yang menggeser timing penerimaan pajak," ujar Anggito.
Sektor pertambangan yang selama ini menjadi salah satu kontributor utama penerimaan pajak, mengalami pelemahan. Harga batu bara turun 11,8 persen, minyak anjlok 5,2 persen, dan nikel jatuh 5,9 persen secara tahunan.
Kondisi ini berdampak langsung pada pajak yang diterima negara, terutama dari perusahaan pertambangan yang mengalami penurunan profitabilitas.
"Jika dibandingkan dengan tahun lalu, harga komoditas ini mengalami koreksi yang cukup tajam, dan ini mempengaruhi setoran pajak dari sektor pertambangan dan penggalian," kata Anggito.
Selain faktor eksternal, perubahan dalam kebijakan administrasi perpajakan juga mempengaruhi penerimaan. Salah satunya adalah perubahan dalam tarif efektif rata-rata (TER) untuk PPh 21, serta adanya relaksasi PPN dalam negeri yang menyebabkan keterlambatan pencatatan penerimaan pajak.
"Ada faktor pergeseran timing karena relaksasi PPN yang menyebabkan penerimaan, yang seharusnya masuk pada Februari bergeser ke Maret," jelas Anggito.
Selain itu, perhitungan pajak pada 2024 juga menyebabkan kelebihan pembayaran yang baru terefleksi pada awal 2025.
"Jika kita hitung normalisasi, sebetulnya ada lebih bayar di 2024 sekitar Rp16,5 triliun. Ini yang membuat penerimaan pajak awal tahun terlihat lebih kecil," tambahnya.
Berdasarkan Laporan APBN KiTa edisi Februari 2025, penerimaan pajak hingga akhir Januari tercatat Rp88,89 triliun atau 4,06 persen dari target Rp2.289,3 triliun.
Secara sektoral, penerimaan pajak masih didominasi oleh:
Namun, dibandingkan periode yang sama tahun lalu, ketiga sektor ini mengalami perlambatan. Di sisi lain, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pajak lainnya mengalami kenaikan, dengan realisasi mencapai Rp2,22 triliun atau 6,37 persen dari target.
"Ada pergeseran dari sektor pajak, di mana PBB dan pajak lainnya meningkat, namun PPh Badan dan PPN dalam negeri mengalami perlambatan," kata Anggito.
Meski penerimaan pajak mengalami tekanan, tiga sektor utama tetap menjadi penyumbang terbesar: industri pengolahan, aktivitas keuangan dan asuransi, serta pertambangan dan penggalian. Ketiganya menyumbang 52,4 persen terhadap total penerimaan pajak Januari 2025.
Namun, terdapat perlambatan dalam setoran PPh Badan dan PPN Dalam Negeri. Hingga akhir Januari 2025, realisasi PPh Badan hanya Rp4,16 triliun, sedangkan PPN Dalam Negeri Rp2,58 triliun.
Anjloknya penerimaan pajak awal tahun ini mengingatkan pada tantangan fiskal yang dihadapi pemerintah. Ketergantungan pada sektor komoditas membuat penerimaan pajak sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar global.
Selain itu, kebijakan perpajakan yang diatur untuk efisiensi bisa berdampak pada pola penerimaan, membuat angka tampak lebih kecil dalam jangka pendek.
"Kami optimistis penerimaan pajak bisa kembali pulih dalam beberapa bulan ke depan, seiring dengan pemulihan ekonomi dan perbaikan harga komoditas," tutupnya.
Di awal 2025, penerimaan pajak mengalami penurunan signifikan. Hingga Februari, realisasinya baru mencapai Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target tahunan Rp2.189,3 triliun. Angka ini turun 30,19 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, dua faktor utama penyebab penurunan adalah turunnya harga komoditas utama dan kebijakan administrasi pajak yang memengaruhi waktu penerimaan. Harga batu bara turun 11,8 persen, minyak 5,2 persen, dan nikel 5,9 persen, menyebabkan sektor pertambangan—kontributor utama pajak—mengalami pelemahan.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menambahkan bahwa perubahan kebijakan perpajakan, seperti penyesuaian tarif efektif rata-rata (TER) PPh 21 dan relaksasi PPN dalam negeri, juga menyebabkan pergeseran pencatatan penerimaan pajak.
Secara sektoral, penerimaan pajak masih didominasi oleh PPh Nonmigas (Rp57,78 triliun), PPN dan PPnBM (Rp24,62 triliun), serta PPh Migas (Rp4,27 triliun), meskipun ketiganya mengalami perlambatan. Sektor industri pengolahan, aktivitas keuangan & asuransi, serta pertambangan & penggalian menyumbang 52,4 persen dari total penerimaan pajak Januari 2025.
Pemerintah optimistis penerimaan pajak akan pulih dalam beberapa bulan ke depan, seiring pemulihan ekonomi dan perbaikan harga komoditas.(*)