KABARBURSA.COM – Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menolak anggapan bahwa kebijakan fiskal dan perpajakan jadi biang kerok hengkangnya investor dari Indonesia. Menurutnya, situasi ini harus dilihat lebih luas agar tidak muncul kesalahpahaman soal daya tarik investasi di Tanah Air.
"Kalau investor enggak menanamkan modal, sebenarnya constraint-nya ada di mana? Situasi seperti ini kan masih baru, dan ada perasaan yang sama di kalangan pelaku usaha," ujar Misbakhun di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Kamis, 13 Maret 2025.
Misbakhun juga menyoroti penerimaan negara bukan pajak (PNBP) masih mengalami kenaikan, meskipun tidak terlalu signifikan. Penerimaan PNBP saat ini cenderung stagnan, sementara penerimaan bea cukai justru meningkat dari Rp22 triliun menjadi Rp23 triliun yang menurutnya menunjukkan adanya pertumbuhan.
Politikus Partai Golkar ini pun mempertanyakan narasi yang menyebut kebijakan pajak sebagai faktor utama stagnasi ekonomi. "Kalau sektor bea cukai saja naik, lalu PNBP stagnan, sebenarnya masalahnya ada di mana? Pajak ini harus kita lihat lebih dalam," ujarnya.
Misbakhun juga mengingatkan agar tidak ada framing yang menyudutkan Indonesia hanya karena satu faktor tertentu. "Jangan sampai muncul kesan bahwa Indonesia tidak menarik bagi investor hanya karena satu sebab. Ini yang harus kita luruskan," katanya.
Misbakhun mengatakan penerimaan pajak mengalami dinamika setiap bulan dan biasanya membaik menjelang akhir tahun saat batas pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak. Oleh karena itu, ia menilai keliru jika investor hanya menilai situasi dalam jangka pendek. "Penerimaan pajak itu tiap bulan menghadapi tantangan yang berbeda. Tapi, kita selalu mengalami perbaikan di akhir tahun. Jadi, saya enggak yakin investor hanya bicara soal constraint satu bulan saja," katanya.
Kredibilitas Fiskal Dinilai Biang Keladi Investor kabur
Anggota Komisi XI DPR, Harris Turino, sebelumnya mengatakan langkah Goldman Sachs yang menurunkan peringkat obligasi dari overweight menjadi neutral weight serta pasar saham Indonesia dari overweight ke market weight bukan sekadar formalitas laporan keuangan, tetapi memiliki dampak besar terhadap persepsi investor global terhadap Indonesia. Ia mengingatkan penurunan peringkat ini bisa membuat arus modal asing semakin deras keluar dari pasar Indonesia.
“Dampaknya besar sekali. Indonesia kini dipersepsikan tidak lagi sebagai negara yang ramah investasi. Akibatnya, dalam beberapa minggu terakhir terjadi arus keluar dana asing dari pasar modal kita mencapai Rp23 triliun,” ujar Harris dalam rapat bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu, 13 Maret 2025.
Harris menjelaskan penurunan peringkat ini bukan hanya persoalan angka di atas kertas, tetapi juga menurunkan daya tarik Indonesia sebagai destinasi investasi. Para investor mulai mencari negara yang dianggap lebih stabil dan memiliki kebijakan yang lebih menarik.
Fenomena ini makin terasa dengan keputusan beberapa perusahaan global yang lebih memilih menanamkan modalnya di negara lain ketimbang Indonesia. Harris menyoroti bagaimana TikTok, yang seharusnya memiliki basis pasar besar di Indonesia dengan 107 juta pengguna—satu setengah kali populasi Thailand—malah memilih Negeri Gajah Putih sebagai tujuan investasi senilai Rp132 triliun.
Tak hanya TikTok, Apple juga lebih melirik Vietnam sebagai lokasi ekspansinya. Perusahaan teknologi raksasa ini menggelontorkan Rp255 triliun ke Vietnam dan diperkirakan akan membuka sekitar 200 ribu lapangan kerja baru di negara tersebut. “Ini jelas menunjukkan bahwa Indonesia semakin tidak menarik bagi investor,” tegas Harris.
Keputusan perusahaan-perusahaan besar untuk membawa investasinya ke negara lain mengindikasikan ada sesuatu yang membuat Indonesia kurang menarik di mata investor. Bisa jadi, terka Harris, ini karena kebijakan yang dianggap kurang bersahabat atau ketidakpastian ekonomi yang membuat mereka memilih bermain aman di negara lain yang lebih stabil.
Tak hanya berdampak pada citra Indonesia sebagai tujuan investasi, turunnya peringkat ini juga berimbas langsung pada meningkatnya imbal hasil obligasi negara. Hal ini berarti pemerintah harus menanggung beban bunga yang lebih besar dalam kondisi anggaran yang sudah terbatas. “Bond kita bunganya akan lebih tinggi, sementara pemerintah sedang mengalami keterbatasan dana,” ujar Harris.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini juga menyoroti kondisi fiskal yang semakin mengkhawatirkan. Data penerimaan pajak Januari 2025 mencatat angka yang jauh dari harapan, hanya mencapai Rp88,89 triliun atau mengalami kontraksi sebesar 41 persen. Harris mengkritik lambatnya transparansi fiskal pemerintah, di mana laporan keuangan yang seharusnya rutin dipublikasikan justru sempat menghilang dari peredaran.
“Investor melihat ini sebagai tanda tanya besar terhadap kredibilitas fiskal kita. Apalagi, ada indikasi bahwa pada Februari kontraksi pajak bisa mencapai 30 hingga 40 persen,” katanya.
Banyak pihak yang menduga anjloknya penerimaan pajak ini berkaitan dengan sistem Core Tax (Cortex) yang disebut-sebut bermasalah. Namun, Harris berujar jika hanya Cortex yang menjadi penyebab, solusi tentu masih bisa dicari. “Jika hanya masalah Cortex, ini masih bisa diperbaiki. Tapi bagaimana jika masalah utamanya adalah bahwa berusaha di Indonesia memang semakin sulit? Penurunan pendapatan dan laba perusahaan tentu berdampak pada penerimaan pajak,” katanya.(*)