KABARBURSA.COM - Pasar ekuitas Eropa mengalami rebound setelah empat sesi berturut-turut mengalami pelemahan. Optimisme investor meningkat menyusul perkembangan positif dalam konflik antara Ukraina dan Rusia, serta laporan inflasi Amerika Serikat yang lebih rendah dari perkiraan.
Indeks pan-Eropa STOXX 600 ditutup menguat 0,81 persen atau naik 4,37 poin ke level 541,25, menandai akhir dari tren penurunan terpanjang sejak Desember. Bursa saham utama di kawasan ini juga mengalami penguatan.
Di Jerman, indeks DAX melonjak 1,56 persen atau 347,65 poin menjadi 22.676,41, sementara FTSE 100 di Inggris naik 0,53 persen atau 44,98 poin ke level 8.540,97. Indeks CAC 40 Prancis turut menguat 0,59 persen atau 47,05 poin, mencapai 7.988,96.
Kenaikan ini didorong oleh kesepakatan Amerika Serikat untuk melanjutkan bantuan militer dan intelijen kepada Ukraina setelah Kyiv menyatakan kesediaannya menerima proposal gencatan senjata selama 30 hari dengan Rusia. Sentimen pasar pun membaik, dengan harapan bahwa jika gencatan senjata berlanjut dan mengarah pada kesepakatan damai yang lebih permanen, biaya energi di Eropa dapat turun secara signifikan. Kondisi ini berpotensi memberikan dampak positif bagi ekonomi kawasan.
Sebagian besar sektor dalam indeks STOXX 600 mengalami kenaikan, terutama perbankan serta industri barang dan jasa Eropa yang mencatat penguatan tertinggi. Salah satu saham yang mencuri perhatian adalah Zealand Pharma, yang meroket lebih dari 37 persen setelah perusahaan farmasi Swiss, Roche, mengakuisisi hak atas terapi obesitas dari perusahaan tersebut dalam kesepakatan kerja sama senilai USD5,3 miliar.
Saham Roche sendiri melonjak 3,6 persen, mencapai level tertinggi dalam lebih dari dua tahun dan mendorong indeks sektor kesehatan naik 0,4 persen.
Namun, tidak semua sektor menikmati sentimen positif. Saham perusahaan ritel mengalami tekanan, dengan sektor ini mencatatkan penurunan sebesar 3 persen. Inditex, induk perusahaan Zara, anjlok 7,5 persen setelah melaporkan awal yang lebih lambat untuk kuartal pertamanya sejak 1 Februari.
Saham Puma juga tertekan, jatuh hampir 19,9 persen ke level terendah dalam lebih dari delapan tahun, setelah perusahaan pakaian olahraga Jerman itu memberikan prospek penjualan kuartal pertama yang mengecewakan. Kondisi ini turut membebani sektor barang pribadi dan rumah tangga.
Selain faktor geopolitik, data inflasi AS yang lebih rendah dari ekspektasi turut memberikan dorongan bagi pasar. Data ini memberikan ruang bagi Federal Reserve untuk lebih fleksibel dalam kebijakan moneternya, termasuk kemungkinan pemangkasan suku bunga jika diperlukan untuk mendukung perekonomian.
Namun, kekhawatiran mengenai potensi perang dagang serta ancaman resesi masih menjadi faktor yang membatasi lonjakan lebih lanjut di pasar.
Sebelumnya, indeks acuan Eropa mengalami tekanan setelah kebijakan perdagangan AS kembali memicu volatilitas. Presiden Donald Trump menggandakan tarif pada produk baja dan aluminium Kanada, yang sempat memicu reaksi keras dari Kanada dan Uni Eropa. Namun, langkah tersebut kemudian ditarik kembali, mengurangi tekanan di pasar global.
Sementara itu, saham Porsche mengalami sedikit penurunan setelah produsen mobil mewah ini melaporkan penurunan lebih dari 30 persen dalam laba per saham sepanjang tahun 2024. Faktor utama di balik penurunan ini adalah biaya operasional yang tinggi serta melemahnya permintaan dari China, yang menjadi salah satu pasar utama mereka.
Investor juga mencermati dinamika politik di Eropa, khususnya di Portugal, setelah pemerintahan minoritas kanan-tengah runtuh pada hari Selasa. Di Jerman, perhatian tertuju pada pemungutan suara yang akan menentukan kelanjutan reformasi ekonomi negara tersebut.
Secara keseluruhan, meskipun bursa Eropa menunjukkan pemulihan, sejumlah faktor risiko masih membayangi, termasuk ketidakpastian geopolitik, kebijakan perdagangan global, serta kondisi ekonomi di negara-negara utama. Namun, optimisme tetap terjaga seiring dengan harapan akan stabilitas di kawasan dan kebijakan moneter yang lebih longgar di masa mendatang.
Wall Street Juga Menguat
Bursa saham Wall Street mencatat penguatan pada perdagangan Rabu waktu setempat atau Kamis dinihari WIB, 13 Maret 2025, seiring dengan data inflasi yang lebih rendah dari perkiraan, yang memberikan sedikit optimisme di tengah tekanan perang tarif yang semakin memanas. Meski begitu, dampak dari kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump terus membayangi pasar, menahan laju kenaikan indeks utama.
Indeks S&P 500 dan Nasdaq berhasil ditutup di zona hijau, didorong oleh saham teknologi yang mengalami lonjakan signifikan. Nasdaq, yang dikenal dengan bobot besar saham-saham berbasis teknologi, mencatat lonjakan tajam, sementara S&P 500 naik lebih moderat.
Sebaliknya, Dow Jones justru bergerak fluktuatif sepanjang sesi dan akhirnya ditutup sedikit lebih rendah dibandingkan hari sebelumnya.
Pada penutupan perdagangan, Dow Jones Industrial Average turun 82,55 poin atau 0,20 persen ke level 41.350,93. S&P 500 menguat 27,23 poin atau 0,49 persen menjadi 5.599,30, sedangkan Nasdaq Composite melesat 212,36 poin atau 1,22 persen ke posisi 17.648,45.
Saham teknologi menjadi sektor yang paling unggul di antara 11 sektor utama dalam indeks S&P 500, sementara sektor consumer staples dan perawatan kesehatan mengalami perlambatan. Dorongan bagi saham teknologi datang setelah laporan yang menyebutkan bahwa TSMC sedang dalam tahap pembicaraan dengan Nvidia, AMD, dan Broadcom untuk investasi dalam usaha patungan di industri semikonduktor AS. Intel pun menikmati dampak positif dari kabar ini dengan kenaikan saham sebesar 4,6 persen.
Di sisi lain, tekanan bagi pasar tetap kuat akibat kebijakan proteksionisme Trump. Keputusan terbaru untuk mengenakan tarif 25 persen pada impor baja dan aluminium memicu respons dari Kanada dan Uni Eropa yang mengancam dengan tindakan balasan. Ketegangan dagang ini memunculkan kekhawatiran baru di kalangan investor bahwa eskalasi tarif akan memicu lonjakan harga barang dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, bahkan bisa menyeret AS ke dalam resesi.
Goldman Sachs pun menurunkan target akhir tahun untuk indeks S&P 500, sementara J.P. Morgan meningkatkan kemungkinan terjadinya resesi akibat kebijakan perdagangan yang tidak menentu.(*)