KABARBURSA.COM - Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menyoroti ketidakpastian dalam distribusi dana hasil efisiensi dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 maupun pidato politik Presiden Prabowo Subianto pada 15 Februari 2025.
Merujuk Inpres Nomor 1 Tahun 2025, pemerintah menargetkan pemangkasan sebesar Rp306 triliun, sedangkan dalam pidatonya, Prabowo menyebutkan rencana pemangkasan hingga Rp750 triliun.
“Dari informasi yang beredar, anggaran MBG (Makan Bergizi Gratis) hanya ditambah Rp100 triliun, menjadi Rp171 triliun. Artinya, masih belum jelas alokasi sekitar Rp156 triliun versi Inpres atau Rp650 triliun versi pidato Prabowo,” ungkapnya kepada Kabarbursa, Rabu, 12 Maret 2025
Tak hanya itu, ada potensi sebagian dana pemangkasan digunakan untuk mengatasi tekanan fiskal yang semakin besar. Target pendapatan APBN 2025 sebesar Rp3.005 triliun dinilai berisiko tidak tercapai, yang berpotensi memperlebar defisit APBN hingga lebih dari Rp616 triliun, mendekati 3 persen dari PDB. Kondisi ini semakin diperparah dengan kemungkinan tidak masuknya bagian laba BUMN sebesar Rp90 triliun ke dalam APBN.
Selain itu, efektivitas realokasi anggaran masih dipertanyakan. Awalil menekankan bahwa pemangkasan ini berpotensi mempengaruhi dinamika ekonomi nasional.
“Belanja yang dipotong tidak cukup hanya ATK, perjalanan dinas, atau rapat saja. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa belanja modal beberapa kementerian dan lembaga juga akan terkena dampaknya. Jika tidak dikalkulasi dengan cermat, dampak ekonomi bisa lebih besar dari manfaat yang diharapkan,” jelasnya.
Program MBG sendiri dinilai belum memiliki skema pelaksanaan yang jelas. Pemerintah mengklaim program ini akan memberikan efek pengganda bagi pertumbuhan ekonomi dan UMKM, tetapi tanpa perencanaan yang matang, hasilnya bisa jauh dari ekspektasi.
“Harus dihitung secara saksama manfaat bersih antara tambahan outcome dengan potensi kehilangan dari belanja yang dipangkas,” tambah Awalil.
Efisiensi anggaran tentu menjadi langkah yang baik, tetapi ketidakpastian dalam realisasinya justru bisa memperburuk pengelolaan fiskal negara.
“Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setan anggaran bersembunyi dalam rincian,” pungkas Awalil.
Kondisi Fiskal Indonesia
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hingga kini belum merilis laporan APBN KiTa untuk periode Januari 2025. Keterlambatan ini mengundang beragam spekulasi terkait dengan kondisi fiskal Indonesia, transparansi pemerintah dan dampaknya terhadap perekonomian nasional.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai, keterlambatan ini bisa menjadi sinyal buruk bagi transparansi fiskal pemerintah.
“Seharusnya APBNKita dirilis sesuai jadwal untuk memastikan keterbukaan pengelolaan keuangan negara. Keterlambatan ini bisa menimbulkan spekulasi negatif di pasar keuangan dan mengurangi kepercayaan investor,” ujar Ahmad dalam keterangannya, Jumat, 7 Maret 2025.
Menurutnya, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan keterlambatan rilis laporan tersebut. Salah satunya adalah penerimaan negara yang tidak mencapai target akibat perlambatan ekonomi global dan melemahnya harga komoditas utama Indonesia, seperti batu bara dan minyak sawit.
“Jika penerimaan negara mengalami tekanan, keterlambatan ini bisa jadi strategi pemerintah untuk menghindari sentimen negatif di pasar,” jelasnya.
Achmad menyoroti dampak dari kurangnya transparansi dalam pengelolaan APBN terhadap stabilitas ekonomi. Menurutnya, investor, pelaku pasar, hingga lembaga keuangan internasional sangat bergantung pada data fiskal pemerintah.
Jika laporan tersebut terus tertunda, ia menilai kredibilitas fiskal Indonesia bisa terganggu, yang berpotensi memicu capital outflow, melemahkan nilai tukar rupiah, serta meningkatkan volatilitas pasar keuangan.
“Investor, pelaku pasar, hingga lembaga keuangan internasional sangat bergantung pada data fiskal pemerintah. Jika laporan ini terus tertunda, kredibilitas fiskal Indonesia bisa terganggu, memicu capital outflow yang melemahkan nilai tukar rupiah dan meningkatkan volatilitas pasar keuangan,” tambahnya.
Dampak terhadap Pasar Obligasi
Achmad lebih lanjut menjelaskan bahwa kondisi fiskal juga dapat mempengaruhi pasar obligasi. Menurutnya, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sangat bergantung pada tingkat kepercayaan investor terhadap kebijakan fiskal pemerintah. Jika laporan APBNKiTa menunjukkan defisit yang lebih besar dari proyeksi, maka yield obligasi berpotensi naik, yang pada akhirnya meningkatkan beban utang negara.
“Pemilu baru saja selesai, dan ada kemungkinan munculnya tekanan politik untuk memperbesar belanja sosial serta infrastruktur. Jika penerimaan negara tidak mencapai target yang diharapkan, defisit APBN bisa melebar, sehingga pemerintah harus mencari sumber pembiayaan tambahan, termasuk melalui penerbitan utang baru,” jelasnya.
Selain itu, Achmad menyoroti dampak keterlambatan laporan ini terhadap kebijakan fiskal, terutama dalam tahun politik. Ia menegaskan bahwa setelah pemilu, tekanan politik untuk meningkatkan belanja negara bisa semakin besar. Jika pendapatan negara tidak sesuai harapan, defisit anggaran dapat semakin melebar, sehingga pemerintah harus mempertimbangkan opsi pembiayaan lain, seperti penambahan utang.
Ketidakpastian akibat keterlambatan rilis laporan APBNKiTa juga berpotensi menghambat perencanaan di sektor swasta. Achmad menjelaskan bahwa banyak perusahaan menggunakan data APBN sebagai acuan dalam merancang strategi bisnis. Jika data tersebut tidak tersedia tepat waktu, perusahaan cenderung lebih berhati-hati dalam pengambilan keputusan, yang pada akhirnya dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi. (*)