KABARBUSA.COM - Donald Trump kembali menggemparkan dunia. Setelah menghentikan dukungan militer untuk Ukraina dan mempererat hubungan dengan Rusia, sejak Selasa, 4 Maret 2025, Trump memberlakukan tarif impor sebesar 25 persen bagi produk dari Meksiko dan Kanada, dua sekutu terdekat Amerika. Di hari yang sama, ia juga menaikkan tarif produk Tiongkok sebesar 10 persen.
Langkah ini menjadi bagian dari rentetan kebijakan mengejutkan yang diambil duo Trump-Elon Musk, yang kerap dijuluki “Trump-Elon.”
Sebelumnya, mereka telah membubarkan USAID, memangkas jumlah kementerian, serta mengurangi anggaran pemerintah federal. Jika ancaman Trumpelon untuk keluar dari NATO, WHO, PBB, Bank Dunia, dan IMF benar-benar terwujud, daftar kebijakan kontroversial mereka akan semakin panjang.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai tindakan Trumpelon bukan hanya cerminan unilateralisme, tetapi lebih didasarkan pada pragmatisme ekonomi.
"Trumpelon ingin menyelamatkan Amerika dari kebangkrutan akibat terbenam dalam tumpukan utang, dan narasi ini secara implisit selalu muncul dalam statemen mereka berdua sejak masa kampanye hingga detik ini," ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu 12 Maret 2025.
Menurut Wijayanto, kebijakan seperti pembubaran USAID, pengurangan jumlah kementerian, dan pemangkasan anggaran federal merupakan bagian dari strategi besar untuk mengendalikan defisit anggaran.
Data menunjukkan, pembubaran USAID saja dapat menghemat hingga USD 40 miliar per tahun, penghentian bantuan ke Ukraina memangkas pengeluaran sebesar USD 39 miliar, sementara keluar dari WHO dan NATO berpotensi mengurangi beban anggaran tahunan sebesar USD1,28 miliar dan USD3,58 miliar.
Namun, kebijakan tarif yang agresif juga membawa konsekuensi bagi rakyat Amerika. Kenaikan tarif impor secara otomatis berdampak pada harga barang yang lebih tinggi di dalam negeri.
"Sekitar 50 persen hingga 100 persen tarif impor akan ditanggung oleh rakyat dalam bentuk kenaikan harga barang. Inflasi akan terjadi, tetapi tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena hanya berdampak pada tahun pertama kenaikan," jelas Wijayanto.
Ia menambahkan, secara teknis tarif berfungsi layaknya pajak yang meningkatkan penerimaan negara, tetapi lebih mudah diterima oleh masyarakat dibandingkan dengan pajak langsung.
"Jika pajak dinaikkan, rakyat akan marah dan ini bertentangan dengan ideologi ekonomi Partai Republik yang menganut rezim pajak rendah. Jika tarif yang dinaikkan, selain tidak berlawanan dengan ideologi partai, rakyat juga tidak marah, apalagi langkah ini bisa dinarasikan sebagai upaya memproteksi pekerjaan dan industri di Amerika," paparnya.
Keputusan Tidak Populer Dan Kepentingan Nasional
Dari sisi fiskal, kondisi Amerika memang berada dalam situasi genting. Dengan utang pemerintah federal mencapai USD 36,22 triliun atau 124 persen dari PDB, serta biaya bunga yang diproyeksikan mencapai 18,4 persen persen dari penerimaan negara pada 2025, Wijayanto menilai Trumpelon berusaha menghindari kemungkinan kebangkrutan dalam satu dekade ke depan.
"Dalam konteks ini, Trump-Elon sebenarnya adalah duo patriot bagi rakyat Amerika, mau melakukan hal tidak populer yang dibenci oleh sebagian rakyat Amerika dan seluruh dunia, demi menjalankan 'America First' dan 'MAGA',” ujarnya.
Kendati situasi Indonesia belum sepelik Amerika, berbagai upaya kongkret perlu dilakukan untuk menjaga keuangan negara agar terhindar dari kebangkrutan. Langkah ala Trumpelon, perlu ditempuh walau tetap harus menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Indonesiaan.
"Efisiensi anggaran perlu terus dilakukan. Proyek boros anggaran minim faedah harus diakhiri. Korupsi di berbagai lini wajib diberantas tuntas. Kabinet gemuk dibuat langsing untuk menjamin efektivitas dan efisiensi," katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya kepemimpinan yang berani mengambil keputusan tidak populer demi kepentingan nasional.
"Indonesia perlu sosok-sosok seperti TrumpElon yang berkarakter Indonesia, berani tidak populer demi negerinya. Semoga Pra-Gib bisa menyamainya, syukur-syukur melampaui," pungkasnya.
Kondisi Ekonomi Asia
Goldman Sachs merilis risetnya mengenai kondisi ekonomi Asia, terutama Indonesia pada 2025 merupakan sebuah tantangan besar.
Dikutip dari data Asia Outlook 2025 : Positioning Trade War pada Selasa, 12 Maret 2025 Goldman Sachs memberikan pandangan tentang prospek ekonomi Asia pada 2025 dengan fokus pada dampak kebijakan moneter, ketegangan perdagangan global, serta pergeseran strategi ekonomi di China.
Goldman Sachs adalah salah satu bank investasi dan perusahaan jasa keuangan terbesar di dunia, berbasis di New York, Amerika Serikat. Didirikan pada tahun 1869 oleh Marcus Goldman, perusahaan ini menawarkan berbagai layanan, termasuk perbankan investasi, perdagangan sekuritas, manajemen aset, serta layanan keuangan untuk individu dengan kekayaan tinggi.
Dalam laporan itu Goldman Sachs memprediksi pertumbuhan ekonomi di emerging markets (EM) Asia akan melambat karena peralihan strategi ekonomi China ke pasar domestik serta kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang lebih proteksionis.
"India, Indonesia, dan Filipina menjadi tiga negara dengan proyeksi pertumbuhan tertinggi di Asia, sekitar 5 hingga 6,5 persen per tahun, didukung oleh faktor demografi dan potensi ekonomi yang masih besar," tulis isi dalam riset Goldman Sachs, di Jakarta, 12 Maret 2025.
Untuk Indonesia hal ini berbanding jauh dengan target pemerintah pertumbuhan ekonomi 8 persen. Selain pertumbuhan, Goldman memprakirakan ekspor Asia melemah akibat kenaikan tarif impor AS terhadap produk Tiongkok sebesar 20 persen yang dapat mengubah rantai pasokan global.
Hal ini sudah dirasakan di Indonesia ketiga banyak saham yang berguguran dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat merosot bahkan ke level 6.200-an.
Sementara ASEAN memiliki peluang stabil karena beberapa negara, seperti Vietnam, bisa mendapat manfaat dari pergeseran rantai pasokan jika tidak terkena tarif AS.
Dampak kebijakan moneter global terhadap Asia juga disebut membuat inflasu mereda. Goldman Sachs memprakirakan sepanjang 2025, seiring dengan harga minyak yang bergerak dalam kisaran USD70 hingga 85 per barel.
Bank sentral di Asia kemungkinan akan memangkas suku bunga secara bertahap, tetapi penguatan dolar AS dapat membatasi ruang pelonggaran moneter di negara-negara seperti Indonesia dan India.
Indonesia dan Filipina kemungkinan akan memangkas suku bunga lebih sedikit dari perkiraan awal, masing-masing sebesar 25 hingga 50 basis poin lebih kecil dari perkiraan sebelumnya.(*)