Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

DPR Beberkan Dugaan Kerugian Triliunan Proyek Saka dan PGAS

Rieke Diah Pitaloka mengkritik proyek energi yang merugikan negara, mulai dari mangkraknya FSRU Lampung, akuisisi mahal Saka Energi, hingga kontrak LNG PGAS dengan Gunvor yang berisiko merugikan Rp22,4 triliun.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 12 March 2025 | Penulis: Dian Finka | Editor: Moh. Alpin Pulungan
DPR Beberkan Dugaan Kerugian Triliunan Proyek Saka dan PGAS Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), Arief Setiawan Handoko (berbatik cokelat, tengah), menghadiri rapat bersama Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu, 12 Maret 2025. Foto: KabarBursa/Dian Finka.

KABARBURSA.COM – Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, menyoroti berbagai proyek energi yang diduga menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah. Dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI, ia mencatat tiga isu utama, yakni proyek gas alam cair yang mangkrak, akuisisi migas yang dinilai terlalu mahal oleh PT Saka Energi Indonesia, serta kerja sama PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) dengan Gunvor Pte Ltd Singapore yang berpotensi merugikan negara dalam jumlah besar.

Salah satu kasus yang kembali ia angkat adalah proyek Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Lampung yang dinilai tidak hanya gagal beroperasi secara optimal, tetapi juga terus membebani keuangan perusahaan.

“Saya sudah memperjuangkan pengungkapan kasus FSRU Lampung sejak 2018. Ini bukan masalah baru, tapi sampai sekarang dampaknya masih membebani keuangan perusahaan dan negara,” kata Rieke dalam rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu, 12 Maret 2025.

Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2017 hingga semester I 2022 menunjukkan proyek FSRU Lampung dan terminal gas alam cair di Teluk Lamong, Surabaya, mengalami berbagai kendala yang berujung pada kerugian besar. Masalah utama dalam proyek ini adalah ketidaksiapan pasar dan manajemen yang buruk, yang menyebabkan fasilitas yang sudah dibangun tidak dapat beroperasi secara optimal.

FSRU Lampung awalnya dibangun berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 2011, yang mengamanatkan PGAS untuk mengembangkan infrastruktur gas guna meningkatkan ketahanan energi nasional. Namun, setelah proyek berjalan, terjadi perubahan kebijakan yang membuat fasilitas ini dialihkan dari lokasi awal di Belawan ke Lampung. Keputusan tersebut diambil oleh Kementerian BUMN tanpa ada jaminan pasar yang jelas untuk gas yang akan disalurkan melalui FSRU tersebut. Akibatnya, PGAS harus menanggung biaya operasional yang besar, sementara utilisasi fasilitas ini jauh di bawah kapasitas optimalnya.

Foto udara fasilitas Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Lampung, proyek infrastruktur gas alam cair (LNG) yang dioperasikan oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS). Foto: Dok. ESDM.

Di sisi lain, proyek ini juga terseret dalam dugaan korupsi yang sempat diselidiki oleh Kejaksaan Agung pada 2016. Bahkan, salah satu petinggi PGN saat itu sempat dicekal soal kasus ini. Namun, penyidikan dihentikan setelah Kejagung menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada April 2017, meskipun BPK telah menemukan indikasi kerugian negara yang signifikan.

Pada April 2023, BPK kembali menyerahkan laporan audit terbaru ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengungkap adanya 16 temuan dalam pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi PGAS periode 2017-2022. Salah satu temuan utama adalah kerugian operasi dari proyek FSRU Lampung dan terminal LNG Teluk Lamong. Meski laporan tersebut telah diberikan ke KPK, hingga kini belum ada perkembangan signifikan dalam proses hukum.

Selain soal FSRU, Rieke juga menyoroti kebijakan akuisisi yang dilakukan PT Saka Energi Indonesia pada 2013–2015. Ia menegaskan perusahaan ini membeli blok migas dengan harga yang jauh lebih tinggi dari nilai pasarannya.

“Laporan BPK menyebutkan bahwa akuisisi tiga blok migas—Ketapang, Pangkah, dan Fasken, Texas—dilakukan dengan harga yang lebih tinggi dari seharusnya. Total kelebihan pembelian mencapai ratusan juta dolar,” ungkapnya.

Sebagai contoh, Rieke memaparkan bahwa Blok Ketapang dibeli dengan nilai USD87 juta, sementara nilai wajarnya hanya USD40,5 juta. Hal serupa terjadi pada Blok Pangkah dan Fasken, di mana selisih harga mencapai USD11,28 juta dan USD14,88 juta. “Kita tidak bisa terus membiarkan kesalahan masa lalu menjadi beban. Manajemen saat ini harus bertanggung jawab dan mencari solusi konkret,” katanya.

Kontrak PGAS-Gunvor Berpotensi Rugi 22,4 Triliun Rupiah

Selain itu, Rieke juga mengangkat isu kerja sama antara PGAS dan Gunvor yang dinilainya penuh dengan kejanggalan.

“Ada kontrak yang bukan hanya merugikan perusahaan, tetapi juga bisa berdampak besar pada negara. PGN (PGAS) bahkan tidak bisa menyuplai kargo sesuai kontrak, dan ini bisa menyebabkan potensi kerugian hingga 22,4 triliun rupiah,” ujarnya.

Diketahui, masalag utama dalam kontrak ini adalah kegagalan PGAS dalam memenuhi kewajiban pengiriman gas alam cair (LNG) sesuai kesepakatan jangka panjang dengan Gunvor Singapore Pte Ltd. Berdasarkan perjanjian Master Sales and Purchase Agreement (MSPA), PGAS seharusnya mengirimkan 3—3,7 juta MMBtu LNG kepada Gunvor pada Januari 2024. Namun, karena berbagai kendala operasional, PGAS terindikasi gagal melakukan pengiriman. Dalam kontrak disebutkan bahwa kegagalan ini dapat berujung pada penalti sebesar 130 persen dari nilai kontrak.

PGAS mengklaim kegagalan pengiriman ini disebabkan oleh kondisi kahar (force majeure), yang membuat perseroan tidak dapat memenuhi kewajibannya tepat waktu. Perusahaan juga menyatakan telah melakukan negosiasi dengan Gunvor untuk mencari solusi, termasuk penyesuaian jadwal pengiriman LNG di tahun 2024.

Namun, situasi ini tetap memicu kekhawatiran di DPR yang mendorong pembentukan panitia khusus (pansus) guna mengkaji lebih dalam kontrak ini. Meski PGAS menyatakan belum mendapatkan informasi resmi mengenai pansus tersebut, isu ini tetap menjadi perhatian karena potensi dampak finansial yang besar.

Di sisi lain, kasus ini semakin kompleks dengan adanya gugatan arbitrase yang diajukan oleh Gunvor terhadap PGAS. Anak perusahaan Pertamina ini memang mengklaim bahwa arbitrase tersebut tidak akan memengaruhi kontrak mereka dengan klien lain maupun kelangsungan operasional perusahaan, tapi isu ini tetap menimbulkan pertanyaan besar mengenai tata kelola kontrak LNG yang dilakukan oleh BUMN energi.

Menurut Rieke, kesalahan dalam pengelolaan kontrak seperti ini tidak bisa dibiarkan tanpa pertanggungjawaban. Ia mendesak pemerintah, DPR, dan seluruh pihak terkait harus segera mengambil langkah konkret untuk mencegah kasus serupa terulang di masa depan.

“Kita harus memastikan bahwa kebijakan energi di Indonesia berjalan dengan transparan dan tidak merugikan negara. Jika tidak, maka rakyat yang akan terus menanggung akibatnya,” katanya.(*)