Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ide DPR Dinilai Aneh, Bukan Emiten yang Harus Jaga Saham

DPR usulkan sanksi untuk emiten IPO yang sahamnya stagnan. Analis menilai masalahnya bukan di emiten, tapi likuiditas pasar yang lemah dan minimnya peran investor institusi.

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 11 March 2025 | Penulis: Dian Finka | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Ide DPR Dinilai Aneh, Bukan Emiten yang Harus Jaga Saham Anggota Komisi XI DPR RI, Fathi, dalam rapat kerja bersama OJK di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa, 25 Februari 2025. Foto: Tangkapan layar YouTube Komisi XI DPR RI Channel.

KABARBURSA.COM – DPR baru-baru ini mengusulkan regulasi baru agar emiten tidak membiarkan sahamnya stagnan pasca-IPO. Harapannya, regulasi ini bisa meningkatkan kepercayaan investor dan kualitas pasar modal Indonesia. 

Tapi kalau menurut Analis Pasar Modal dari MikirDuit, Surya Rianto, regulasi ini kurang tepat sasaran. Ia menilai masalah utama bukan pada emiten yang tidak menjaga harga sahamnya, tapi lebih pada likuiditas pasar yang masih lemah. 

“Ini agak aneh. Mekanisme market itu bergerak berdasarkan supply dan demand, tapi malah diminta intervensi oleh emiten. Ini lebih ke masalah likuiditas di pasar, bukan sekadar harga saham stagnan,” ujar Surya saat dihubugi KabarBursa.com di Jakarta, Senin, 10 Maret 2025. 

Menurutnya, cara yang lebih efektif justru bukan mengatur emiten, melainkan memperbesar porsi investasi institusi seperti dana pensiun dan asuransi ke pasar saham. Ia menilai bahwa porsi investasi lembaga seperti BPJS Ketenagakerjaan di saham masih tergolong kecil karena lebih banyak dialokasikan ke Surat Berharga Negara (SBN).

Hal ini menyebabkan pasar saham domestik sangat bergantung pada investor asing. “Saat mereka keluar, efeknya seperti yang terjadi sekarang—pasar saham melemah,” kata Surya.  

Kenapa Banyak Saham 'Nyender' di Harga Bawah?


Fenomena saham yang terjebak di level gocap atau harga bawah dan minim likuiditas bukanlah hal baru. Surya menjelaskan ini bukan karena emiten cuek terhadap harga sahamnya, tapi lebih karena pasar kekurangan market maker dan free float-nya terlalu terbatas.

“Masalah saham yang berada di level gocap itu karena tidak ada market maker yang bisa menjaga likuiditas. Ditambah lagi, supply free float yang terbatas membuat volatilitas saham tinggi dan peminatnya jadi rendah,” katanya. 

Daripada mewajibkan emiten mengelola harga saham, Surya menilai regulasi yang lebih longgar bagi lembaga keuangan besar untuk meningkatkan porsi investasinya di saham akan jauh lebih efektif. “Jika market saham lebih likuid, dana pensiun dan lembaga keuangan lainnya juga akan diuntungkan. Meski risikonya tinggi, itu bisa diukur dengan mempertimbangkan potensi kewajiban jangka pendek seperti klaim asuransi,” katanya.   

OJK sebenarnya sudah menyiapkan solusi perihal market maker yang diharapkan bisa meningkatkan likuiditas pasar domestik. “POJK terkait market maker harus segera dioptimalkan agar saham dengan fundamental baik bisa lebih likuid dan menarik bagi investor ritel maupun institusi,” kata Surya.  

DPR Minta Sanksi Ketat untuk Emiten "Mati Suri" Pasca-IPO, OJK Masih Bungkam


DPR seblumnya menyoroti fenomena emiten yang langsung terpuruk setelah IPO dan meninggalkan sahamnya dalam kondisi stagnan dan merugikan investor ritel. Anggota Komisi XI DPR RI, Fathi, mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar segera menyusun regulasi yang lebih ketat, bukan sekadar sanksi administratif. 

Dalam rapat kerja bersama DK OJK dan Kepala Eksekutif Pasar Modal, Selasa, 25 Februari 2025, lalu, Fathi menegaskan pasar modal butuh atmosfer yang sehat, di mana perusahaan yang go public benar-benar berkomitmen mengembangkan bisnisnya, bukan sekadar mencari dana cepat lalu meninggalkan sahamnya begitu saja.  

“Jadi ini peran penguatan dalam pengawasan baik perizinan ataupun pengaturan daripada Pak Inarno (Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon yang juga Anggota Dewan Komisioner OJK). Bidangnya Pak Inarno ini sangat penting karena mengingat untuk mencapai target ekonomi pemerintah ini dibutuhkan kondisi ataupun situasi atmosfer yang baik dan sehat, khususnya di pasar modal. Karenanya penting menurut saya dibuatkan sebuah sanksi bagi khususnya emiten-emiten yang nakal dalam artian begini Pak, nakal itu baru IPO terus sahamnya sudah nyender ke bawah dan mati suri gitu,” ungkap Fathi dalam rapat tersebut.

Ia menilai kerugian material yang dialami investor ritel akibat fenomena ini harus mendapat perhatian serius dari regulator. Emiten yang go public seharusnya memiliki strategi bisnis jangka panjang, bukan sekadar memanfaatkan IPO untuk mengumpulkan dana lalu meninggalkan harga sahamnya dalam kondisi stagnan. “Kasihan investor retail,” ujar Fathi.

Namun, meski usulan ini cukup tajam, baik Ketua OJK Mahendra Siregar maupun Kepala Eksekutif Pasar Modal Inarno Djajadi tak memberikan tanggapan langsung. Fokus diskusi dalam rapat lebih banyak mengarah pada pembahasan bursa karbon yang kini menjadi salah satu prioritas utama pemerintah dalam pengembangan pasar keuangan berkelanjutan.  

Mengenai emiten yang sahamnya terus terjebak di level bawah, Fathi menekankan kepada OJK agar papan pemantauan di Bursa Efek Indonesia harus lebih fokus pada saham-saham stagnan, bukan hanya mengawasi yang naik.  

“Yang lebih dipelototin itu yang harga sahamnya ke bawah Pak. Kalau yang ke atas itu ya silakan saja. Tapi kan yang menjadi masalah ini ke bawah Pak. Karena kalau ke atas ini akan menunjang kepada pertumbuhan. Tapi yang ke bawah ini yang harus sangat diperhatikan,” katanya.

Fenomena ini memang bukan barang baru di pasar modal Indonesia. Beberapa emiten bahkan IPO dengan valuasi tinggi, tapi setelahnya sahamnya terjebak di level Rp50 hingga Rp80 dengan likuiditas rendah. Contoh yang paling sering disorot adalah PT Sentul City Tbk (BKSL) yang sudah lama stagnan di harga bawah tanpa ada pergerakan signifikan.

Kemudian ada lagi emiten yang baru IPO tapi sudah langsung ambles ke harga di bawah Rp100, yakni PT Jantra Grupo Indonesia Tbk (KAQI). Hingga berita ini terbit, harga saham emiten bengkel yang IPO pada Senin, 10 Maret 2025, itu sudah terpuruk di level Rp75.(*)