KABARBURSA.COM – Ada anggapan bahwa perusahaan yang sudah IPO seharusnya ikut menjaga harga sahamnya agar tetap bergerak naik. Namun, kalau kata analis, itu bukan tugas mereka. Justru, harga saham sepenuhnya ditentukan oleh supply dan demand di pasar, bukan dari intervensi manajemen.
Beberapa waktu lalu, DPR mengusulkan regulasi baru agar emiten tidak membiarkan sahamnya stagnan di level rendah. Tujuannya supaya kepercayaan investor, khususnya ritel, tetap terjaga. Tapi kalau menurut Analis Pasar Modal dari Mikirduit, Surya Rianto, wacana ini terdengar agak berlebihan.
“Manajemen emiten sebenarnya tidak punya kewajiban untuk mengintervensi harga saham. Namun, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, misalnya buyback jika kondisi keuangan emiten mencukupi atau pengendali secara aktif melakukan pembelian saat harga turun,” ujar Surya saat dihubungi KabarBursa.com di Jakarta, Senin, 10 Maret 2025.
Menurutnya, kalau ada regulasi yang memaksa emiten untuk menjaga harga saham, itu justru malah bisa mengacaukan mekanisme pasar. “Tidak perlu ada kewajiban untuk menjaga harga saham agar tidak stagnan. Itu mekanisme pasar saja, kondisi jual-beli yang menentukan,” kata eks jurnalis ekonomi ini.
Menurut Surya, masalah sebenarnya bukan terletak pada manajemen emiten, tapi lebih pada pemahaman investor ritel dalam membaca fundamental saham dan likuiditasnya di pasar. “Kalau ada intervensi dari emiten agar harga tidak stagnan, ini justru aneh. Harga saham tidak harus selalu naik, pasti ada momen turun dan itu hal yang wajar, terutama saat kondisi ekonomi sedang melemah,” jelasnya.
Soal aturan yang sudah ada, Surya menjelaskan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebenarnya telah memiliki regulasi perihal market maker yang nantinya bisa berperan sebagai penyedia likuiditas di pasar saham. Aturan ini rencananya mulai berlaku pada April 2025.
“Kalau mau baca lebih lanjut, bisa cek POJK Nomor 18 Tahun 2024. Saya belum membaca secara detail, tapi secara umum aturan ini bisa membantu saham-saham dengan fundamental bagus agar lebih likuid,” kata Surya.
Jadi, dengan adanya regulasi market maker, emiten sebenarnya tidak perlu diwajibkan untuk ikut menjaga harga sahamnya. “Pasar modal itu soal mekanisme jual-beli. Investor ritel perlu lebih memahami analisis fundamental dan teknikal, bukan bergantung pada intervensi regulasi yang bisa mengaburkan prinsip dasar pasar modal,” katanya.
Sebelumnya ada yang bikin gerah di DPR soal emiten-emiten yang setelah IPO malah bikin sahamnya “mati suri.” Anggota Komisi XI DPR RI, Fathi, menyoroti fenomena ini dalam rapat kerja bersama OJK di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa, 25 Februari 2025.
Menurutnya, ada emiten yang baru saja IPO, harga sahamnya langsung nyungsep, likuiditasnya mati, lalu ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Fenomena ini, kata Fathi, jadi preseden buruk bagi investor ritel. Ia lantas meminta Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon yang juga Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Inarno Djajadi, untuk berperan aktif melakukan pengawasan ini.
“Jadi ini peran penguatan dalam pengawasan baik perizinan ataupun pengaturan daripada Pak Inarno. Bidangnya Pak Inarno ini sangat penting karena mengingat untuk mencapai target ekonomi pemerintah ini dibutuhkan kondisi ataupun situasi atmosfer yang baik dan sehat, khususnya di pasar modal. Karenanya penting menurut saya dibuatkan sebuah sanksi bagi khususnya emiten-emiten yang nakal dalam artian begini Pak, nakal itu baru IPO terus sahamnya sudah nyender ke bawah dan mati suri gitu,” ungkap Fathi dalam rapat tersebut, seperti dilihat di YouTube Komisi XI DPR RI Channel di Jakarta, Selasa, 11 Maret 2025.
Fathi meminta OJK untuk tidak hanya memberi sanksi administratif, tapi juga tindakan yang lebih tegas. Pasalnya, kalau hanya sebatas teguran atau denda, perusahaan tidak akan merasa jera. “Nah jadi Pak Inarno kami mendukung Pak, dibuatkan saja aturan yang mungkin sifatnya lebih daripada sanksi administratif. Karena kalau sanksi administratif saja tidak ada yang takut Pak,” kata politisi Partai Demokrat ini.
Yang paling ditekankan oleh Fathi adalah perlindungan terhadap investor ritel. Menurutnya, perusahaan yang go public seharusnya punya strategi pertumbuhan jangka panjang, bukan sekadar cari modal cepat lewat IPO lalu meninggalkan sahamnya begitu saja.
“Kerugian material yang dialami oleh investor retail ini perlu dibuatkan sebuah aturan sehingga ke depannya yang perusahaan-perusahaan yang IPO ini memang siap untuk berkembang,” katanya.
Fathi pun menyoroti pentingnya pengawasan lebih ketat terhadap emiten yang sahamnya terjebak di harga bawah. Menurutnya, papan pemantauan harus lebih fokus ke saham-saham yang stagnan atau turun drastis setelah IPO, bukan hanya mengawasi yang harganya naik.
“Lebih dipelototin itu yang harga sahamnya ke bawah Pak. Kalau yang ke atas itu ya silakan saja. Tapi kan yang menjadi masalah ini ke bawah Pak. Karena kalau ke atas ini akan menunjang kepada pertumbuhan. Tapi yang ke bawah ini yang harus sangat diperhatikan,” ujarnya.
Namun, meski usulan Fathi cukup tajam, tak satu pun dari Ketua OJK Mahendra Siregar maupun Kepala Eksekutif Pasar Modal Inarno Djajadi memberikan tanggapan langsung. Keduanya justru lebih sibuk menanggapi pertanyaan lain dari anggota DPR terkait bursa karbon, yang saat ini memang jadi salah satu fokus regulasi pemerintah.
Fenomena saham nyungsep ini bukan hal baru di pasar modal Indonesia. Beberapa emiten bahkan IPO dengan valuasi tinggi, tapi setelah itu sahamnya stagnan di level bawah dengan likuiditas rendah. Salah satu contohnya adalah PT Sentul City Tbk (BKSL) yang sahamnya lama bertengger di level Rp50 hingga Rp80 dengan volume perdagangan minim.
Terbaru, emiten yang baru melakukan IPO, yakni PT Jantra Grupo Indonesia Tbk (KAQI) juga mengalami hal serupa. Baru sehari setelah IPO, saham emiten bengkel spesialis kaki-kaki mobil ini kini berada di level Rp80-an setelah sebelumnya membuka harga IPO di level Rp149.(*)