KABARBURSA.COM, JAKARTA - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah bertujuan meningkatkan asupan gizi anak sekolah dan kelompok rentan, seperti ibu hamil dan balita. Namun, dengan anggaran Rp71 triliun yang telah dialokasikan, masih muncul pertanyaan: apakah setiap porsi makanan yang diberikan cukup bergizi seimbang jika hanya dianggarkan Rp10.000?
Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, menyoroti adanya permintaan tambahan anggaran oleh Badan Gizi Nasional. "Dari anggaran Rp71 triliun yang telah disahkan DPR, ternyata belum cukup untuk memenuhi kebutuhan, dan kini ada permintaan penambahan anggaran," ujarnya, kepada Kabarbursa.com. Selain itu, ia juga menekankan perlunya pengawasan ketat dan transparansi dalam pengelolaan dana program agar tidak terjadi kebocoran atau ketidaktepatan sasaran.
Masalah lain yang mencuat adalah distribusi yang belum merata, terutama di daerah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal). "Masih ada sekolah-sekolah yang belum mendapatkan akses penuh ke program ini," tambah Nurhadi.
Standar Gizi vs. Anggaran yang Tersedia
Menurut standar gizi dari Kementerian Kesehatan, kebutuhan harian anak sekolah berkisar antara 1.600–2.500 kalori per hari, dengan distribusi protein, lemak, dan karbohidrat yang seimbang. Namun, dengan anggaran Rp10.000 per porsi, sulit untuk memenuhi kebutuhan tersebut tanpa kompromi pada kualitas.
Sejumlah studi kasus di daerah menunjukkan bahwa menu makanan yang disediakan melalui program MBG sering kali tidak memenuhi standar gizi ideal. Mengutip jurnal mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Negeri Jember (Unej) berjudul, “Karakteristik Siswa, Daya Terima, dan Kesesuaian Standar Porsi dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada Penyelenggaraan Makan Siang”. Penelitian dilakukan terhadap siswa di Sekolah Dasar (SD) Al Furqan, Jember, Jawa Timur.
Penelitian yang dilakukan pada sekolah tersebut menemukan bahwa adanya tantangan dalam hal daya terima makanan dan kesesuaian standar porsi dengan AKG. Sebagian besar siswa masih memilah-milih menu makanan. Sementara untuk standar porsi dari 20 siklus menu yang dievaluasi sebagian besar tidak sesuai dengan 30 persen AKG yang direkomendasikan. Ini tampak dari ketidaksesuaian asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat baik pada siswa laki-laki maupun perempuan.
Temuan tersebut menggaris bawahi perlunya penyesuaian dalam penyelenggaraan program MBG khususnya di SD Al Furqan, Jember, Jawa Timur. Selain itu, penelitian ini menekankan pentingnya evaluasi berkala terhadap program makan siang untuk memastikan efektivitasnya dalam mencapai tujuan gizi yang ditetapkan.
Di beberapa sekolah di Jawa Tengah, misalnya, menu yang diberikan lebih banyak berisi karbohidrat seperti nasi dan mie instan, sementara porsi protein dan sayuran sangat minim.
Anggota DPR juga menyoroti kasus dugaan keracunan akibat konsumsi makanan MBG di Nunukan dan Sukoharjo. "Jaminan kualitas bahan dan pengolahan makanan harus menjadi prioritas agar tidak ada lagi kejadian serupa di masa mendatang," tegas Nurhadi. Hal ini menandakan bahwa bukan hanya anggaran yang menjadi masalah, tetapi juga pengawasan kualitas bahan makanan yang digunakan.
Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, mengatakan anggaran Rp10.000 per porsi MBG sebenarnya bukan menjadi soal menu pilihan. Namun, besaran anggaran tidak termasuk ke dalam biaya lainnya, seperti distribusi, pemeliharaan dapur, dan biaya lain yang mendukung produksi.
Sementara untuk produksi di dapur sentral, kata Eliza, besaran anggaran Rp10.000 akan sulit dijalankan kendati melibatkan UMKM eksisting lantaran biaya tersebut tidak termasuk ke dalam layanan pengantaran dan pengelolaan bahan baku.
“Dengan harga Rp10.000 per porsi, kreasi menu yang disukai anak dan memenuhi gizi seimbang ini akan semakin terbatas. Dapur makin pusing kombinasi sayuran dan buahnya,” kata Eliza saat dihubungi Kabarbursa.com.
Eliza menengarai adanya indikasi pemborosan anggaran dalam program ini. Berdasarkan evaluasi implementasi MBG di lapangan, Eliza mengaku kerap menemui anak-anak yang tidak menyukai susu sapi dengan rasa original.
“Akhirnya susu banyak yang tidak diminum dan diberikann ke temennya yang mau menampung susu tersebut. Jangan sampai niat mulia pemerintah ingin meningkatkan gizi tidak tercapai karena hal hal tersebut. Ini terjadi pemborosan anggaran saja jadinya,” ungkap Eliza.
Untuk memastikan program MBG tepat sasaran dan menu yang disajikan diterima, Eliza menyarankan pemerintah melakukan reformulasi menu pemenuhan gizi, khususnya tentang penyediaan susu. Upaya ini tak hanya untuk menekan anggaran, melainkan juga menciptakan kreasi menu sesuai yang disukai anak.
“Jangan sampai harga ditekan semurah mungkin, dapur semakin terbatas berkreasi menu yang disukai anak dan memenuhi standar gizi,” katanya.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyoroti pentingnya pemenuhan gizi dalam pelaksanaan program MBG yang tengah digalakkan pemerintah. Menurutnya, perhatian utama dari program ini harus difokuskan pada kualitas gizi yang diperoleh penerima manfaat, bukan sekadar distribusi makanan semata.
“Saya selalu menekankan bahwa yang harus jadi perhatian utama dari program MBG adalah kandungan gizi yang diperoleh penerima manfaat. Ketika mereka memperoleh gizi di bawah yang seharusnya mereka terima, maka program MBG tidak optimal, yang ada hanyalah pemborosan anggaran dan keuntungan bagi penyedia makanan,” ujar Nailul Huda kepada KabarBursa.com pada, Senin, 24 Februari 2025.
Ia menegaskan bahwa pemenuhan gizi dalam program ini seharusnya juga memperhatikan penggunaan bahan baku lokal untuk meningkatkan dampak ekonomi secara lebih luas. “Pemenuhan gizi ini dilandasi juga dengan pemenuhan bahan baku dari lokal karena dampak turunannya bisa optimal, asalkan gizi tetap terjaga. Ketika ada daerah penghasil ikan, ya lebih banyak lauk yang diberikan adalah ikan laut, tentu dengan pertimbangan tidak ada alergi bagi penerima manfaat,” ucap dia.
Lebih lanjut, Nailul Huda juga menekankan pentingnya variasi menu dalam program MBG agar anak-anak tidak bosan dengan pola makanan yang monoton. “Saya rasa perbedaan menu asalkan kandungan gizi masih terpenuhi, tidak ada masalah. Namun juga, variasi makanan perlu dipertimbangkan mengingat ini untuk anak-anak yang mungkin cepat bosan dengan menu yang sama setiap hari,” kata dia.
Menurutnya, seharusnya Badan Gizi Nasional (BGN) sudah menetapkan standar gizi yang harus dipenuhi oleh Sentra Produksi dan Penyedia Gizi (SPPG) di daerah. Standar tersebut harus diawasi secara ketat oleh ahli gizi yang bertugas di setiap SPPG. “Standar gizi ini dicek tiap hari oleh ahli gizi yang harus tersedia di SPPG. Itu sudah aturannya, maka seharusnya sudah standar,” ujarnya.
Namun, ia menyoroti adanya laporan mengenai beberapa sekolah yang menerima makanan dengan kualitas buruk, seperti terdapat belatung atau bahkan sudah busuk. Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa standar yang seharusnya diterapkan tidak dijalankan dengan baik. “Artinya, standar makanan tidak diperhatikan betul oleh SPPG. Ini harus jadi catatan serius agar kejadian serupa tidak terulang,” kata dia.
Dengan berbagai temuan tersebut, Nailul Huda menekankan bahwa evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program MBG harus dilakukan secara ketat agar program ini benar-benar dapat memberikan manfaat optimal bagi anak-anak Indonesia.
Berapa Harga Sebenarnya Makanan Bergizi?
Analisis harga bahan makanan menunjukkan bahwa harga bahan pangan mengalami fluktuasi yang signifikan di berbagai daerah. Sebagai contoh, harga telur di Jakarta berkisar Rp28.000 per kg, sementara di Papua bisa mencapai Rp40.000 per kg. Begitu pula dengan harga sayuran dan daging yang bervariasi.
Wawancara dengan Media Wahyudi Askar dari CELIOS mengungkapkan bahwa program MBG yang terlalu sentralistik menyebabkan inefisiensi dalam distribusi bahan makanan. "Jika distribusi tetap dikendalikan secara sentralistik, ada risiko program ini malah mengabaikan pola pangan lokal dan memaksakan satu standar yang tidak relevan dengan kebutuhan daerah," tulis CELIOS dalam laporannya. Mereka menyoroti bagaimana pola konsumsi di Papua lebih mengandalkan sagu dan umbi-umbian, sementara di Aceh masyarakat lebih terbiasa mengonsumsi ikan dan tanaman lokal.
Studi perbandingan dengan negara lain menunjukkan bahwa negara-negara dengan program serupa, seperti India dan Brasil, lebih menekankan keterlibatan komunitas lokal dalam penyediaan makanan. India, misalnya, menjalankan program mid-day meal dengan melibatkan koperasi petani dan produsen pangan setempat, sehingga harga bisa lebih murah dan bahan makanan lebih sesuai dengan preferensi lokal.
Respons Publik dan Alternatif Solusi
Survei CELIOS menunjukkan bahwa 53 persen masyarakat tidak ingin pengelolaan program MBG sepenuhnya dipegang pemerintah pusat. Mayoritas lebih memilih kombinasi antara pemerintah, komunitas lokal, dan organisasi independen. "Mayoritas masyarakat menginginkan pengelolaan berbasis komunitas, bukan kendali penuh dari pemerintah pusat," ungkap CELIOS.
Dari sisi pendanaan, beberapa opsi telah diajukan, termasuk pemanfaatan cukai rokok dan dana zakat untuk menutupi kekurangan anggaran. "Kami mendorong agar laporan penggunaan anggaran diawasi lebih ketat untuk memastikan tidak ada kebocoran dana," ujar Nurhadi.
Di sisi lain, optimalisasi pengelolaan dana juga harus diperhatikan. Jika pemerintah dapat menekan biaya distribusi dengan lebih melibatkan UMKM dan petani lokal, maka anggaran yang ada bisa lebih dimaksimalkan. Keterlibatan koperasi dan pasar tradisional dalam rantai pasok juga dapat membantu mengurangi biaya logistik.
Simpulan
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bertujuan meningkatkan asupan gizi anak sekolah dan kelompok rentan, namun menghadapi tantangan dalam kecukupan gizi dengan anggaran Rp10.000 per porsi. Masalah distribusi yang belum merata, terutama di daerah 3T, serta dugaan kebocoran anggaran menyoroti perlunya transparansi dan pengawasan ketat. Studi menunjukkan bahwa menu MBG sering kali tidak memenuhi standar gizi ideal, dan masih terdapat kendala dalam penerimaan serta kecocokan porsi dengan kebutuhan anak-anak.
Selain itu, kualitas dan keamanan makanan menjadi perhatian utama, mengingat kasus dugaan keracunan serta potensi pemborosan akibat menu yang kurang sesuai dengan preferensi penerima. Fluktuasi harga bahan makanan di berbagai daerah juga mempengaruhi efektivitas program, di mana pendekatan sentralistik dalam distribusi bahan dapat menyebabkan inefisiensi. Pembelajaran dari negara lain menunjukkan bahwa keterlibatan komunitas lokal dalam penyediaan makanan dapat meningkatkan efektivitas program.
Selain itu, rekomendasi utama yang bisa diajukan adalah meningkatkan fleksibilitas distribusi dengan melibatkan komunitas lokal dan koperasi petani agar bahan makanan lebih sesuai dengan kebutuhan daerah.
Kedua, mengoptimalkan pengawasan terhadap kualitas makanan untuk mencegah kejadian seperti kasus keracunan di Nunukan dan Sukoharjo.
Terakhir, mengeksplorasi sumber pendanaan tambahan, seperti cukai rokok dan dana zakat, agar program ini tetap berjalan dengan standar gizi yang lebih baik.
Dengan evaluasi dan perbaikan yang tepat, program MBG dapat menjadi solusi nyata dalam mengatasi masalah gizi di Indonesia, terutama bagi anak-anak dan kelompok rentan yang paling membutuhkannya. (*)