KABARBURSA.COM - Impor batu bara China mencetak rekor baru untuk periode Januari-Februari 2025. Berdasarkan data dari Administrasi Umum Bea Cukai China yang dikutip Reuters, impor batu bara China pada periode tersebut naik 2,1 persen dibanding tahun lalu menjadi 76,12 juta metrik ton. Lonjakan ini terjadi meski pasar sudah kelebihan pasokan dan risiko bagi impor di bulan-bulan mendatang makin besar.
China memang selalu merilis data perdagangan Januari-Februari secara gabungan untuk meredam efek libur Tahun Baru Imlek. Namun, kenaikan impor ini bisa jadi tak bertahan lama. Analis dari Galaxy Futures Shanghai memperkirakan pertumbuhan impor akan menyempit mulai Maret dan April karena harga batu bara domestik yang turun tajam dalam dua bulan pertama 2025, stok di pelabuhan yang tinggi, serta keuntungan impor yang makin tipis.
Tekanan terhadap impor makin terasa setelah dua asosiasi industri utama di China menyerukan pembatasan impor, terutama untuk batu bara berkualitas rendah yang makin membanjiri pasar. Musim dingin yang lebih hangat dari biasanya juga menekan permintaan dan harga batu bara domestik. Salah satu produsen batu bara terbesar di China, Shenhua Energy, bahkan menghentikan impor spot demi melindungi penjualannya di dalam negeri dari kelebihan stok di pelabuhan.
Dari sisi kebijakan, rencana Indonesia untuk menerapkan harga acuan batu bara yang ditetapkan pemerintah mulai 1 Maret bisa menjadi batu sandungan lain bagi impor China.
Menurut analis Guosheng Securities, harga patokan baru ini diperkirakan lebih mahal USD1,5 hingga USD14 dibanding indeks harga batu bara independen (ICI), tergantung pada kualitas batu bara. Akibatnya, biaya impor batu bara Indonesia ke China bisa naik, membuat pembeli lebih memilih batu bara dalam negeri.
China Coal Transportation and Distribution Association memperkirakan total impor batu bara China bakal turun 1,9 persen menjadi 525 juta ton tahun ini, lebih rendah dari rekor tahun 2024. Impor batu bara termal diproyeksikan turun lebih dalam, sekitar 4,9 persen menjadi 385 juta ton, akibat pelemahan yuan dan keuntungan impor yang makin sempit.
Sementara itu, China juga resmi mengenakan tarif 15 persen untuk impor batu bara dari Amerika Serikat, memperburuk tensi dagang antara kedua negara. Namun, pasokan batu bara AS ke China sebenarnya kecil dan diperkirakan akan segera digantikan oleh pemasok lain.
Meskipun ada berbagai hambatan bagi impor, konsumsi batu bara domestik China tetap naik 1,7 persen pada 2024 dibanding tahun sebelumnya. Artinya, meski impor mulai tertekan, permintaan dalam negeri masih bertahan, setidaknya untuk saat ini.
Permintaan listrik AS Naik, Batu Bara Masih Bertahan
Sementara China mulai menekan impor batu bara karena pasar domestiknya kelebihan pasokan, di seberang Pasifik, Amerika Serikat (AS) justru mencatat lonjakan konsumsi batu bara seiring meningkatnya permintaan listrik dan naiknya harga gas alam.
Berdasarkan data Badan Informasi Energi (EIA) AS, sepanjang 2024, sektor tenaga listrik AS mencatat pertumbuhan 3 persen. Tahun ini, pembangkit listrik di AS diperkirakan bakal menghasilkan sekitar 4.240 miliar kilowatt-jam (kWh), naik 2 persen dibanding tahun sebelumnya, lalu tumbuh lagi 1 persen di 2026. Kalau angka ini benar, ini bakal jadi pertama kalinya dalam hampir dua dekade terakhir listrik AS mengalami pertumbuhan tiga tahun berturut-turut sejak 2005–2007.
Tapi yang paling menarik, pertumbuhan ini didorong oleh energi terbarukan, terutama tenaga surya. Porsinya dalam total produksi listrik AS naik dari 5 persen di 2024, jadi 7 persen di 2025, dan 8 persen di 2026. Kenaikan ini dipicu ekspansi kapasitas pembangkit listrik tenaga surya skala utilitas yang diperkirakan melonjak 45 persen dalam dua tahun ke depan. Sementara itu, porsi listrik dari tenaga angin masih stagnan di 11 persen tahun ini, tapi naik ke 12 persen di 2026.
Dengan makin besarnya peran energi surya, pembangkit listrik dari bahan bakar fosil—terutama gas alam—mulai tertekan. Harga gas alam yang diprediksi naik bikin pangsanya dalam bauran energi AS turun dari 43 persen di 2024 jadi 40 persen di 2025, lalu 39 persen di 2026. Batu bara, yang tahun lalu masih menyumbang 16 persen dari total listrik AS, diperkirakan tetap bertahan di kisaran 15–16 persen dalam beberapa tahun ke depan.
Harga Listrik Residensial
Buat rumah tangga di AS, harga listrik bakal naik sekitar 3 persen tahun ini, sejalan dengan laju inflasi. Meski naik, ini masih jadi kenaikan tahunan paling rendah sejak 2020. Penyebabnya adalah biaya investasi buat perbaikan jaringan listrik yang masih terus berlanjut. Kenaikan tarif listrik ini diperkirakan bakal terjadi lagi di 2026 dengan angka yang sama, yaitu 3 persen.
Cuaca dingin bikin konsumsi batu bara AS naik tajam di Januari, terutama di wilayah Midcontinent dan Mid-Atlantic yang masih bergantung pada batu bara buat listrik. Sektor listrik AS menggunakan 7 persen lebih banyak batu bara di Januari dibanding tahun sebelumnya.
Karena itu, proyeksi konsumsi batu bara buat pembangkit listrik di 2025 dinaikkan jadi 386 juta short ton (MMst), atau naik 4 persen dari 2024. Faktor utama kenaikan ini adalah permintaan listrik AS yang lebih besar dan harga gas alam yang diprediksi naik, bikin pembangkit batu bara masih jadi opsi yang lebih murah buat beberapa wilayah.
Tapi jangan senang dulu, sebab di 2026, konsumsi batu bara diperkirakan turun jadi 368 MMst. Ini karena bakal ada banyak pembangkit listrik tenaga batu bara yang dipensiunkan pada akhir 2025, sejalan dengan target transisi energi AS. Artinya, batu bara masih punya napas buat tahun ini, tapi bakal makin tersingkir di tahun-tahun berikutnya.(*)