KABARBURSA.COM - PT Goto Gojek Tokopedia, PT Grab Teknologi Indonesia dan PT Teknologi Perdana Indonesia (Maxim Indonesia) bersama Komisi V DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) perihal previsi UU tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau RUU LLAJ.
Dalam rapat tersebut, Anggota Komisi V DPR RI Adian Napitupulu mengkritik soal tarif pemotongan biaya aplikasi. Di mana dalam Keputusan Menteri Perhubungan atau Kepmenhub KP Nomor 1001 tahun 2022 regulasinya potongan biaya aplikasi maksimal 20 persen.
“Dulu kalau kita tidak salah sempat 10 persen jatah aplikator. Dan dia naik terus 10, 15, hingga 20 (persen). Dalam praktiknya (bahkan) di atas 20 persen,” kata Adian di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 5 Maret 2025.
Politikus PDIP tersebut menilai jumlah yang diberikan sangat tidak adil karena para aplikator dinilainya tidak menunjukkan kepedulian terhadap kondisi para supir maupun kendaraan jasa angkutan umum berbasis online.
Ia menjelaskan pada masa lalu, banyak supir roda empat dan roda dua yang ditangkap di berbagai bandara, seperti Soekarno-Hatta dan Halim. Di Bandara Soekarno-Hatta, tindakan terhadap para supir bahkan lebih keras, di mana mereka ditahan selama enam jam dan dipaksa melakukan push-up.
"Sampai akhirnya saya telpon Dirut Angkasa Pura II kalau tak salah, dan saya bacakan pasal penyanderaan,” ungkap Adian.
Adian menilai pihak aplikator sama sekali tidak menunjukkan kepedulian terhadap kondisi para supir yang bekerja di platform mereka. Ia menilai aplikator tidak peduli jika supirnya ditangkap, dipaksa melakukan push-up, bahkan mengalami kekerasan.
Selain itu, mereka juga tidak memperhatikan kondisi kendaraan, seperti jika mobil mengalami kerusakan, SIM pengemudi habis masa berlakunya, atau oli kendaraan kurang. Menurutnya, hal ini berbeda dengan perusahaan angkutan konvensional, seperti taksi offline. Mereka memiliki sistem perawatan kendaraan, bertanggung jawab atas kecelakaan, serta membantu supir jika menghadapi masalah hukum.
Adian pun menyoroti ketimpangan keuntungan antara perusahaan aplikator dan angkutan offline, di mana perusahaan aplikasi transportasi daring justru memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar.
“Begini pimpinan kalau kita tidak atur ini dengan baik, kita juga tidak adil dengan rakyat dan menurut saya ini harus menjadi bagian penting dalam pasal kita nanti. Mengatur,” kata Adian.
“Menurut saya, jika dizinkan pimpinan sambil kita menunggu proses RUU ini, memungkinkan tidak ini kita jadikan kesimpulan untuk kita sampaikan ke Menteri Perhubungan (Dudy Purwagandhi) perhubungan agar tarifnya diturunkan lagi menjadi 10 persen,” imbuh Adian.
Legislator dari Daerah Pemilihan Jawa Barat V menjelaskan penindasan terhadap para sopir online harus segera dihentikan dengan merekomendasikan penurunan tarif dalam peraturan tersebut kembali ke 10 persen.
“Karena kita tak bisa menjamin proses RUU ini berlangsung satu bulan, dua bulan atau setahun. Walaupun saya berharap selesai dalam satu atau dua bulan ini. Kenapa? negara ini tak boleh mengkhianati produk UU-nya,” kata Adian.
Jalan Panjang Revisi UU LLAJ
Revisi UU LLAJ telah melalui perjalanan panjang sejak pertama kali diundangan pada 2009. Regulasi ini awalnya dirancang untuk menyesuaikan kebijakan transportasi di Indonesia dengan perkembangan zaman mengingat pesatnya pertumbuhan kendaraan pribadi dan teknologi transportasi berbasis aplikasi.
Namun, pembahasan revisi UU ini berulang kali mengalami tarik-ulur di DPR akibat perdebatan mengenai berbagai aspek, mulai dari legalitas kendaraan roda dua sebagai angkutan umum hingga peran aplikator dalam sistem transportasi nasional. Hingga kini, UU LLAJ yang telah berusia lebih dari satu dekade masih dalam tahap penyusunan ulang, sementara ekosistem transportasi berbasis digital terus berkembang tanpa kepastian hukum yang jelas.
Salah satu isu paling krusial dalam revisi ini adalah pengakuan hukum terhadap ojol sebagai moda transportasi publik. Saat ini, kendaraan roda dua belum diakui sebagai angkutan umum dalam regulasi yang berlaku, meski faktanya jutaan masyarakat Indonesia mengandalkan ojol untuk mobilitas sehari-hari. Para aplikator seperti Gojek, Grab, dan Maxim mendorong agar revisi UU LLAJ bisa memasukkan ketentuan yang mengizinkan ojol sebagai transportasi umum dengan standar keselamatan yang ditetapkan.
Di sisi lain, DPR juga menyoroti aspek kesejahteraan pengemudi, termasuk regulasi tarif dan pemotongan biaya aplikasi yang dinilai terlalu tinggi. Perdebatan ini menjadi kunci dalam revisi UU LLAJ, sebab keputusan yang diambil akan berdampak langsung pada jutaan pekerja di sektor ride-hailing serta ekosistem transportasi nasional.
Bagi investor, ketidakpastian regulasi ini menciptakan dilema. Tanpa dasar hukum yang jelas, industri ride-hailing berisiko menghadapi ketidakpastian bisnis, baik dari sisi investasi jangka panjang maupun model bisnis yang diterapkan. Jika pemerintah menetapkan kebijakan yang lebih ketat terhadap tarif dan bagi hasil, maka potensi keuntungan perusahaan aplikator bisa tergerus yang pada akhirnya bisa memengaruhi valuasi dan daya tarik investasi di sektor ini.
Sebaliknya, jika revisi UU LLAJ memberikan kepastian hukum bagi ojol dan aplikator, maka pasar ride-hailing di Indonesia bisa semakin berkembang dan menjadi lebih menarik bagi investor. Oleh karena itu, regulasi ini bukan sekadar urusan hukum transportasi, tetapi juga menjadi faktor strategis dalam menciptakan iklim investasi yang lebih stabil dan berkelanjutan di industri teknologi transportasi.
Aplikator Ride Hailing Ajukan Usulan Baru
Meski menuai kritik dari DPR soal pemotongan biaya aplikasi, para aplikator transportasi daring juga mengajukan sejumlah permintaan dalam revisi UU LLAJ. Mereka berharap revisi regulasi ini bisa memberikan kejelasan hukum dan mendukung keberlanjutan bisnis ride-hailing di Indonesia.
Dalam RDPU bersama Komisi V DPR RI, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (Gojek), Grab Indonesia, dan Maxim mengajukan usulan agar ojek online atau ojol bisa diakui sebagai angkutan umum dalam revisi UU LLAJ. Presiden Unit Bisnis On-Demand Service GoTo, Catherine Hendra Sutjahyo, mengatakan regulasi tersebut bisa memberikan kepastian hukum bagi pengemudi ojol.
“Kalau kami boleh (usul), satu halaman saja dimasukkan agar kendaraan roda dua sebagai transportasi penumpang (angkutan umum),” katanya.
Selain itu, Gojek juga mengusulkan agar ojol memiliki fleksibilitas lebih besar sebagai layanan first-mile dan last-mile yang bisa menjadi penghubung antara transportasi umum dengan penumpang. Menurut Catherine, keberadaan ojol bukan untuk menggantikan transportasi publik, tetapi untuk melengkapinya agar tercipta ekosistem transportasi yang lebih efisien.
“Kita butuh bekerja sama, karena bagaimanapun yang paling digunakan untuk commuting middle mile-nya adalah tetap public transport,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Kemitraan dan Pengembangan Bisnis Grab Indonesia, Kertapradana, menyoroti pentingnya regulasi yang mengakui perusahaan aplikasi sebagai penyedia layanan transportasi berbasis teknologi.
Keberadaan perusahaan aplikasi transportasi daring harus diakui dalam regulasi agar lebih jelas peran serta tanggung jawab mereka. Selain itu, ia juga mendorong model bisnis ekonomi berbagi (sharing economy) tetap menjadi bagian dari regulasi, di mana kendaraan yang digunakan tetap menjadi aset pribadi milik pengemudi, bukan milik perusahaan.
Kertapradana juga menyoroti pentingnya fleksibilitas kerja sama antara operator transportasi daring dengan berbagai pihak, termasuk individu dan UMKM. Ia berharap regulasi baru nanti tetap memperbolehkan platform digital menjalin kemitraan fleksibel sehingga bisa terus memberikan layanan transportasi yang lebih luas dan terjangkau bagi masyarakat.
“Peraturan RUU LLAJ meng-capture kondisi model bisnis yang ada saat ini telah terbukti berhasil memajukan ekosistem layanan transportasi dan pengantaran digital, yakni memperbolehkan platform untuk bekerja sama,” katanya.(*)