KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa pada Februari 2025, harga beras meningkat di tingkat grosir dan eceran. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, peningkatan harga beras di tingkat grosir sebesar 0,32 persen. Bulan lalu, harga beras di tingkat grosir dan eceran mencapai Rp13.604. Sedangkan untuk bulan ini, harga beras menjadi Rp13.561 per kilogram.
"Di tingkat grosir terjadi inflasi sebesar 0,32 persen secara bulanan (mtm) dan terjadi deflasi 4,58 persen secara tahunan (yoy)," ujar Amalia dalam konferensi pers yang digelar Senin, 3 Maret 2025.
Sementara itu, harga beras eceran juga naik sebesar 0,26 persen dibanding bulan sebelumnya, menjadi Rp 14.708 per kilogram dari Rp 14.670 per kilogram. Namun, secara tahunan (year on year/yoy), harga beras di tingkat eceran justru mengalami penurunan sebesar 2,63 persen.
Di sisi lain, harga beras di tingkat penggilingan justru mengalami tren penurunan, terutama jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. BPS mencatat bahwa pada Februari 2025, harga beras di penggilingan turun 10,44 persen secara tahunan.
"Dibandingkan dengan Februari 2024, rata-rata harga beras di penggilingan pada Februari 2025 untuk kualitas premium, medium, submedium, dan pecah masing-masing turun sebesar 9,95 persen, 11,05 persen, 7,53 persen, dan 4,89 persen," jelas Amalia.
Secara bulanan, harga beras di penggilingan juga mengalami sedikit penurunan sebesar 0,09 persen. Rinciannya, harga rata-rata beras premium di penggilingan turun 0,25 persen menjadi Rp13.079 per kilogram, beras kualitas medium turun 0,10 persen menjadi Rp12.596 per kilogram, dan beras submedium turun 0,60 persen menjadi Rp12.646 per kilogram. Namun,, harga beras pecah justru naik 6,28 persen, dengan rata-rata harga Rp 12.942 per kilogram.
Amalia menegaskan bahwa data harga beras yang dipublikasikan mencakup berbagai jenis kualitas beras dan diperoleh dari seluruh wilayah Indonesia.
NTP Februari 2025
BPS juga memprediksi produksi beras sepanjang Januari hingga April 2025 (subround I) akan mencapai 13,95 juta ton dan sekaligus menjadi produksi tertinggi sejak 2019.
Sebagai perbandingan, produksi beras pada tahun 2019 tercatat sebesar 13,63 juta ton, tahun 2020 mencapai 11,52 juta ton, tahun 2021 sebanyak 13,58 juta ton, tahun 2022 sebesar 13,71 juta ton, tahun 2023 sebanyak 12,98 juta ton, dan tahun 2024 hanya 11,07 juta ton.
“Jika dibandingkan dengan realisasi produksi pada tahun-tahun sebelumnya, potensi produksi beras sepanjang Januari sampai dengan April 2025 diperkirakan yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir atau sejak tahun 2019,” ujar Amalia dalam konferensi persnya, Senin, 3 Maret 2025.
Saat ini mayoritas produksi beras domestik masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Jawa Timur sebagai daerah penyumbang terbesar, yakni 2,71 juta ton. Terbesar kedua adalah Jawa Tengah sebesar 2,3 juta ton dan Jawa Barat 1,96 juta ton.
Sementara di luar Pulau Jawa, Sulawesi Selatan menjadi daerah produksi tertinggi dengan 1,08 juta ton, disusul Sumatera Selatan sebanyak 933 ribu ton, dan Lampung sebanyak 788 ribu ton.
Pihak BPS meyakini faktor cuaca tutur berkontribusi terhadap produksi beras kali ini. BPS mencatat curah hujan yang cukup tinggi di berbagai wilayah Indonesia membantu meningkatkan produktivitas tanaman pangan.
“Kondisi ini akan mendukung kegiatan budi daya tanaman padi sepanjang Januari sampai dengan April 2025. Namun demikian, juga perlu diwaspadai curah hujan dengan intensitas sangat tinggi di beberapa wilayah yang berpotensi mengganggu proses budi daya tanaman padi,” lanjut Amalia.
Seiring dengan meningkatnya produksi beras, hasil panen padi dalam periode yang sama juga tercatat sebagai yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Data menunjukkan bahwa hasil panen Januari hingga April 2025 mencapai 24,22 juta ton, meningkat 26,02 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, BPS mencatat adanya penurunan dalam Nilai Tukar Petani (NTP) pada Februari 2025, yaitu turun 0,18 persen dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 123,45. Komoditas yang berkontribusi terhadap penurunan ini antara lain cabai rawit, bawang merah, cabai merah, dan biji kakao.
BPS juga melaporkan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) juga mengalami penurunan sebesar 0,67 persen secara bulanan, dengan nilai 125,69.
NTP Naik Signifikan
Sebelumnya, BPS mencatatkan kenaikan signifikan sebesar 1,23 persen (mount-to-mount/mtm) menjadi 122,78 pada Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Petani (NTUP) pada Desember 2024.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengungkapkan, kenaikan ini dipicu oleh peningkatan indeks harga yang diterima petani (IT) sebesar 1,83 persen yang lebih besar dibandingkan kenaikan indeks harga yang dibayar petani (IB) yang naik 0,60 persen.
Komoditas utama yang mendorong kenaikan NTP ini adalah kelapa sawit, kakao, gabah, dan bawang merah. Sektor hortikultura menjadi sektor dengan kenaikan NTP terbesar, mencapai 5,26 persen.
“Kenaikan ini terjadi karena indeks harga yang diterima petani hortikultura naik lebih besar dibandingkan dengan kenaikan biaya yang harus dibayar petani,” jelas Pudji dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025. (*)