KABARBURSA.COM - Awalnya, euforia kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang menjalar ke sektor energi membuat saham perusahaan pemilik pembangkit nuklir seperti Constellation Energy dan Vistra Corp di Amerika Serikat meroket. Namun, tren itu kini mulai bergeser.
Dilansir dari The Wall Street Journal di Jakarta, Selasa, 4 Maret 2025, regulator di beberapa pasar utama Wall Street mulai mengawasi perjanjian antara pembangkit nuklir dan pusat data yang dinilai dapat menyedot daya dari jaringan listrik utama. Hal ini membuka peluang bagi perusahaan yang bisa membangun pembangkit listrik berbasis gas lebih cepat, serta utilitas yang terintegrasi secara vertikal.
Saham NRG Energy di AS, yang selama ini tertinggal dari reli pesaingnya yang berbasis nuklir seperti Vistra, Constellation Energy, dan Talen Energy, akhirnya mendapat momentum. Pada Rabu pekan lalu, saham NRG melesat 11 persen setelah mengumumkan dua kesepakatan besar yang mengubah dinamika persaingan.
NRG Bangun Pembangkit Gas 5 GW, Pasok Listrik ke Pusat Data
NRG menggandeng GE Vernova dan kontraktor Kiewit untuk membangun lebih dari 5 gigawatt (GW) pembangkit listrik berbasis gas alam. Kapasitas ini cukup untuk memasok listrik bagi jutaan rumah. Selain itu, NRG juga mengumumkan sedang dalam tahap negosiasi dengan dua pengembang pusat data untuk memasok listrik yang sebagian besar akan bersumber dari pembangkit gas baru ini.
Terlepas dari aksi jual besar-besaran pada saham sektor energi pada Kamis lalu, kinerja saham NRG masih lebih unggul dibanding Vistra dan Constellation sejak awal tahun ini.
Sebaliknya, saham Vistracanjlok 12 persen setelah perusahaan gagal mengumumkan kontrak baru dalam laporan keuangannya. CEO Vistra, Jim Burke, mengungkapkan masih ada sejumlah pertanyaan dari regulator yang perlu dijawab sebelum perusahaan dapat menuntaskan kontrak dengan pelanggan pusat data. Ia memperkirakan kepastian regulasi baru akan diperoleh sekitar pertengahan tahun ini.
Sementara itu, Constellation Energy yang baru saja merilis laporan keuangan minggu lalu juga tidak mengumumkan adanya kontrak baru. Kedua perusahaan ini mengoperasikan armada pembangkit nuklir terbesar dan kedua terbesar di pasar listrik kompetitif, tetapi saat ini menghadapi tantangan besar dari ketidakpastian regulasi.
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan daya untuk pusat data dan percepatan proyek AI, sektor energi kini menghadapi perubahan besar. Jika regulasi semakin memperketat kontrak nuklir dengan pusat data, perusahaan berbasis gas seperti NRG Energy berpotensi menjadi pemenang baru dalam industri ini.
Transisi Energi Global dan Dampaknya ke Bursa Indonesia
Pergantian tren dari energi nuklir ke gas di pasar modal Amerika Serikat bukan sekadar fenomena lokal, melainkan bagian dari pola lebih luas yang dipengaruhi oleh spillover effect dan contagion effect dalam pasar keuangan global. Teori-teori ini menjelaskan bagaimana perubahan kebijakan energi dan investasi di pasar utama seperti AS dapat berdampak langsung pada pergerakan saham di negara lain, termasuk Indonesia.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam jurnal Contagion and Spillover Effects of Global Financial Markets on the Indonesian Sharia Stock Index Post-COVID-19 (2023), keterkaitan pasar modal global dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) semakin erat dalam sektor-sektor yang memiliki keterlibatan dalam rantai pasok energi dan infrastruktur. Ketika investasi di sektor pembangkit berbasis gas meningkat di AS, investor institusional global kemungkinan akan mencari peluang serupa di pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Di Indonesia, pergeseran ke energi berbasis gas juga semakin kuat karena didorong oleh kebijakan transisi energi dan pertumbuhan kebutuhan listrik industri. Beberapa emiten yang relevan dengan tren ini meliputi:
1. PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS)
2. PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC)
3. PT Barito Pacific Tbk (BRPT)
4. PT Indika Energy Tbk (INDY)
5. PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA)
Jika pola di pasar AS menjadi acuan, maka saham energi berbasis gas di Indonesia bisa ikut naik dalam beberapa bulan ke depan. Investor global yang melihat potensi profit di sektor ini di AS kemungkinan akan mencari peluang serupa di Indonesia, terutama di emiten yang memiliki eksposur terhadap gas alam.(*)