KABARBURSA.COM – Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi produksi beras sepanjang Januari hingga April 2025 (subround I) akan mencapai 13,95 juta ton dan sekaligus menjadi produksi tertinggi sejak 2019.
Sebagai perbandingan, produksi beras pada tahun 2019 tercatat sebesar 13,63 juta ton, tahun 2020 mencapai 11,52 juta ton, tahun 2021 sebanyak 13,58 juta ton, tahun 2022 sebesar 13,71 juta ton, tahun 2023 sebanyak 12,98 juta ton, dan tahun 2024 hanya 11,07 juta ton.
“Jika dibandingkan dengan realisasi produksi pada tahun-tahun sebelumnya, potensi produksi beras sepanjang Januari sampai dengan April 2025 diperkirakan yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir atau sejak tahun 2019,” ujar Amalia dalam konferensi persnya, Senin, 3 Maret 2025.
Saat ini mayoritas produksi beras domestik masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Jawa Timur sebagai daerah penyumbang terbesar, yakni 2,71 juta ton. Terbesar kedua adalah Jawa Tengah sebesar 2,3 juta ton dan Jawa Barat 1,96 juta ton.
Sementara di luar Pulau Jawa, Sulawesi Selatan menjadi daerah produksi tertinggi dengan 1,08 juta ton, disusul Sumatera Selatan sebanyak 933 ribu ton, dan Lampung sebanyak 788 ribu ton.
Pihak BPS meyakini faktor cuaca tutur berkontribusi terhadap produksi beras kali ini. BPS mencatat curah hujan yang cukup tinggi di berbagai wilayah Indonesia membantu meningkatkan produktivitas tanaman pangan.
“Kondisi ini akan mendukung kegiatan budi daya tanaman padi sepanjang Januari sampai dengan April 2025. Namun demikian, juga perlu diwaspadai curah hujan dengan intensitas sangat tinggi di beberapa wilayah yang berpotensi mengganggu proses budi daya tanaman padi,” lanjut Amalia.
Seiring dengan meningkatnya produksi beras, hasil panen padi dalam periode yang sama juga tercatat sebagai yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Data menunjukkan bahwa hasil panen Januari hingga April 2025 mencapai 24,22 juta ton, meningkat 26,02 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
NTP Februari 2025 Turun 0,18 Persen
Sementara itu, BPS mencatat adanya penurunan dalam Nilai Tukar Petani (NTP) pada Februari 2025, yaitu turun 0,18 persen dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 123,45. Komoditas yang berkontribusi terhadap penurunan ini antara lain cabai rawit, bawang merah, cabai merah, dan biji kakao.
BPS juga melaporkan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) juga mengalami penurunan sebesar 0,67 persen secara bulanan, dengan nilai 125,69.
Sebelumnya, BPS mencatatkan kenaikan signifikan sebesar 1,23 persen (mount-to-mount/mtm) menjadi 122,78 pada Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Petani (NTUP) pada Desember 2024.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengungkapkan, kenaikan ini dipicu oleh peningkatan indeks harga yang diterima petani (IT) sebesar 1,83 persen yang lebih besar dibandingkan kenaikan indeks harga yang dibayar petani (IB) yang naik 0,60 persen.
Komoditas utama yang mendorong kenaikan NTP ini adalah kelapa sawit, kakao, gabah, dan bawang merah. Sektor hortikultura menjadi sektor dengan kenaikan NTP terbesar, mencapai 5,26 persen.
“Kenaikan ini terjadi karena indeks harga yang diterima petani hortikultura naik lebih besar dibandingkan dengan kenaikan biaya yang harus dibayar petani,” jelas Pudji dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.
Menurutnya, kenaikan NTP menunjukkan adanya peningkatan pendapatan bagi petani di sebagian besar subsektor pertanian. Kendati demikian, dampaknya belum merata di seluruh provinsi. Berdasarkan catatan BPS, hanya 29 provinsi yang NTP-nya naik. Kenaikan tertinggi terjadi di Sulawesi Tengah dengan capaian 4,47 persen.
Sementara 9 provinsi lainnya mengalami penurunan NTP. Penurunan terbesar, lanjut dia, terjadi di Papua Barat sebesar 1,13 persen. Penurunan NTP di Papua Barat di sebabkan oleh penurunan harga komoditas bayam, cabe rawit, terong, jeruk, dan kelapa.
BPS juga mencatatkan kenaikan nilai tukar usaha petani (NTUP) sebesar 1,72 persen menjadi 125,90 persen pada Desember 2024.
Menurutnya, kenaikan NTUP terjadi karena ada peningkatan indeks harga yang diterima petani lebih besar dibandingkan dengan kenaikan biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM), yang hanya naik sebesar 0,11 persen.
“Komoditas yang dominan yang memengaruhi kenaikan indeks biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM) nasional adalah jerami, bibit bawang merah, upah penanaman, dan upah membajak,” tambah Pudji.
Subsektor hortikultura kembali mencatatkan kenaikan NTUP tertinggi sebesar 5,66 persen, berkat kenaikan harga yang diterima petani yang lebih tinggi dibandingkan dengan biaya produksi dan penambahan modal yang mereka bayar.
Peningkatan ini disebabkan oleh kenaikan indeks harga yang diterima petani hortikultura sebesar 5,86 persen, yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan indeks biaya produksi dan penambahan modal sebesar 0,19 persen.
“Komoditas yang dominan yang memengaruhi kenaikan indeks biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM) adalah bibit bawang merah, upah mencangkul, sewa lahan, dan upah menuai atau memanen,” jelas Pudji. (*)