Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Dampak Kasus Pertamax, SPBU Swasta Kian Ramai

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 03 March 2025 | Penulis: Harun Rasyid | Editor: Citra Dara Vresti Trisna
Dampak Kasus Pertamax, SPBU Swasta Kian Ramai Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Shell ramai diserbu pembeli. (Foto: Ist)

KABARBURSA.COM – Kasus dugaan pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax yang melibatkan PT Pertamina Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada tahun 2018-2023 membuat masyarakat ragu dengan kualitas Pertamax yang dijual Pertamina.

Kasus dugaan pengoplosan BBM Research Octane Number (RON) 90 dengan Pertamax yang memiliki RON 92 tersebut merugikan negara senilai Rp193,7 triliun per tahun.

Kasus ini menjadi durian runtuh bagi penyedia BBM Swasta seperti Shell, BP dan Vivo. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta tersebut jadi lebih ramai dibandingkan biasanya.

Pengamat Pasar Uang Ibrahim Assuaibi mengatakan, perpindahan masyarakat dari produk BBM Pertamax ke produk BBM swasta adalah hal wajar.

“Pengoplosan BBM ini cukup luar biasa. Ada eksodus atau perpindahan konsumen yang tadinya di SPBU Pertamina ini, beralih ke swasta semisal Shell,” kata Ibrahim kepada kabarbursa.com, Senin, 3 Maret 2025.

Meski sudah banyak masyarakat yang enggan membeli di SPBU Pertamina, namun ia menilai kondisi ini hanya sementara. Menurutnya, apabila sisuasi kembali normal, masyarakat akan kembali membeli BBM di SPBU Pertamina.

Ibrahim mengatakan, produk BBM swasta seperti Shell dan lainnya dinilai memiliki pasar yang segmented. Sehingga Pertamina tetap memiliki pasar yang lebih luas.

“Harus diingat bahwa masyarakat yang membeli Shell itu bukan kelas-kelas menengah ke bawah, itu kebanyakan kelas atas. Artinya Pertamina ini masih diminati oleh masyarakat secara luas, apalagi dengan harga yang lebih terjangkau,” ucapnya.

Namun Ibrahim memahami, dampak psikologis maupun ekonomi yang ditimbulkan dari tindak pengoplosan Pertamax serta kasus korupsi bagi masyarakat. Ia berharap, kasus tersebut dapat segera diselesaikan sehingga negara mendapat keuntungan dari dana yang dikorupsi.

"Hasil pengoplosan ini mungkin tidak merata, atau hanya di wilayah-wilayah tertentu. Tapi masyarakat kini menjadi sentimen terhadap Pertamina. Namun pemerintahan Presiden Prabowo ini memang sedang bersih-bersih,” ujarnya.

“Ujung-ujungnya uang dari kasus ini pun juga akan diambil alih oleh negara. Artinya negara juga mendapatkan dana segar dari para pejabat yang korup tersebut," tambah Ibrahim.

Ia juga menilai, pemerintah kini sedang berkonsolidasi untuk memperketat pengawasan terhadap anak-anak perusahaan Pertamina.

“Karena anak-anak perusahaan Pertamina ini begitu banyak, jadi kalau tidak ada pengawasan itu menjadikan anak-anak perusahaan itu sebagai 'raja-raja kecil' yang mencari keuntungan sesaat di luar kinerja mereka,” ungkap Ibrahim.

Kejaksaan Diminta Berantas Mafia Migas

Sebelumnya, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai bahwa isu utama dalam kasus ini justru teralihkan oleh perdebatan soal blending BBM, yang berpotensi mengaburkan modus utama perampokan negara melalui mark up impor minyak mentah, impor BBM, dan pengapalan.  

Fokus utama seharusnya pada dugaan skema korupsi dalam tata kelola impor minyak dan BBM, bukan sekadar perdebatan blending yang justru bisa merugikan Pertamina lebih lanjut,” ujar Fahmy, kepada awak media di Jakarta, Senin, 3 Maret 2025.  

Menurutnya, polemik blending yang terus berlanjut bisa mendorong migrasi konsumen Pertamax ke SPBU asing atau bahkan beralih ke Pertalite yang disubsidi pemerintah. Jika tren ini meluas, bukan hanya Pertamina yang merugi, tetapi juga APBN yang harus menanggung beban subsidi BBM yang semakin besar.  

Fahmy menegaskan bahwa Kejaksaan Agung harus tetap fokus pada pengungkapan jaringan mafia migas yang diduga terlibat dalam kasus ini. Ia menyebutkan bahwa korupsi di tubuh Pertamina periode 2018-2023 melibatkan berbagai pihak, termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, serta sejumlah Dirut dan Komisaris Perusahaan Swasta.  

“Selain menangkap aktor-aktor utama, pembersihan besar-besaran harus dilakukan terhadap semua pihak yang terkait dengan mafia migas, termasuk di Pertamina dan kementerian terkait. Bahkan backing mafia migas pun harus disikat,” ungkapnya 

Kemudian, Fahmy juga mengingatkan bahwa upaya memberantas mafia migas bukan perkara mudah. Ia mengutip pernyataan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang pernah mengakui bahwa dirinya tidak sanggup membubarkan Petral—anak usaha Pertamina yang diduga sebagai sarang mafia migas—karena backing yang sangat kuat hingga 'langit ke tujuh'.  

Namun, ia menilai ada petunjuk penting dalam kasus ini. Jika korupsi skala besar itu berlangsung tanpa tersentuh sejak 2018-2023, lalu tiba-tiba mulai terungkap pada awal 2025, itu bisa menjadi indikasi bahwa backing yang selama ini melindungi praktik tersebut tidak lagi sekuat sebelumnya.  

“Seolah-olah selama lima tahun terakhir, mega korupsi ini tak tersentuh karena backing yang kuat. Namun kini, backing itu tampaknya sudah melemah. Ini momen tepat bagi Kejaksaan Agung untuk menindak tegas semua pihak yang terlibat, termasuk aktor besar di balik layar,” kata Fahmy.  

Ia menekankan bahwa tanpa operasi besar-besaran terhadap jaringan mafia migas dan backingnya, mega korupsi di Pertamina berpotensi terus berulang di masa depan.  

"Pembersihan harus dilakukan secara menyeluruh, agar kasus ini tidak hanya jadi wacana sesaat tanpa ada perubahan fundamental dalam tata kelola energi nasional," tutup Fahmy. (*)