KABARBURSA.COM - Indeks aktivitas manufaktur di Asia menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang lumayan di pertengahan kuartal pertama ini. Tapi ya gitu, masih ada beberapa titik lemah yang nyelip di antara ketegangan dagang global yang makin panas.
Ekonom Maybank, Erica Tay, bilang lonjakan pesanan baru di Asia ini masih misteri—apakah beneran murni permintaan naik, atau cuma efek buru-buru belanja sebelum kebijakan dagang Amerika Serikat makin ribet? Kalau yang kedua, bisa-bisa nanti di paruh kedua tahun ini, pembeli malah balik mengerem belanja dan bikin pertumbuhan manufaktur melempem lagi.
Dilansir dari The Wall Street Journal di Jakarta, Senin, 3 Maret 2025, data PMI memberi gambaran bahwa produksi di Asia naik lebih cepat karena didukung permintaan yang kuat. Kepercayaan diri pabrikan di ASEAN bahkan menyentuh level tertinggi dalam hampir dua tahun, sementara tekanan inflasi masih bisa dikendalikan.
Di Indonesia, indeks utama dalam survei manufaktur tembus rekor tertinggi dalam 11 bulan terakhir. Indeks PMI Manufaktur Indonesia yang dirilis S&P Global menunjukkan bahwa sektor industri dalam negeri makin ngebut. Di Februar 2025i, PMI manufaktur naik jadi 53,6, alias melompat 1,7 poin dari bulan sebelumnya yang masih di 51,9.
Buat yang belum familiar, PMI di atas 50 artinya sektor manufaktur lagi ekspansi alias makin sibuk produksi. Dan Februari ini jadi pencapaian tertinggi dalam 11 bulan terakhir—tanda kalau industri Indonesia lagi on fire.
Kabar baik ini juga klop sama data Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang dirilis Kementerian Perindustrian. IKI Februari 2025 tercatat di level 53,15, naik tipis 0,05 poin dibanding Januari, dan lebih tinggi 0,59 poin dibanding Februari tahun lalu. Intinya, kepercayaan pelaku industri masih solid, dan sektor manufaktur kelihatan makin pede buat terus ngegas.
Thailand juga bangkit dari keterpurukan, balik ke zona ekspansi setelah sempat nyungsep di Januari. Produksi di Negeri Gajah Putih naik paling kencang dalam enam bulan terakhir, dengan pesanan baru dan lapangan kerja yang mulai stabil.
Menurut Tay dari Maybank, kapasitas produksi di Asia Tenggara sekarang sedang 'digeber' untuk mengimbangi permintaan yang kencang, terutama dari China dan beberapa negara lain di kawasan.
Sementara itu, Taiwan yang dikenal sebagai raksasa chip juga menunjukkan ekspansi yang lebih cepat, tanda bahwa outlook jangka pendeknya masih positif. Joe Hayes, ekonom dari S&P Global Market Intelligence, bilang kenaikan pesanan baru dan penjualan di pabrik Taiwan didorong oleh permintaan dalam negeri maupun ekspor ke Eropa dan Amerika Serikat.
Tapi, tidak semua cerita manis. Jepang dan Vietnam masih babak belur di zona kontraksi karena pesanan baru dan output mereka masih melorot. Jepang malah udah delapan bulan berturut-turut mengalami penurunan kondisi operasional. Meski begitu, skor PMI-nya naik tipis dari 48,7 di Januari ke 49,0 di Februari, artinya kontraksi mulai agak mereda.
Menurut ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti, manufaktur Jepang masih berkutat dengan lemahnya permintaan, baik di dalam negeri maupun global. Kepercayaan bisnis juga jeblok ke level terendah sejak pertengahan 2020. Bhatti bilang, outlook jangka pendek masih mendung karena perusahaan-perusahaan Jepang khawatir dengan proteksionisme dagang AS dan pemulihan ekonomi yang lebih lambat dari harapan.
Vietnam, yang jadi negara dengan defisit dagang kedua terbesar terhadap AS setelah China, mengalami perbaikan tipis dalam PMI. Tapi pabrikan di sana masih mengeluh soal lemahnya permintaan, baik lokal maupun ekspor. Menurut Andrew Harker dari S&P Global Market Intelligence, masalah pengiriman—terutama soal kecepatan dan biaya angkut—juga jadi hambatan utama bagi industri manufaktur Vietnam.
Di India, laju pertumbuhan penjualan dan produksi melambat ke titik terendah dalam 14 bulan terakhir, tapi masih berada di zona ekspansi.
Perhatian sekarang pun tertuju ke kebijakan tarif global dan bagaimana dampaknya menyebar ke manufaktur dan ekonomi di Asia. "Ketidakpastian yang dipicu oleh perdagangan global ini kemungkinan bakal makin naik, bukan mereda, sampai ada kompromi negosiasi yang bisa meredam risiko-risiko tambahan ke depan," kata Kepala Riset Makro di Mizuho Securities Asia (kecuali Jepang), Vishnu Varathan.
Laporan dari Morgan Stanley juga memberi peringatan negara-negara seperti China, Korea Selatan, India, Taiwan, dan Vietnam bakal jadi yang paling rentan jika Amerika Serikat resmi menerapkan tarif balasan mulai April nanti. Tarif baru ini bisa mengancam kepercayaan bisnis dan pada akhirnya menekan ekonomi kawasan.
Jadi, buat sekarang, manufaktur Asia udah mulai melaju lagi, tapi jangan buru-buru lega. Risiko perang dagang masih bisa bikin semuanya balik kendor.(*)