KABARBURSA.COM - Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto, menegaskan bahwa sektor pertambangan memegang peran krusial dalam perekonomian Indonesia. Namun, ia juga mengingatkan bahwa jika pengelolaannya tidak mengikuti prinsip keberlanjutan (sustainability) , maka pertambangan justru bisa menjadi ancaman bagi peradaban.
"Pertambangan adalah peradaban. Tanpa pertambangan, dunia tidak akan berkembang. Tapi kalau tidak dikelola dengan tata kelola yang baik dan prinsip keberlanjutan, pertambangan justru bisa menghancurkan peradaban itu sendiri," ujar Sugeng saat menyampaikan materi di KabarBursa Economic Insight (KEI) 2025 di Le Meridien, Jakarta Pusat, Rabu, 26 Februari 2025.
Menurutnya, berbagai konflik antara masyarakat, operator tambang, dan pemerintah masih sering terjadi. Sebagai politikus yang dekat dengan akar rumput, ia menilai DPR memiliki peran penting sebagai mediator dalam berbagai permasalahan tersebut.
Pertambangan dan Tulang Punggung Ekonomi
Sugeng menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi ditopang oleh tiga faktor utama, yaitu ekspor, investasi, dan konsumsi. Dalam hal ini, ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas, terutama kelapa sawit dan pertambangan mineralseperti batubara, nikel, bauksit, tembaga, dan emas.
"Inilah yang menjadi tulang punggung ekonomi kita. Tapi ingat, pertambangan bukan sektor yang bisa diperbarui. Jika eksploitasi dilakukan secara serampangan, dampaknya bisa sangat besar," tegasnya.
Oleh karena itu, Sugeng menekankan pentingnya regulasi yang ketat dalam pengelolaan sektor pertambangan. Ia menyebut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 sebagai landasan hukum yang mengatur berbagai aspek tambang, termasuk jaminan reklamasi (jamrek) dan jaminan tutup tambang (jamtuk) untuk memastikan kelestarian lingkungan pasca-eksploitasi.
Izin Pertambangan dan Prinsip Keadilan Ekonomi
Lebih lanjut, Sugeng menyinggung perubahan rezim perizinan di sektor tambang, dari kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Menurutnya, kebijakan ini dibuat untuk menciptakan keadilan dalam akses ekonomi bagi masyarakat sekitar wilayah pertambangan.
"Dulu, wilayah pertambangan dikuasai perusahaan besar dengan lahan yang sangat luas. Sebut saja Adaro yang mengelola 10 ribu hektare, atau Bumi Resources dan Kaltim Prima Coal (KPC). Kini ada konsep relinguish, yaitu pengembalian sebagian wilayah tambang agar bisa dikelola dengan lebih adil," paparnya.
Sugeng mengingatkan bahwa sektor pertambangan harus berjalan sesuai aturan agar tetap berkontribusi bagi perekonomian tanpa merusak lingkungan. Ia menekankan bahwa keberlanjutan bukan hanya soal menjaga sumber daya alam, tetapi juga menciptakan keseimbangan antara eksploitasi dan pemulihan ekosistem.
"Pertambangan yang tidak dikendalikan bisa berujung pada kehancuran lingkungan dan ekonomi di masa depan. Oleh karena itu, aturan yang ada harus benar-benar ditegakkan," pungkasnya.
PERHAPI: Perlu Ada Standar ESG yang Relevan
Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) menilai standar Environmental, Social, and Governance atau ESG dalam industri tambang nasional perlu disesuaikan dengan karakteristik lokal agar dapat diterapkan secara optimal. Ketua Bidang Hubungan Industri PERHAPI, Ardhi Ishak Koesen, mengatakan regulasi ESG saat ini masih didominasi oleh standar global yang belum tentu selaras dengan kondisi pertambangan di Indonesia.
“Saat ini, standar ESG yang ada masih merujuk pada regulasi global, yang sering kali kurang relevan dengan kondisi pertambangan di Indonesia. Oleh karena itu, kami sedang mengembangkan kaidah ESG yang dapat diadaptasi dan diterapkan secara efektif oleh perusahaan tambang nasional,” kata Ardhi dalam acara diskusi KabarBursa Economic Insight 2025 (KEI 2025) dengan tema besar Greenomic Indonesia: Challenges in Banking, Energy Transition, and Net Zero Emissions di Hotel Le Meridien, Jakarta Pusat, Rabu, 26 Februari 2025.
Dalam diskusi panel 1 bertema Embracing Sustainable Mining Practices to Build a Sustainable Future itu, Ardhi menjelaskan penerapan ESG yang tepat dapat meningkatkan transparansi industri tambang serta menarik lebih banyak investasi, khususnya dari investor global yang kini semakin selektif dalam menanamkan modalnya. Menurutnya, aspek keberlanjutan dan tata kelola yang baik menjadi faktor utama dalam menarik kepercayaan pemodal.
“Industri tambang harus mampu menunjukkan komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial. Dengan begitu, kepercayaan investor dan pemangku kepentingan dapat terjaga,” katanya.
Selain itu, PERHAPI juga menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat dalam operasional perusahaan tambang. Alumni Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada ini menilai, program tanggung jawab sosial seharusnya bukan sekadar formalitas, tetapi harus memiliki dampak nyata bagi masyarakat sekitar.
Di luar aspek lingkungan dan sosial, Ardhi menegaskan standar ESG yang diterapkan harus selaras dengan kebijakan nasional. Regulasi yang terlalu kaku atau tidak menyesuaikan kondisi lokal, kata dia, justru berpotensi menghambat operasional perusahaan tambang.
“Kami ingin memastika bahwa standar ESG yang kami kembangkan dapat diterapkan secara realistis oleh perusahaan tambang, tanpa menghambat produktivitas mereka,” katanya.
Melalui inisiatif ini, PERHAPI berharap industri tambang Indonesia dapat semakin berkelanjutan, bertanggung jawab, serta memiliki daya saing di pasar global dengan menerapkan standar ESG yang lebih komprehensif.
Tentang KEI 2025
KabarBursa Economic Insight atau KEI 2025 merupakan forum diskusi tahunan yang mempertemukan pemangku kepentingan di sektor energi, keuangan, dan industri dalam membahas tantangan serta peluang menuju ekonomi hijau. Tahun ini, KEI mengusung tema besar Greenomic Indonesia: Challenges in Banking, Energy Transition, and Net Zero Emissions, yang bertujuan untuk menggali solusi konkret dalam mewujudkan transformasi keberlanjutan energi di Indonesia.
Acara ini mengundang sejumlah tokoh penting, seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Selain itu, berbagai akademisi, pelaku industri, dan analis pasar modal, dan perwakilan dari sektor keuangan juga turut berpartisipasi dalam forum ini.
Dalam agenda KEI 2025, terdapat tiga panel diskusi utama yang membahas sektor pertambangan, kendaraan ramah lingkungan, dan strategi keuangan hijau. Setiap sesi diharapkan dapat menghasilkan wawasan baru serta rekomendasi kebijakan yang dapat membantu mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon di Indonesia.(*)