KABARBURSA.COM – Kondisi pasar modal Indonesia menjadi sorotan setelah data menunjukkan net sell asing dalam instrumen Bank Indonesia (BI) terus berlanjut.
Pekan lalu tercatat sebagai net sell terbesar sejak pekan ketiga Januari 2025, dengan dana asing keluar dari Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) mencapai Rp5,41 triliun.
Fenomena ini justru terjadi di tengah meningkatnya aliran modal asing ke Indonesia, namun instrumen BI tetap kurang diminati investor global. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah aset yang ditawarkan BI kalah menarik dibandingkan instrumen luar negeri, khususnya di Amerika Serikat (AS)?
Mendapati ini, pengamat pasar modal Wahyu Tri Laksono menjelaskan, situasi pasar AS memang masih sangat kuat sehingga menarik lebih banyak investor global dibanding pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Dalam ketidakpastian ekonomi global, isu perang tarif dan perang dagang yang diprovokasi oleh Trump masih kuat, ditambah dengan daya tarik bursa Wall Street yang tetap tinggi. Jelas pelarian modal menuju AS sulit dihindari,” kata Wahyu kepada Kabarbursa.com, Minggu, 16 Februari 2025.
Dia melanjutkan, sebenarnya kebijakan BI bukan faktor utama yang menentukan arus modal asing. Justru kebijakan moneter dan fiskal domestik lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti kebijakan ekonomi AS dan China.
“Contohnya jika ekonomi AS tertekan, maka masuknya kapital dari AS ke Indonesia sangat mungkin memicu kenaikan IHSG dan penguatan rupiah,” ujar dia.
Hedge Fund dan Kapitalisasi Pasar AS Naik Drastis
Lebih lanjut, Wahyu mengungkapkan bahwa S&P 500 melonjak ke arah 6.100, meskipun inflasi meningkat dan kekhawatiran perang dagang semakin besar.
“Hedge fund menjadi pembeli bersih ekuitas AS selama lima hari berturut-turut pekan lalu dengan kecepatan tercepat sejak November 2024,” ungkapnya.
Hal ini merupakan pembalikan tajam dari penjualan lima minggu berturut-turut sebelumnya. Bahkan, menurut Goldman Sachs, saham tunggal AS mencatat pembelian bersih terbesar dalam lebih dari tiga tahun. Pembelian (long buy) jauh melebihi penjualan (short sell) dengan rasio hampir 10:1.
Investor global telah menuangkan rekor 520 miliar dolar AS ke dalam ekuitas AS dalam 12 bulan terakhir, melampaui rekor tertinggi sepanjang masa sebelumnya yang terjadi pada 2021 sebesar 30 miliar dolar AS.
Sebagai perbandingan, saham emerging market, termasuk Indonesia, hanya mencatat 220 miliar dolar AS net inflow, atau pelemahan 57 persen dibandingkan AS. Negara maju lainnya, kecuali AS, hanya mencatat 20 miliar dolar AS net inflow.
“Akibatnya, kepemilikan asing sekarang mencerminkan 59 persen dari aset keuangan AS, secara resmi berada di atas puncak Dot-Com Bubble 2000. Investor global berbondong-bondong ke saham AS,” jelas Wahyu.
IHSG Masih Rentan, Dibayangi Kapitalisasi Pasar yang Lemah
Dalam konteks perbandingan, S&P 500 telah menambahkan 16 triliun dolar AS market cap sejak Oktober 2023. Itu berarti rata-rata kenaikan 50 miliar dolar AS per hari selama 314 hari berturut-turut, dengan total pengembalian 48 persen.
“Artinya, S&P 500 telah mencatat 3,7 kali rata-rata pengembalian tahunan lebih tinggi sejak Oktober 2023. Sepertinya ini pasar bullish terbesar dalam sejarah. Apalah arti bursa kita?” sindir Wahyu.
Sebagai gambaran, kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia pekan ini mengalami perubahan 5,87 persen menjadi Rp11.595 triliun dari Rp12.319 triliun pada pekan sebelumnya.
Namun, jika dibandingkan dengan skala kapitalisasi global, anjloknya kapitalisasi pasar Nvidia sebesar 600 miliar dolar AS atau sekitar Rp9.600 triliun (dengan kurs Rp16.000 per USD) hampir menyamai total kapitalisasi pasar IHSG yang hanya sekitar Rp12.000 triliun.
“Nvidia saja anjlok Rp9.600 triliun dalam sehari. Itu hampir menyamai total kapitalisasi IHSG kita. Bayangkan, nilai pasar Nvidia saat ini sekitar 3,31 triliun dolar AS, atau setara dengan Rp52.960 triliun. Kita bicara skala yang sangat berbeda,” lanjutnya.
Daya Tarik IHSG Masih Rendah, Faktor China dan Singapura Perlu Dipertimbangkan
Wahyu juga menyoroti lemahnya daya tarik IHSG dibandingkan pasar global, terutama dengan faktor China dan Singapura yang lebih menarik bagi investor asing.
“Ekonomi Indonesia, khususnya pasar kapital, masih sangat lemah jika dilihat dari sensitivitas dan kerentanannya terhadap guncangan eksternal. Apalagi, faktor China dan Singapura juga menjadi pertimbangan besar bagi investor asing,” pungkasnya.
Meskipun aliran modal asing kembali masuk ke Indonesia, daya tarik instrumen BI seperti SRBI tetap rendah dibandingkan pasar global yang lebih menjanjikan, terutama AS. Hal ini menjadi tantangan bagi kebijakan moneter dan strategi pasar modal Indonesia ke depan.(*)