KABARBURSA.COM - Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara atau UU Minerba kembali menjadi sorotan dalam pembahasan di DPR. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Sugeng Suparwoto, mengatakan perubahan regulasi ini bertujuan mengoreksi ketidakadilan dalam mekanisme perizinan tambang serta mendorong hilirisasi industri.
“Revisi ini dilakukan karena ada beberapa ketidakadilan yang masih terjadi dalam mekanisme mendapatkan wilayah usaha pertambangan,” kata Sugeng usairapat pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu, dikutip dari dpr.go.id, Kamis, 13 Februari 2025.
Menurutnya, sistem lelang yang selama ini diterapkan dalam perizinan wilayah pertambangan terlalu rumit dan eksklusif. Hanya pihak-pihak tertentu yang memiliki akses izin pertambangan sehingga menciptakan potensi oligarki baru. “Ini menimbulkan kritik bahwa hanya segelintir orang yang bisa mendapatkan akses ini, dan ada kekhawatiran akan terjadinya oligarki baru,” ujarnya politisi Partai NasDem ini.
DPR bersama pemerintah, kata Sugeng, ingin mengubah kondisi itu. Melalui revisi ini, kesempatan yang lebih luas akan diberikan kepada ormas keagamaan, perguruan tinggi, koperasi, UMKM, hingga badan usaha lainnya. “Kami ingin memastikan bahwa pengelolaan tambang tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang, tetapi juga melibatkan masyarakat luas,” katanya.
Selain membuka akses yang lebih luas, revisi RUU Minerba juga diarahkan untuk mendukung hilirisasi industri nasional. Salah satu fokusnya adalah memastikan sumber daya alam diproses menjadi produk dengan nilai tambah tinggi.
Sugeng mencontohkan nikel, yang bisa diolah menjadi komponen utama baterai untuk energi terbarukan. “Dengan pengelolaan yang tepat, Indonesia bisa menjadi pusat pengolahan baterai energi yang bahan bakunya sebagian besar berasal dari nikel, tembaga, dan kobal,” jelasnya.
Namun, Sugeng mengingatkan pengelolaan sumber daya alam perlu dilakukan dengan cermat agar tak berujung pada oversupply yang merugikan industri. Ia menyinggung kondisi nikel yang sempat mengalami kelebihan pasokan hingga menyebabkan harga anjlok di pasar global. “Kita harus mengelola sumber daya alam ini dengan bijak agar tidak merusak harga di pasar internasional,” katanya.
[caption id="attachment_55076" align="alignnone" width="601"] Warga melintas depan Kantor Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jalan Medan Merdeka Selatan, Senin (10/6/2024). foto: KabarBursa/abbas sandji[/caption]
Di luar pembahasan RUU Minerba, Sugeng juga menyoroti pemangkasan anggaran di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar Rp1,8 triliun. Menurutnya, keputusan ini perlu dipertimbangkan secara hati-hati karena ESDM adalah salah satu kontributor terbesar bagi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Sehingga kita harus memastikan bahwa pemotongan anggaran ini tidak mengganggu kinerja sektor pertambangan dan migas yang berkontribusi besar terhadap pendapatan negara,” ujarnya.
Meski efisiensi anggaran dianggap perlu untuk menyesuaikan kondisi keuangan negara, Sugeng mengingatkan pemangkasan itu tidak boleh berdampak negatif pada layanan publik. “Kita harus memastikan bahwa pemotongan anggaran tidak mengorbankan sektor-sektor yang langsung berdampak pada kualitas hidup masyarakat, seperti kesehatan dan pendidikan,” katanya.
[caption id="attachment_53353" align="alignnone" width="600"] Warga melintas di depan Gedung Adaro di kawasan Mega Kuningan. Foto: KabarBursa/abbas sandji)[/caption]
Analis Pasar Modal yang juga Founder Mikirduit, Surya Rianto, ikut menyoroti revisi RUU Minerba yang menuai polemik. Surya menilai regulasi tersebut tidak akan berdampak langsung terhadap kinerja emiten tambang di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Namun, ia mengakui aturan ini membuka peluang lebih besar bagi tambang-tambang kecil yang selama ini sulit dikelola oleh korporasi besar.
“Kalau yang terkait pembagian tambang ke perguruan tinggi dan ormas keagamaan sebenarnya enggak ada korelasi langsung ke emiten. Tapi dari sisi bisnis smelter, kebijakan ini bisa membantu menambah suplai nikel, terutama karena tambang-tambang kecil biasanya yang akan diberikan konsesi,” ujar Surya kepada KabarBursa.com, di Jakarta, Sabtu, 25 Januari 2025, lalu.
Dari perspektif investor, kata Surya, revisi ini bersifat netral, kecuali jika transparansi dalam implementasinya benar-benar dijaga. Dari sudut pandang perguruan tinggi dan mahasiswa, menurut dia, transparansi dalam aktivitas tambang menjadi aspek krusial.
Hal ini berkaitan dengan pengelolaan pendapatan dari sektor tersebut agar penggunaannya jelas, termasuk dalam menjaga agar Uang Kuliah Tunggal (UKT) tetap terkendali. Meski DPR menyebut revisi UU Minerba selaras dengan visi pemerintah untuk mempercepat hilirisasi dan pertumbuhan ekonomi, Surya mengingatkan kebijakan ini harus tetap mempertimbangkan keseimbangan antara manfaat ekonomi, transparansi, serta dampak sosial dan lingkungan.
“Yang penting ke depan adalah bagaimana mekanisme ini bisa dijalankan secara transparan dan tidak menimbulkan konflik di lapangan,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Baleg DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, mengklaim alasan di balik revisi UU Minerba adalah untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam lebih berpihak pada kepentingan masyarakat.
“Undang-undang Minerba itu harus direvisi. Ada dua alasannya, yang pertama adalah karena memang ada putusan Mahkamah Konstitusi yang harus disesuaikan terhadap undang-undang itu,” kata Doli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 20 Januari 2025, lalu.
“Yang kedua adalah, ini sebetulnya yang kita revisi itu untuk memperkuat affirmative action keberpihakan negara dan pemerintah kepada masyarakat terhadap sumber daya mineral yang dikehendaki oleh negara,” tambahnya.
Menurut Doli, revisi UU Minerba ini bertujuan untuk memberikan penekanan lebih pada pemberdayaan masyarakat di sektor pertambangan. Politisi Partai Golkar ini menyoroti selama ini peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam masih terbatas, khususnya melalui partisipasi ormas yang diatur dalam peraturan presiden dan pemerintah.
“Kita mau merumuskan lebih konkret Pasal 33 dan UUD 45 itu. Nah kalau dulu kan bentuknya diserahkan ke Ormas-Ormas dan itu diatur payung hukumnya kan peraturan presiden dan peraturan pemerintah. Nah sekarang itu kita mau angkat,” kata Doli.(*)