KABARBURSA.COM - Pada perdagangan Rabu waktu setempat, 12 Februari 2025, dolar AS menguat tajam terhadap yen Jepang, mencapai level tertinggi dalam seminggu. Hal ini terjadi setelah data inflasi terbaru dari Amerika Serikat menunjukkan kenaikan harga konsumen yang lebih tinggi dari yang diperkirakan.
Indeks harga konsumen (CPI) untuk Januari mencatatkan lonjakan sebesar 0,5 persen, sedangkan CPI inti yang mengesampingkan harga pangan dan energi naik 0,4 persen. Kedua angka ini jauh melebihi ekspektasi pasar yang hanya memproyeksikan kenaikan sebesar 0,3 persen.
Kenaikan tersebut membawa inflasi tahunan CPI utama menjadi 3,0 persen, lebih tinggi dari ekspektasi yang hanya 2,9 persen, sementara harga inti meningkat sebesar 3,3 persen, mengalahkan prediksi 3,1 persen.
Kenaikan harga ini semakin memperburuk kekhawatiran pasar bahwa Federal Reserve (The Fed) mungkin akan mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi lebih lama untuk mengendalikan inflasi.
Seperti yang diungkapkan oleh Adam Button, Chief Currency Analyst ForexLive, kebijakan The Fed untuk tidak memangkas suku bunga hingga inflasi mendekati target 2 persen semakin sulit dicapai dengan data inflasi yang terus tinggi ini. Oleh karena itu, para trader suku bunga berjangka kini memangkas prediksi pemotongan suku bunga pada Desember 2025, dengan hanya satu potensi pemangkasan sebesar 25 basis poin.
Sebagai reaksi terhadap laporan inflasi ini, dolar AS menguat 1,29 persen terhadap yen, mencapai level 154,44 yen, yang mencerminkan dampak perbedaan suku bunga antara AS dan Jepang. Di sisi lain, indeks dolar AS (DXY), yang mengukur kekuatan dolar terhadap sekeranjang enam mata uang utama, juga mengalami kenaikan 0,02 persen menjadi 107,95 setelah sebelumnya sempat menembus level tertinggi dalam seminggu di 108,52.
Meski demikian, dolar AS sedikit melemah setelah sejumlah trader mengambil keuntungan dan merenungkan apakah kenaikan inflasi bulan Januari adalah anomali atau sebuah sinyal dari tren inflasi yang lebih tinggi. Thomas Simons, Kepala Ekonom Jefferies, mencatat bahwa bulan Januari sering kali menjadi bulan yang penuh dengan kenaikan harga tahunan yang diumumkan, sehingga ia memperkirakan inflasi bulan Februari tidak akan setinggi itu.
Sementara itu, Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, dalam pernyataannya di hadapan kongres pada Rabu, kembali menegaskan bahwa bank sentral tidak terburu-buru untuk memangkas suku bunga lebih lanjut, meskipun ada kemajuan yang signifikan dalam pengendalian inflasi.
Powell juga menekankan bahwa bank sentral akan tetap fokus pada pemulihan ekonomi secara berkelanjutan dan menunggu data lebih lanjut mengenai inflasi dan pasar tenaga kerja.
Di luar AS, euro turut menguat terhadap dolar AS, naik 0,27 persen menjadi USD1,0388, setelah Presiden Bundesbank, Joachim Nagel, menyampaikan bahwa Bank Sentral Eropa (ECB) perlu melonggarkan kebijakan moneter secara bertahap dan tidak terburu-buru untuk mencapai tingkat "netral" suku bunga yang sulit didefinisikan.
Sementara itu, perhatian pasar juga beralih ke isu tarif yang diperkirakan akan diberlakukan oleh pemerintahan Donald Trump. Beberapa analis khawatir bahwa penerapan tarif tersebut dapat memperburuk tekanan inflasi, yang mungkin memperburuk situasi perekonomian global.
Pemerintahan Trump berencana untuk mengumumkan tarif timbal balik atas negara-negara yang mengenakan bea terhadap impor AS pada hari Kamis (13/2). Selain itu, Trump juga berencana menaikkan tarif atas impor baja dan aluminium hingga 25 persen yang akan berlaku mulai 4 Maret.
Secara keseluruhan, pasar sedang berada dalam fase ketidakpastian yang dipengaruhi oleh kombinasi data inflasi AS yang lebih tinggi, kebijakan suku bunga The Fed yang lebih hawkish, dan ketegangan terkait tarif perdagangan global.
Meskipun ada harapan bahwa biaya perumahan akan melambat pada akhir 2025, proyeksi untuk pemangkasan suku bunga tahun ini tetap terbuka, tergantung pada perkembangan inflasi dan faktor ekonomi lainnya.
Pada akhir perdagangan kemarin sore, nilai tukar rupiah berhasil menguat tipis terhadap dolar AS, dengan posisi menutup di Rp16.376 per dolar AS. Menguat sebesar 0,05 persen dibandingkan dengan nilai tukar pada sesi sebelumnya.
Pergerakan rupiah pada hari itu sempat mengalami fluktuasi, dimulai dengan pembukaan di angka Rp16.360. Seiring berjalannya waktu, rupiah sempat turun hingga mencapai Rp16.350, namun kembali menguat dan stabil di sekitar level Rp16.370 menjelang akhir perdagangan.
Menurut Hosianna Evalia Situmorang, Ekonom Bank Danamon, pergerakan ini terjadi akibat adanya aliran dana dari BUMN yang turut memberikan dukungan pada penguatan rupiah. Meskipun nilainya tidak bergerak drastis, penguatan tersebut mencerminkan dinamika pasar yang cenderung stabil meskipun ada beberapa ketidakpastian global. Dengan adanya fluktuasi yang terbatas dan dukungan aliran dana domestik, rupiah menunjukkan ketahanan terhadap tekanan dolar AS.(*)