Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Insentif Pajak Dinilai tak Tepat Sasaran, Manufaktur justru Terbebani!

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 14 February 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Insentif Pajak Dinilai tak Tepat Sasaran, Manufaktur justru Terbebani!

KABARBURSA.COM - Kebijakan insentif pajak yang selama ini digadang-gadang sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi justru dinilai timpang dan tidak tepat sasaran. 

Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyoroti bagaimana kebijakan ini lebih banyak dimanfaatkan oleh perusahaan yang sebenarnya tidak membutuhkannya.

“Banyak kebijakan insentif perpajakan ini implementasinya dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan yang paling sedikit pantas mendapatkannya. Insentif pajak seharusnya diberikan kepada industri yang sulit mencapai tingkat kompetitif ataupun kelayakan ekonomi tanpa adanya kelonggaran kebijakan, bukan kepada perusahaan-perusahaan yang tingkat profitabilitasnya sudah sangat mumpuni ketika tanpa diberikan insentif pajak sekalipun,” ujarnya kepada Kabarbursa.com, Jumat 14 Februari 2025.

Data menunjukkan bahwa sektor konstruksi, pertambangan, dan pertanian tergolong “under-taxed”, sementara sektor manufaktur justru mengalami beban pajak yang berlebihan.

Berdasarkan laporan DDTC mencatat bahwa sektor manufaktur menyumbang 18,3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia, tetapi harus menanggung 28,7 persen dari seluruh penerimaan pajak. Sebaliknya, sektor konstruksi dan pertambangan masing-masing menyumbang 9,8 persen dan 12,2 persen terhadap PDB, tetapi hanya dikenakan pajak sebesar 4,1 persen dan 8,3 persen.

“Padahal banyak perusahaan manufaktur, terutama manufaktur padat karya, saat ini berada di ujung tanduk untuk bertahan hidup dengan kondisi deindustrialisasi dini Indonesia saat ini,” lanjut Andri.

Pemerintah selama ini mengampanyekan hilirisasi sebagai solusi, tetapi menurut Andri, dampaknya sangat terbatas dan hanya berhasil pada komoditas tertentu seperti nikel. Faktor global lebih dominan dalam menentukan investasi ketimbang insentif pajak yang diberikan pemerintah.

“Kebijakan insentif pajak yang sama tidak berhasil menarik investasi hilirisasi di komoditas-komoditas lain yang dicanangkan mencapai 28 komoditas tersebut,” tambahnya.

Lebih lanjut, Andri menegaskan bahwa insentif pajak ini sering kali justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan besar yang seharusnya bisa memberikan kontribusi lebih besar. Sementara itu, perusahaan-perusahaan yang paling banyak berkontribusi terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja malah semakin diperas dengan beban pajak yang lebih berat.

“Ini adalah permasalahan utama kebijakan insentif pajak, karena treatment yang diberikan bisa sangat berbeda antar satu sama lain perusahaan, dan yang paling menikmati insentif tersebut kerap kali berasal dari mereka yang sangat besar potensi ceruk kontribusi pajaknya,” tutupnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa hingga saat ini, sebanyak 655 investor telah memanfaatkan berbagai insentif perpajakan yang diberikan pemerintah sebagai strategi untuk menarik modal ke dalam negeri. Menurutnya, kebijakan fiskal ini digunakan secara aktif untuk mendukung program pemerintah, meskipun di sisi lain belanja pajak berdampak pada penerimaan negara dan menambah beban pengeluaran pemerintah.

“Kami memberikan tax holiday kepada 221 wajib pajak dengan nilai investasi yang mereka tanamkan mencapai Rp421,94 triliun dan USD479 juta (periode 2011-November 2024),” ujarnya dalam Mandiri Investment Forum (MIF) 2025, Selasa 11 Februari 2025

Pemerintah juga memberikan tax holiday khusus bagi investor yang menanamkan modal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sepanjang 2021 hingga November 2024, sebanyak 60 Wajib Pajak (WP) Badan memanfaatkan insentif ini dengan total investasi mencapai Rp12,74 triliun. Secara keseluruhan, tax holiday menjadi insentif pajak yang paling banyak digunakan investor, dengan total 281 WP (umum dan KEK) sejak 2011 hingga November 2024.

Selain itu, terdapat pula tax allowance yang telah dimanfaatkan oleh 234 WP sepanjang 2007 hingga November 2024, dengan investasi yang masuk mencapai Rp90,35 triliun dan USD8,5 juta. Khusus di kawasan KEK, hanya ada 9 investor yang menggunakan tax allowance dengan total investasi Rp0,25 triliun.

“Kawasan ekonomi khusus yang juga menikmati tax allowance dan tax holiday juga menjadi daya tarik tersendiri bagi investasi,” lanjut Sri Mulyani.

Berdasarkan Laporan Belanja Perpajakan 2023, nilai belanja perpajakan untuk tax holiday di industri pionir mencapai Rp5,18 triliun. Insentif ini berupa pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) badan untuk penanaman modal baru pada 18 kelompok industri pionir, dengan pengurangan sebesar 50 persen atau 100 persen selama 5-20 tahun, tergantung nilai investasi. Sepanjang 2023, tercatat 20 WP Badan yang memanfaatkan tax holiday untuk investasi minimal Rp100 miliar.

Di sisi lain, untuk mendorong pengembangan sumber daya manusia, pemerintah memberikan super deduction tax bagi perusahaan yang berinvestasi dalam pelatihan tenaga kerja guna meningkatkan reskilling dan upskilling. Sejak diperkenalkan pada 2019 hingga November 2024, skema ini telah melibatkan 86.065 partisipan. Sementara itu, super deduction tax untuk penelitian dan pengembangan telah dimanfaatkan oleh 29 wajib pajak dengan total nilai manfaat mencapai Rp1,46 triliun.

Adapun skema insentif lain, yakni investment allowance yang diluncurkan sejak 2020, sejauh ini baru digunakan oleh 8 WP dengan realisasi investasi senilai Rp2,67 triliun dan USD18,6 juta. Tahun ini, pemerintah menargetkan belanja pajak sebesar Rp445,5 triliun sesuai Nota Keuangan RAPBN 2025, meskipun belum ada informasi terbaru mengenai belanja pajak dalam APBN 2025.

Di tengah upaya menarik investasi, Sri Mulyani mengakui bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memberikan arahan untuk meningkatkan penerimaan pajak guna membiayai belanja negara.

“Presiden sendiri mengarahkan kami untuk meningkatkan penerimaan pajak, terutama dalam menangani kebocoran, penggelapan, hingga penghindaran pajak,” ujarnya.

Sebagai langkah strategis, Kementerian Keuangan akan fokus pada integrasi data pajak, bea cukai, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) guna menciptakan sistem yang lebih efisien dan mengurangi beban administrasi bagi wajib pajak. Pemerintah juga berkomitmen memperkuat sistem perpajakan melalui reformasi yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), serta meningkatkan sistem digital seperti Coretax, Customs-Excise Information System and Automation (CEISA), dan Sistem Informasi Mineral dan Batubara (Simbara).

Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah akan terus mendorong peningkatan rasio pajak dengan menyesuaikan sistem perpajakan terhadap perkembangan digital dan kebijakan global, serta melakukan reformasi pengelolaan sumber daya alam dan aset negara. Meskipun demikian, ia mengakui masih banyak tantangan yang harus diselesaikan mengingat rasio perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih tergolong rendah.

“Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Kami sekarang berinvestasi di beberapa sistem seperti Cortex dan CEISA,” tuturnya.

Berdasarkan laporan sebelumnya, rasio perpajakan terhadap PDB pada 2024 tercatat hanya 10,08 persen, lebih rendah dibandingkan realisasi tahun sebelumnya yang mencapai 10,31 persen. Pemerintah pun terus berupaya menjadikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen yang efektif untuk mencapai kesejahteraan ekonomi, seiring dengan langkah-langkah penguatan kepatuhan dan perluasan basis pajak. (*)