KABARBURSA.COM – Kepala Badan Pelaksana Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), Erika Retnowati, menegaskan pengawasan distribusi elpiji 3 kg bukan bagian dari tugas BPH Migas. Jika pemerintah ingin menyerahkan tugas itu ke BPH Migas, kata dia, regulasi harus lebih dulu diperbaiki.
“Tidak ada kewenangan (BPH Migas) untuk mengawasi distribusi elpiji 3 kg. Jadi, jika memang ingin ditugaskan ke BPH Migas, regulasinya harus diperbaiki terlebih dahulu, sebagaimana yang sudah disampaikan oleh Pak Wamen ESDM,” kata Erika di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, 10 Februari 2025.
Ia mengatakan wacana ini sudah sampai ke pihaknya dan kajian regulasi tengah dilakukan bersama pemerintah. "Apakah pengawasan elpiji 3 kg akan menjadi tugas BPH Migas atau akan ada lembaga khusus yang menangani hal tersebut,” ujarnya.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya meminta BPH Migas ikut mengawasi distribusi elpiji 3 kg agar penyalurannya lebih tepat sasaran. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah memperketat sistem distribusi dan mengurangi potensi penyimpangan.
Namun, tanpa dasar hukum yang jelas, peran BPH Migas dalam pengawasan gas subsidi ini masih abu-abu. Kajian lebih lanjut diperlukan sebelum keputusan resmi diambil.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto, menyoroti kekacauan dalam distribusi elpiji 3 kg. Ia menilai agen dan pengecer masih belum menjalankan fungsinya dengan baik. “Jarak antara pengguna dengan agen sering kali diperantarai pengecer yang tidak memiliki aturan ketat dalam menjual,” kata Sugeng.
Menurutnya, pengecer seharusnya tidak bisa menjual LPG secara bebas tanpa regulasi yang jelas. Gas bersubsidi ini, kata Sugeng, idealnya hanya untuk masyarakat miskin. Namun, realitas di lapangan berbeda jauh.
Di minimarket, misalnya, LPG dijual bebas yang memungkinkan kelompok masyarakat mampu ikut membeli. Sugeng mengungkapkan adanya temuan di lapangan yang menunjukkan praktik tersebut, padahal seharusnya distribusi gas melon ini hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
Politisi Partai NasDem ini pun menegaskan regulasi ketat untuk pengecer sangat dibutuhkan. Tanpa aturan yang jelas, harga jual bisa melambung dan subsidi yang seharusnya untuk masyarakat miskin malah dinikmati oleh kelompok lain.
“Pengecer harus diatur dengan ketentuan yang jelas. Mereka tidak bisa sembarangan menentukan harga karena ini menyangkut subsidi yang sangat besar, yang mencapai Rp103 triliun hingga Rp113 triliun pada APBN 2024,” jelasnya.
Ia menambahkan, meskipun pendapatan per kapita Indonesia masih tergolong rendah, masyarakat masih sangat bergantung pada subsidi LPG. Selain LPG, subsidi juga diberikan untuk BBM seperti solar dan minyak tanah yang di beberapa daerah tetap dijual dengan harga subsidi.
Sebagai contoh, di wilayah timur Indonesia, harga minyak tanah tetap disubsidi Rp1.000 per liter untuk menjaga daya beli masyarakat. “Memang harga bisa fluktuatif, tetapi pemerintah tetap memberikan subsidi untuk menjaga daya beli masyarakat,” kata Sugeng.
Ke depan, ia berharap distribusi LPG dan bentuk subsidi lainnya bisa lebih terkontrol. Menurutnya, pemerintah perlu melibatkan banyak pihak agar bantuan yang diberikan benar-benar sampai ke masyarakat yang paling membutuhkan.
[caption id="attachment_117700" align="alignnone" width="680"] Pemilik Warung mengangkat Tabung Gas Melon 3Kg yang kosong di Pasar Minggu, Selasa, 4 Februari 2025. Setelah langkah beberapa hari, sesuai instruksi Presiden Gas 3 Kg sudah di jual kembali hari ini. Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji.[/caption]
Juli 2024 lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga menyoroti permasalahan serupa—penyaluran elpiji 3 kg yang tidak tepat sasaran meskipun subsidi yang digelontorkan pemerintah mencapai ratusan triliun rupiah.
Ketua KPPU, M Fanshurullah Asa, mengungkapkan sejak 2019 hingga 2024, total subsidi elpiji mencapai sekitar Rp460 triliun, tetapi banyak masyarakat masih harus membeli di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah daerah.
"Selama lima tahun terakhir, 2019-2024, total penggunaan APBN untuk elpiji 3 kilogram mencapai sekitar Rp460 triliun, menurut data KPPU. Namun, menurut kami, penetapan HET oleh Gubernur dan Wali Kota di berbagai daerah mayoritas tidak terjadi. Artinya, subsidi tersebut tidak tepat sasaran,” kata Fanshurullah dalam jumpa pers 100 hari kerja KPPU di Jakarta pada Rabu, 3 Juli 2024.
Selain itu, konsumsi gas selama lima tahun terakhir terus meningkat, dengan rata-rata pertumbuhan 3,3 persen per tahun dan mencapai 8,07 juta ton pada 2023. Namun, yang lebih mengkhawatirkan, 77 persen dari total subsidi gas senilai Rp373 triliun pada periode 2019-2023 justru digunakan untuk impor elpiji, yang nilainya mencapai Rp288 triliun. Fanshurullah menilai, ketergantungan tinggi terhadap impor ini merupakan masalah serius.
Lebih lanjut, ia menyoroti anggaran subsidi gas yang begitu besar sebenarnya bisa dialihkan ke program jaringan gas (Jargas) yang lebih berkelanjutan dan ekonomis bagi masyarakat. Jika setengah dari total subsidi elpiji digunakan untuk membangun 23 juta sambungan rumah Jargas, hampir 100 juta orang bisa menikmati harga gas yang lebih terjangkau.
“Jika dalam lima tahun ini sudah Rp830 triliun, dengan subsidi sebesar Rp51 triliun pada 2019 saja, apa yang akan terjadi dalam lima tahun ke depan?,” ujarnya. Ia pun menegaskan diperlukan kepemimpinan yang kuat untuk mengalihkan subsidi gas menuju infrastruktur yang lebih berkelanjutan.(*)