KABARBURSA.COM - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang dipicu oleh kebijakan tarif impor Presiden AS Donald Trump, memberikan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor. Head of Industry and Regional Research Bank Permata Adjie Harisandi, menilai beberapa sektor industri nasional bisa mendapatkan keuntungan dari situasi ini.
Adjie menjelaskan, pada 2018, ketika perang dagang pertama kali terjadi, sektor tekstil dan alas kaki di Indonesia mengalami peningkatan ekspor ke AS. Menurut dia, kedua komoditas tersebut mendapatkan keuntungan karena meningkatnya permintaan dari AS lantaran pemberlakuan pembatasan impor dari China.
"Kalau kita lihat trade war kali ini, sebetulnya Indonesia cenderung diuntungkan. Ada beberapa sektor yang justru mendapatkan keuntungan dari adanya trade war di tahun itu. Sebagai contoh tekstil dan alas kaki. Dari dua sektor itu kita mendapatkan banyak keuntungan karena ekspor begitu derasnya ke Amerika Serikat," ujar Adjie dalam konferensi pers Permata Institute for Economics Research (PIER) Economics Review: FY 2024, Senin 10 Februari 2025.
Lebih lanjut, Indonesia berpotensi menggantikan posisi produsen dari negara-negara yang terkena kebijakan tarif impor tersebut, terutama China. Dengan adanya hambatan perdagangan bagi China, Indonesia memiliki peluang untuk mengisi kebutuhan pasar AS yang sebelumnya dipenuhi oleh produk-produk China.
"Karena yang pasti, jelas dikenakan oleh trade war itu adalah China dan China yang merupakan produsen berbagai barang ke Amerika Serikat. Dan mungkin kita bisa me-replace sebagian apa yang diproduksi China ke Amerika Serikat. Dan ini memang sudah terbukti di tahun 2018, di mana kita berhasil mendapatkan market share," jelasnya.
Adjie juga berharap, ke depan Indonesia tidak terdampak kebijakan tarif impor AS sehingga bisa terus memanfaatkan peluang dari perang dagang ini.
"Dan memang ke depannya, kalau kita lihat ekspektasinya semoga Indonesia tidak terlalu terkena tarif dari Amerika Serikat. Tapi dengan demikian, maka Indonesia bisa gain dari adanya trade war ini sebetulnya," tambahnya.
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia tengah menghadapi tantangan berat yang berpotensi terus berlanjut hingga tahun 2025 jika tidak ada kebijakan yang tepat dari pemerintah. Asosiasi Produsen Serat Benang, dan Filamen Indonesia (APSyFI) mengungkapkan bahwa tekanan terhadap sektor ini telah berlangsung sejak kuartal III 2022 dan memuncak dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang 2023. Namun, hingga kini, langkah konkret dari pemerintah untuk menyelamatkan industri ini dinilai belum terlihat.
Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wiraswasta, menilai bahwa pemerintah sebenarnya sudah menyadari keterpurukan sektor TPT, tetapi tidak segera mengambil tindakan tegas untuk melindungi industri dalam negeri. Banyak pabrik telah menghentikan operasionalnya dan merumahkan pekerjanya akibat lesunya permintaan dan derasnya arus barang impor.
Situasi ini diperparah dengan maraknya importasi ilegal yang semakin menggerus daya saing produk lokal di pasar domestik.
Tak hanya itu, wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 juga diprediksi akan semakin membebani industri TPT. Peningkatan beban pajak ini dikhawatirkan akan menghambat pemulihan daya beli masyarakat yang selama ini menjadi salah satu motor utama industri tekstil.
Ditambah lagi, ketegangan geopolitik global telah memperburuk situasi dengan meningkatnya perang dagang yang membuat produk asal China membanjiri pasar Indonesia. Akibatnya, produsen dalam negeri semakin terdesak dan kesulitan bersaing dengan harga murah yang ditawarkan produk impor.
Menurut Redma, jika pemerintah memiliki ambisi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, maka sektor manufaktur dan pertanian seharusnya menjadi prioritas utama dalam kebijakan ekonomi nasional. Kedua sektor ini merupakan tulang punggung lapangan kerja dan memiliki peran strategis dalam menopang perekonomian nasional.
Namun, selama impor ilegal masih dibiarkan merajalela dan tidak ada kebijakan yang jelas untuk membatasi arus barang dari luar negeri, industri dalam negeri, termasuk sektor tekstil, akan terus mengalami penurunan.
Keberlanjutan industri TPT bukan hanya soal angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga terkait dengan stabilitas sosial dan ketahanan ekonomi nasional. Jika gelombang PHK terus terjadi, maka dampak jangka panjangnya bisa lebih luas, termasuk meningkatnya angka pengangguran dan melemahnya daya beli masyarakat.
Oleh karena itu, kebijakan proteksi industri dalam negeri harus menjadi fokus utama, bukan hanya sekadar mengejar angka pertumbuhan yang bersifat semu akibat dominasi produk impor ilegal.
Tahun 2025 akan menjadi titik kritis bagi industri tekstil Indonesia. Tanpa intervensi yang jelas dan tegas dari pemerintah dalam mengendalikan impor serta mencegah praktik perdagangan ilegal, bukan tidak mungkin industri TPT akan semakin terpuruk dan kehilangan daya saingnya secara permanen.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.