KABARBURSA.COM - Pengamat BUMN Herry Gunawan menilai revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang mencantumkan klausul Business Judgment Rule (BJR), dapat mendorong percepatan transformasi perusahaan pelat merah. Ia sepakat aturan ini memberi keleluasaan bagi direksi dalam mengambil keputusan bisnis tanpa khawatir terjerat persoalan hukum.
Herry pun berujar penguatan kebijakan BJR dalam revisi ini merupakan langkah positif yang layak didukung. "Jangan sampai urusan korporasi yang telah dilakukan berdasarkan pertimbangan bisnis justru berujung pada kriminalisasi. Jika kemudian perusahaan mengalami kerugian, bisa jadi itu karena faktor eksternal dan bukan akibat kelalaian manajemen,” ujar Herry kepada KabarBursa.com di Jakarta, Jumat, 7 Febuari 2025.
Meski begitu, ia menyoroti pentingnya konsistensi dalam penerapan aturan ini. Herry menyinggung kasus mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, yang sempat dinyatakan tidak bersalah dalam perkara pembelian blok gas alam di Australia karena menerapkan BJR. Namun, dalam kasus lain yang serupa, yakni soal pembelian gas, Karen kembali ditetapkan sebagai tersangka. Herry menilai kasus ini mencerminkan ketidak konsistenan dalam penerapan hukum.
"Jika memang prinsip BJR diakui sebagai bagian dari tata kelola bisnis, maka tidak seharusnya direksi yang mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan bisnis yang matang justru dikriminalisasi,” jelasnya.
Ketentuan BJR tercantum dalam rancangan Pasal 3Z yang mengatur bahwa Menteri, organ, dan pejabat Badan tidak dapat dimintai ganti rugi atas kerugian penanaman modal. Rumusan aturan ini mengalami perubahan dari ketentuan sebelumnya, yang semula menyebutkan Menteri, pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan, serta organ dan pegawai di lingkungan lembaga tersebut, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum atas kerugian penanaman modal apabila dapat dibuktikan.
Perubahan terbaru menghilangkan frasa "pejabat Kementerian Keuangan" dan mengganti frasa "tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum" menjadi "tidak dapat dimintai ganti rugi". Selain itu, frasa "dapat dibuktikan" juga dihapus karena kewenangan dan mekanisme pembuktian harus dilakukan melalui pengadilan.
Ketentuan BJR dalam revisi UU BUMN juga diperkuat melalui perubahan Pasal 9F ayat 1 dan 2. Pada ayat 1, frasa "dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum" diubah menjadi "tidak dapat dimintai ganti rugi atas kerugian penanaman modal apabila: ..."
Selain itu, ketentuan sebelumnya yang berbunyi "Anggota Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum atas kerugian BUMN apabila tidak dapat membuktikannya" kini diubah menjadi "Anggota Dewan Direksi tidak dapat dimintai kompensasi atas kerugian investasi jika:.."
Perubahan serupa juga terjadi pada Pasal 9F ayat 2, yang mengubah frasa "tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum" menjadi "tidak dapat dimintai ganti rugi atas kerugian penanaman modal". Jika sebelumnya aturan menyebutkan "Anggota Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas BUMN dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum atas kerugian BUMN apabila tidak dapat membuktikannya", kini ketentuan tersebut diperbarui menjadi "perlindungan bagi direktur yang membuat keputusan bisnis agar dilindungi dari tuntutan hukum atas konsekuensi pengambilan keputusan bisnis."
Herry menilai penerapan BJR ini akan mendukung percepatan transformasi BUMN. Dengan adanya kepastian hukum, manajemen BUMN dapat lebih berani mengambil langkah ekspansif tanpa terbebani kekhawatiran hukum yang berlebihan.
Namun, ia mengingatkan perlindungan hukum ini tetap memiliki batasan. Jika prosedur bisnis tidak dijalankan sesuai aturan yang berlaku—baik dari regulator maupun kebijakan internal perusahaan—maka direksi tetap dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
“Dalam UU Perseroan Terbatas (UU PT), Pasal 97 sudah mengatur bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila mereka terbukti bersalah atau lalai menjalankan tugasnya,” jelas Herry.
Dengan adanya revisi UU BUMN ini, Herry berharap ke depan tidak ada lagi keraguan dalam pengambilan keputusan strategis di lingkungan BUMN. Namun, ia mengingatkan pengawasan tetap diperlukan untuk memastikan prinsip BJR tidak disalahgunakan sebagai tameng untuk tindakan yang merugikan negara.
“BJR bukan berarti kebal hukum, tetapi memastikan bahwa setiap keputusan bisnis yang diambil direksi berdasarkan prinsip kehati-hatian tidak akan dikriminalisasi. Ini penting untuk menciptakan iklim investasi yang lebih sehat bagi BUMN,” kata Herry.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio, sebelumnya juga menegaskan penerapan BJR dalam revisi ini bukan berarti direksi BUMN bisa leha-leha tanpa tanggung jawab. Jika ada kelalaian atau pelanggaran, kata Eko, tetap akan terkena sanksi hukum. Dengan kata lain, aturan ini lebih semacam memberikan ruang gerak, bukan jadi tameng buat lepas tangan.
"Perlindungan yang diberikan BJR bukan berarti direksi bebas dari tanggung jawab. Jika ada kelalaian atau pelanggaran, tetap akan ditindak," kata Eko.(*)