Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Trump Tekan Rusia Lewat Harga Minyak, Mungkinkah Berhasil?

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 04 February 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Trump Tekan Rusia Lewat Harga Minyak, Mungkinkah Berhasil?

KABARBURSA.COM - Beberapa pekan terakhir, Presiden Amerika Serikat Donald Trump gencar menyuarakan satu hal, yakni harga minyak yang tinggi bikin Rusia makin nyaman perang di Ukraina. Menurutnya, jika pendapatan energi Moskow dicekik, Kremlin bakal lebih mudah diajak kompromi dalam perundingan damai.

Buat mewujudkan itu, Trump tak cuma menetapkan keadaan darurat energi di AS buat mendongkrak produksi minyak dan gas. Dia juga mengajak OPEC—kartel minyak yang dikomandoi Arab Saudi—buat menurunkan harga minyak. “Harga minyak sekarang masih cukup tinggi buat bikin perang ini terus berlanjut. Turunin harga minyak, perang selesai,” kata Trump pada 24 Januari.

“Salah satu cara tercepat buat menghentikan perang ini, OPEC stop cari untung gede. Mereka harusnya menurunkan harga minyak, dan perang ini bakal langsung kelar,” katanya lagi.

Tapi OPEC+—yang di dalamnya ada Rusia—tak langsung tunduk. Dalam pertemuan pertama setelah pernyataan Trump, mereka tetap berpegang pada rencana yang sudah disepakati, yakni menahan pasokan minyak di kuartal pertama sebelum mulai menambah produksi pada April 2025. Artinya, tekanan Trump sejauh ini belum berefek. Tapi, siapa tahu ke depan bisa berubah.

Dilansir dari The Moscow Times di Jakarta, Selasa, 4 Februari, energi adalah jantung ekspor Rusia dan sumber utama pendapatan devisa mereka. Sanksi Barat udah bikin ekspor gas Rusia tersendat karena ada penyumbatan jalur pipa yang bikin Moskow susah alihkan pasokan ke negara lain, khususnya China.

Tapi, ekspor minyak mereka masih aman. Lebih dari 60 persen pengiriman energi Rusia berasal dari minyak yang sebagian besar dikapalkan lewat laut. Rusia bahkan sukses mengalihkan ekspor minyak dari Eropa ke India dan China. Meski jalur ini lebih mahal karena perjalanan lebih jauh dan pakai armada bayangan buat menghindari sanksi, mereka tetap bisa jualan.

Strategi sanksi Barat sejauh ini bukan buat memutus total pasokan minyak Rusia, melainkan bikin mereka lebih banyak keluar uang dan untungnya tergerus. Rusia masih boleh jual minyaknya di pasar global dalam kondisi tertentu, beda dengan Iran yang kena larangan total.

Masalahnya, Rusia punya pengaruh besar di pasar energi. Kalau tiba-tiba minyak mereka disanksi total, harga bisa melonjak liar, dan itu justru bertolak belakang dengan misi Trump yang pengin energi lebih murah.

“Kalau gak ada yang bisa ganti volume minyak Rusia, keseimbangan pasokan bakal terganggu, harga naik, dan itu kebalikan dari yang Trump inginkan,” kata Kepala Strategi Komoditas Global JPMorgan, Natasha Kaneva.

Proyeksi Harga Minyak di 2025

Saat ini, harga minyak mentah Brent diperkirakan bakal rata-rata USD74 per barel (sekitar Rp1,18 juta) sepanjang 2025, lebih rendah dibandingkan USD81 per barel (sekitar Rp1,3 juta) pada 2024. Proyeksi ini datang dari Badan Informasi Energi AS (EIA) yang dirilis 21 Januari, setelah Trump terpilih lagi dan mulai ngotot soal produksi minyak dan gas.

Harga USD70 per barel (sekitar Rp1,12 juta) masih cukup buat Rusia meraup untung, meskipun minyak Rusia jenis Urals biasanya dijual lebih murah dari Brent. Pemerintah Rusia sendiri memprediksi bakal menjual minyaknya dengan harga rata-rata USD69,7 per barel (sekitar Rp1,11 juta) di 2025.

Jadi, kalau harga minyak turun, ekonomi Rusia tak bakal langsung rontok. Tapi, pendapatan negara mereka bakal tergerus. Setiap penurunan USD10 per barel (sekitar Rp160.000) bisa bikin mereka kehilangan USD17 miliar (sekitar Rp272 triliun) dalam setahun—sekitar 4 persen dari total ekspor Rusia yang mencapai USD425,1 miliar (sekitar Rp6.801,6 triliun) pada 2023.

Bisakah Pendapatan Minyak Rusia Tenggelam?

Secara teori, AS tak punya cukup ruang buat menggenjot produksi minyak dalam waktu dekat. Menurut analis seperti Sergei Vakulenko dan Paul Sankey, jika cuma mengandalkan produksi domestik, dampaknya ke harga minyak global bakal minim.

Tapi beda cerita kalau OPEC, terutama Arab Saudi, ikut main tangan. Mereka punya kapasitas cadangan lebih dari 2 juta barel per hari yang bisa langsung dilepas ke pasar buat mendorong harga turun. Kalau minyak murah membanjiri pasar, sebagian besar minyak Rusia bisa tersingkir. Masalahnya, apakah AS punya cukup pengaruh buat bikin skenario ini jadi kenyataan?

Bisakah AS dan OPEC Kompak?

Pertama, harga minyak yang ideal buat industri pengeboran minyak di AS ada di kisaran USD60 per barel (sekitar Rp960.000). “Kami perkirakan kalau harga minyak di level USD60, produksi AS bakal stagnan. Kalau turun ke USD50 (sekitar Rp800.000), produksi pasti menyusut,” kata menurut analis JP Morgan, Natasha Kaneva.

Dia menambahkan, rencana Trump kemungkinan adalah melonggarkan regulasi industri minyak supaya AS bisa tetap produksi besar-besaran meskipun harga lagi anjlok. Tapi, hasil dari strategi ini tak bakal langsung kelihatan, melainkan butuh waktu bertahun-tahun.

Kedua, Arab Saudi dan negara OPEC lainnya juga punya pertimbangan sendiri. Meski mereka bisa menurunkan harga buat merebut pangsa pasar lebih besar, itu bukan pilihan gampang karena mereka juga butuh harga minyak tinggi buat menutup anggaran negara. Saudi, misalnya, butuh harga minyak sekitar USD90 per barel (sekitar Rp1,44 juta) supaya keuangan negaranya tetap stabil tanpa defisit.

Analis pasar energi, Rachel Ziemba, berpendapat kalau OPEC tak bakal gegabah menurunkan harga hanya buat menyenangkanTrump. Sebaliknya, mereka bakal menunggu apakah ada gangguan nyata di pasar akibat upaya menggantikan suplai minyak Iran dan Rusia. Dalam jangka panjang, OPEC tetap butuh Rusia di dalam kesepakatan OPEC+, jadi mereka tak bakal sembarangan bikin langkah yang bisa memperlemah Moskow.

Di luar soal ekonomi, ada unsur politik kenapa negara-negara Teluk tak buru-buru tunduk pada kemauan Trump. OPEC mungkin tak mau membuka preseden di mana negara produsen minyak besar—dalam hal ini Rusia—terpaksa menjual minyaknya murah sesuai aturan Barat. Kalau ini terjadi, skenario yang sama bisa diterapkan ke mereka di kemudian hari.

Sergei Vakulenko mencontohkan, AS bisa saja nanti menghidupkan lagi Undang-Undang No Oil Producing and Exporting Cartels Act (NOPEC) buat menekan harga minyak dari negara Teluk. Kalau itu terjadi, giliran Arab Saudi dan sekutunya yang bakal dipaksa jual murah minyaknya. Singkatnya, kalaupun Trump punya niat menjegal pendapatan minyak Rusia, jalannya tak bakal mulus. Selain faktor ekonomi, ada kepentingan geopolitik yang bikin OPEC tak bisa asal tunduk.(*)