Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Uni Eropa dan Moldova Sepakat Lepas Ketergantungan dari Energi Rusia

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 04 February 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Uni Eropa dan Moldova Sepakat Lepas Ketergantungan dari Energi Rusia

KABARBURSA.COM - Uni Eropa dan Moldova resmi mengamankan kesepakatan baru soal keamanan energi pada Selasa, 4 Februari 2025. Targetnya ambisiusnya adalah memutus ketergantungan Moldova pada pasokan energi dari Rusia dan mengintegrasikannya ke dalam jaringan energi 27 negara Uni Eropa.

Komisi Eropa, sebagai eksekutif Uni Eropa, mengumumkan Moldova bakal menerima dana segar sebesar 250 juta euro (sekitar Rp4,1 triliun) tahun ini. Dari jumlah itu, 40 persen bakal dicairkan sebelum pertengahan April. Dana ini turun setelah raksasa energi Rusia, Gazprom, menghentikan pasokan gasnya sejak 1 Januari.

Dampaknya adalah Moldova terpaksa menjatah listrik harian, terutama setelah ratusan ribu warga di wilayah separatis pro-Rusia, Transnistria, ditinggalkan tanpa pemanas dan air panas bulan lalu. Masalahnya berawal dari tagihan energi sebesar USD709 juta yang belum dibayar Moldova, setidaknya menurut klaim Gazprom.

Dilansir dari AP di Jakarta, Selasa, Keputusan Gazprom untuk menutup keran gas terjadi hanya sehari setelah perjanjian transit gas antara Rusia dan Ukraina kedaluwarsa. Dampaknya langsung terasa di Pembangkit Listrik Kuciurgan yang dioperasikan dengan gas di Transnistria. Padahal, ini adalah sumber utama listrik Moldova.

Uni Eropa menyatakan dana bantuan ini tidak hanya untuk menopang ekonomi Moldova—yang saat ini berstatus kandidat anggota UE—tetapi juga langsung menyasar konsumen yang terdampak melonjaknya biaya listrik. Sekitar 60 juta euro (sekitar Rp1 triliun) bakal dialokasikan bagi 350 ribu orang di Transnistria yang terkena imbas pemutusan gas.

Moldova, bekas republik Soviet dengan populasi sekitar 2,5 juta jiwa, dulunya sangat bergantung pada pasokan gas dari Rusia, terutama setelah Moskow menginvasi Ukraina pada 2022. Namun, sejak itu Moldova aktif mencari cara untuk mendiversifikasi sumber energinya.

Di sisi lain, perang di Ukraina juga memaksa Uni Eropa mengurangi ketergantungannya pada impor energi dari Rusia. Dengan kesepakatan baru ini, Moldova makin menunjukkan keinginannya untuk bergeser ke orbit Barat, sebuah keputusan yang tentu saja bikin Moskow tidak senang.

Transnistria sendiri, wilayah separatis yang memisahkan diri dari Moldova sejak perang singkat pada 1992, hingga kini tidak banyak mendapat pengakuan internasional. Namun, bagi Rusia, wilayah ini masih menjadi kartu penting dalam upaya mempertahankan pengaruhnya di Eropa Timur.

Dampak ke Harga Gas Dunia

Pemutusan hubungan energi antara Moldova dan Rusia bukan hanya sekadar langkah politik, tetapi juga mencerminkan dinamika global yang lebih luas dalam sektor energi. Ketika Moldova berupaya mengintegrasikan diri ke dalam jaringan energi Uni Eropa, pasar energi internasional ikut merespons, terutama di sektor gas alam.

Dengan terhentinya pasokan gas dari Gazprom, ketidakseimbangan suplai dan permintaan pun terjadi yang pada akhirnya berdampak pada harga Liquefied Natural Gas (LNG) di pasar global. Hal ini ditegaskan oleh Pengamat Ekonomi dan Pasar Uang Ibrahim Assuabi yang memperkirakan lonjakan harga LNG akan berimbas ke sektor energi di luar Eropa.

Berdasarkan data Trading Economics, Kontrak berjangka gas alam di Amerika Serikat turun lebih dari 3 persen menjadi USD3,23 per MMBtu (sekitar Rp51.680) pada Selasa hari ini, setelah sebelumnya melonjak 10,1 persen pada Senin. Penurunan ini terjadi setelah Presiden Trump menunda penerapan tarif terhadap Kanada dan Meksiko selama satu bulan, menyusul kesepakatan terkait penegakan perbatasan.

Di sisi lain, China memberlakukan tarif balasan, seperti bea masuk 15 persen untuk batu bara dan LNG dari AS yang meningkatkan kekhawatiran akan eskalasi perang dagang. Kebijakan ini berpotensi mengganggu perdagangan LNG antara importir dan eksportir terbesar di dunia.

Dalam konteks tersebut, Indonesia sebagai salah satu produsen gas alam terbesar di Asia Tenggara memiliki potensi untuk mengambil manfaat dari lonjakan permintaan global. Menurut Ibrahim, Indonesia berada dalam posisi yang cukup kuat di tengah ketidakpastian pasar energi dunia.

“Karena Indonesia sendiri mempunyai cadangan gas alam terbesar di Asia Tenggara yang sampai saat ini masih bisa di eksplorasi secara maksimal,” ujar Ibrahim melalui panggilan suara kepada KabarBursa.com.

Meski perkiraan permintaan global begitu kuat, Ibrahim mengingatkan pemerintah untuk memprioritaskan kebutuhan energi domestik. Misalnya, kata dia, pemerintah mulai melakukan percepatan pengembangan gas alam untuk mendukung ketahanan energi di masa depan. Menurutnya, pemerintah harus segera mengekplorasi dan memanfaatkan lapangan gas yang telah dipetakan sejak lama.

“Pengembangan gas pada lapangan yang sudah dipetakan ini harus segera dipercepat. Kenapa? Karena ke depan dunia, baik global maupun internal, kemungkinan besar akan merubah pembangkit listriknya. Bukan lagi dengan pembangkit listrik tenaga uap, tetapi menggunakan energi baru terbarukan,” jelas Ibrahim.

Ibrahim mengatakan Indonesia memiliki potensi besar karena menjadi salah satu negara dengan cadangan gas alam terbesar di ASEAN. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), cadangan gas bumi Indonesia sebesar 55,76 triliun kaki kubik (TCF). Dengan asumsi recovery sekitar 40-50 persen, maka cadangan gas bumi Indonesia diperkirakan akan habis dalam waktu 22 tahun.

Ibrahim berujar, melimpahnya gas alam tersebut menjadi komoditas andalan yang mendukung neraca perdagangan Indonesia, menggantikan peran ekspor minyak sawit mentah (CPO) seperti yang terjadi pada masa pandemi Covid-19 lalu.(*)