KABARBURSA.COM – Ekonom Bright Institute menyoroti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Bank Indonesia (BI). Meski dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) disebutkan bahwa laporan keuangan BI masih bernilai wajar, Bright Institute menilai ada indikasi kelemahan sistemik yang belum sepenuhnya diungkap.
Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana menilai bahwa temuan BPK terhadap BI seolah-olah bukan masalah besar, namun jika dicermati lebih dalam, ada indikasi kelemahan pengendalian yang cukup serius.
“Temuan kelemahan-kelemahan pengendalian oleh BPK ini sebenarnya mengindikasikan adanya kelemahan sistemik yang tidak dibesarkan karena faktor hubungan relasi kuasa antara auditor dengan pihak-pihak yang terlibat,” ujarnya kepada Kabarbursa.com melalui telepon di Jakarta, Rabu 5 Februari 2025.
Menurut Andri, auditor BPK sebenarnya memiliki kompetensi dan profesionalisme yang tinggi. Secara teknokratis, mereka selalu mencantumkan temuan dalam laporan kepatuhan atau IHPS selama masih memungkinkan. Namun, faktor non-teknokratis di luar proses audit sering kali membuat auditor memilih bermain aman, dengan tetap memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
“Temuan-temuan tersebut dianggap tidak berhubungan dengan standar kewajaran, sehingga laporan tetap diberi opini wajar meskipun ada indikasi masalah,” tambahnya.
Beberapa temuan penting BPK di BI antara lain mencakup kelemahan dalam penilaian aset dan atribusi harga perolehan, pengendalian perhitungan pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM), serta penyelenggaraan operasional BI-FAST yang dinilai belum memadai. Selain itu, ditemukan kelemahan dalam proses pengadaan dan pelaksanaan kontrak di BI, serta kelalaian dalam pemungutan pajak sebesar Rp7,80 miliar dan keterlambatan penyetoran PPN serta PPh ke kas negara sebesar Rp728 juta.
Andri menambahkan bahwa temuan tersebut baru mencakup aspek yang masih bisa dilaporkan secara resmi.
“Ada kemungkinan besar temuan-temuan lain yang skalanya jauh lebih serius tidak diungkapkan dalam laporan tersebut,” ujarnya.
Ia mencontohkan indikasi penyelewengan dana Corporate Social Responsibility (CSR) BI yang diduga melibatkan anggota Komisi XI DPR dan anggota BPK sendiri.
“Dari kasus ini, terlihat bagaimana relasi kuasa dan kepentingan antar lembaga membatasi auditor BPK dalam mengemukakan temuan secara lebih serius,” jelasnya.
Lebih lanjut, Andri menilai bahwa temuan-temuan BPK terhadap BI sebenarnya sangat potensial untuk dieksplorasi lebih dalam. Namun, secara desain, laporan hasil pemeriksaan BPK, khususnya terhadap BI, memang tidak dirancang untuk terlalu didengungkan ke publik.
“Jika kita bicara tentang pengaruh terhadap persepsi publik atau kepercayaan masyarakat, temuan BPK terhadap lembaga negara seperti BI hampir tidak pernah menjadi isu dalam diskursus publik,” katanya.
Menurutnya, bahkan di parlemen sebagai lembaga pengawas, temuan-temuan ini jarang diangkat sebagai isu penting.
“Jangankan dalam kesadaran publik, di parlemen sendiri temuan BPK terhadap BI jarang dibahas secara serius,” tegas Andri.
Ia menyimpulkan bahwa pola ini mencerminkan adanya sistem pengawasan yang belum optimal, di mana relasi kuasa dan kepentingan politik sering kali mengaburkan transparansi yang seharusnya menjadi fondasi dalam pengelolaan keuangan negara.
Sebelumnya kabarbursa.com berupaya mengkonfirmasi pihak Bank Indonesia terkait hasil audit BPK tersebut, namun hingga berita ini ditayangkan belum ada respon dari pihak terkait.
Bank Indonesia (BI) menyambut baik raihan sebagai Lembaga tipe Besar dengan indeks tertinggi tingkat nasional pada Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso, menyatakan bahwa penghargaan ini merupakan bukti nyata kepercayaan publik terhadap komitmen BI dalam menjaga integritas dan transparansi.
“Penghargaan ini menjadi wujud kepercayaan publik atas komitmen BI dalam menjaga integritas dan transparansi sebagai bagian dari tata kelola yang baik (good governance),” ujarnya dalam Siaran Pers Bank Indonesia, Jumat 24 Januari 2025.
Dari hasil survei, Bank Indonesia mencatatkan indeks SPI tertinggi sebesar 86,71 persen, jauh di atas rata-rata kategori Lembaga tipe Besar sebesar 78,40 persen, serta rata-rata indeks SPI nasional yang berada di angka 71,53 persen. Predikat ini sekaligus menjadikan BI sebagai Lembaga tipe Besar dengan indeks SPI tertinggi selama empat tahun berturut-turut sejak 2021.
Bank Indonesia memandang pencapaian ini sebagai dorongan untuk terus memperkuat budaya integritas di seluruh lini organisasi.
“Penghargaan ini merupakan wujud komitmen kami untuk terus menjaga budaya integritas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, demi menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional,” tambah Ramdan.
Dalam pelaksanaannya, melalui SPI, KPK memetakan capaian praktik pemberantasan korupsi yang dilakukan Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah (K/L/PD) dalam penguatan sistem integritas. Survei ini menilai berbagai dimensi, seperti pengelolaan pengadaan barang dan jasa, anggaran, sumber daya manusia, transparansi layanan, hingga upaya pencegahan dan sosialisasi antikorupsi.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.