KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa luas panen padi pada 2024 tercatat 10,05 juta hektar, mengalami penurunan sebesar 0,17 juta hektar dibandingkan tahun 2023. Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa pada Desember 2024, luas panen padi tercatat 0,36 juta hektar, sedikit lebih tinggi dibandingkan Desember 2023 yang sebesar 0,35 juta hektar.
"Penurunan tersebut utamanya disebabkan oleh pengurangan luas panen pada Sub Round 1 atau Januari-April 2024, akibat dampak fenomena El Nino pada semester II 2023," ujar Amalia di Jakarta, dikutip Selasa 4 Februari 2025.
Meski ada penurunan, Amalia menjelaskan bahwa hal tersebut dapat tertutupi oleh peningkatan luas panen pada Sub Round 2 (Mei-Agustus) dan Sub Round 3 (September-Desember 2024). Pada Desember 2024, BPS memprediksi bahwa potensi luas panen padi pada Januari hingga Maret 2025 akan mencapai 2,83 juta hektar, meningkat sekitar 0,97 juta hektar atau 52,08 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2024.
"Kami dapat sampaikan bahwa angka ini merupakan potensi luas panen padi, dan realisasi nantinya bisa lebih tinggi atau lebih rendah tergantung pada kondisi pertanaman padi pada Januari-Maret tahun ini," kata Amalia.
Secara geografis, sekitar 50,20 persen dari total luas panen padi nasional pada 2024 berada di Pulau Jawa. Lima provinsi dengan luas panen terbesar sepanjang tahun tersebut adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Lampung. Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menjadi penyumbang utama penurunan luas panen pada 2024.
Dalam hal produksi, sekitar 54,19 persen dari total produksi padi nasional pada 2024 juga berasal dari Pulau Jawa, dengan lima provinsi utama yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan. Produksi beras untuk konsumsi pangan pada Desember 2024 tercatat mencapai 1,15 juta ton, lebih tinggi dibandingkan dengan Desember 2023. Total produksi beras sepanjang 2024 mencapai 30,62 juta ton.
Amalia menambahkan bahwa penurunan produksi beras pada 2024 terutama disebabkan oleh pengurangan hasil pada Sub Round 1 akibat fenomena El Nino yang berkepanjangan. Namun, penurunan tersebut berhasil terkompensasi dengan peningkatan produksi pada Sub Round 2 dan Sub Round 3.
Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky, menilai swasembada pangan tidak terbatas hanya pada apa yang disampaikan oleh Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman, terkait produksi pangan.
Dalam sebuah diskusi, Mentan mengatakan bahwa swasembada pangan dapat diwujudkan melalui beberapa program, yakni cetak 3 juta hektare sawah dalam 3-4 tahun, pompanisasi, optimalisasi lahan, rehabilitasi jaringan irigasi tertier dan dukungan alat, serta mesin pertanian guna mempercepat proses tanam hingga panen.
Awalil mengatakan, swasembada pangan bukan hanya soalan produksi melebihi konsumsi, melainkan harus diperluas terkait dengan kesejahteraan petani, akses semua orang kepada kecukupan pangan dan kedaulatan pangan.
“Aspek ketahanan pangan itu tidak hanya jumlah total memenuhi konsumsi total, tapi tiap individu. Hampir setiap individu di suatau negara itu terpenuhi gizi dan nutrisinya sehingga bisa sehat, aman, produktif dan terbebas dari penyakit,” kata Awalil dalam diskusi bertajuk Ancaman Kelaparan saat Ambisi Swasembada Pangan, Selasa, 5 November 2024.
Ia beraharap, masyarakat memiliki pemahaman yang mendalam terkait dengan swasembada pangan agar tidak terjebak dengan anggapan bahwa produksi pangan harus selalu melebihi konsumsi total. Karena, menurutnya, kelebihan pasokan pangan dapat dicapai melalui impor.
Lebih jauh, ia menyebut ketahanan pangan juga lebih dari sekadar petani sejahtera, tapi juga harus diketahui siapa yang memproduksi pangan, sustainable dalam proses produksi pangan dan keterkaitannya dengan ketahanan nasional.
“Kita bisa mengambil titik tengah dari definisi-definisi itulah. Jangan sampai kita nanti menerima informasi bahwa soal swasembada pangan telah tercapai ketika data produksi melebihi data konsumsi, apalagi jika data ketersediaan, ketersediaan kan berarti gak hanya dari produksi, bisa dari impor,” tegasnya.
Ia berharap agar klaim swasembada seperti di era Soeharto atau Jokowi tidak terulang dan di pemerintahan yang baru, semua pembelajar di bidang ekonomi mengetahui apa itu swasembada pangan dalam arti yang lebih luas sehingga mampu memberikan kritik yang membangun.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.