KABARBURSA.COM - Bagi penggemar Elon Musk, ini adalah taruhan setengah triliun dolar. Itu nilai kapitalisasi pasar Tesla yang meroket sejak pemilu presiden AS, lonjakan yang tetap bertahan meski laporan keuangan terbaru sebenarnya cukup mengecewakan.
Investor tampaknya yakin kebijakan Presiden Donald Trump akan lebih banyak menguntungkan Tesla dibanding merugikannya. Rencana Trump yang ingin memangkas regulasi di Washington serta menggunakan tarif impor sebagai alat negosiasi dengan mitra dagang utama dinilai bisa membawa angin segar bagi bisnis Musk.
“Ini akan jadi era keemasan untuk Tesla dan Musk. Ini adalah momen paling optimistis yang pernah saya dengar dari Musk,” ujar analis keuangan Wedbush Securities, Dan Ives, dikutip dari AP di Jakarta, Senin, 3 Februari 2025.
Berinvestasi di Tesla memang sejak awal selalu penuh risiko. Peluang Elon Musk untuk sukses membangun perusahaan mobil listrik sejak awal memang kecil. Lebih kecil lagi kemungkinannya untuk menjadikan Tesla sebagai produsen otomotif paling berharga di dunia, sekaligus menjadikan dirinya orang terkaya di planet ini. Namun, kali ini, taruhan yang diambil terasa lebih berisiko dibanding sebelumnya.
Musk sendiri yakin nilai sesungguhnya dari Tesla ada pada masa depan yang dipenuhi robot—ribuan unit di antaranya mungkin sudah akan beroperasi sebelum akhir tahun ini. Dia juga optimistis pada mobil tanpa pengemudi yang sepenuhnya otonom. Dalam konferensi investor Tesla, Musk menjanjikan layanan taksi tanpa sopir mulai Juni di Austin, Texas, dan berencana meluncurkannya ke seluruh negeri sebelum akhir tahun depan.
Apa yang mempercepat semua itu? Jawabannya adalah Trump—setidaknya menurut narasi yang berkembang—yang sudah memberi Musk kantor di Gedung Putih dan menunjuknya sebagai kepala di Department of Government Efficiency.
Menteri transportasi baru Trump, Sean Duffy, tampaknya akan berjalan sesuai rencana. Duffy berjanji menghapus regulasi berlebihan di sektor otomotif serta merancang aturan nasional yang seragam untuk teknologi kendaraan otonom. Aturan ini menggantikan kebijakan yang sebelumnya berbeda-beda di setiap negara bagian—sesuatu yang selama ini dikeluhkan Musk karena dianggap menghambat inovasi.
Yang mungkin lebih penting, Trump kini tampak melunak terhadap China, pasar utama bagi Tesla. Alih-alih tarif 60 persen yang ia ancam saat kampanye, Trump hanya mengenakan tarif tambahan 10 persen mulai Sabtu ini. Namun, keputusan Trump untuk mengenakan tarif terhadap Kanada dan Meksiko tetap bisa berdampak buruk bagi Tesla.
Chief Financial Officer Tesla, Vaibhav Taneja, pekan lalu mengatakan bisnis Tesla bisa terkena imbas karena banyaknya komponen yang bersumber dari luar negeri. Jika tarif 25 persen untuk Kanada dan Meksiko benar-benar diterapkan, Tesla bakal merasakan dampaknya secara signifikan.
Bukan hanya itu, Trump juga punya kebijakan lain yang berpotensi merugikan Tesla. Dia ingin menghapus insentif pajak senilai USD7.500 bagi pembeli mobil listrik—sesuatu yang selama ini membantu meningkatkan penjualan Tesla. Selain itu, Trump juga berniat menurunkan standar emisi yang bisa mengurangi bisnis Tesla dalam menjual regulatory credits ke produsen mobil lain yang gagal memenuhi regulasi lingkungan.
Selama tiga bulan terakhir 2024, Tesla menghasilkan USD692 juta hanya dari menjual regulatory credits—naik 60 persen dari tahun sebelumnya—dan hampir seluruhnya masuk sebagai keuntungan bersih bagi perusahaan. Jika regulasi emisi dikendurkan, sumber pendapatan ini bisa menyusut drastis.
Masih ada satu hal yang belum jelas, yakni apakah pemerintahan Trump akan menghentikan penyelidikan terhadap teknologi Full Self-Driving Tesla yang selama ini dikritik karena namanya menyesatkan—sebab mobilnya tetap bisa memerlukan intervensi manusia kapan saja.
Pada Oktober lalu, National Highway Traffic Safety Administration (NHTSA), badan keselamatan transportasi AS, membuka penyelidikan terbaru terhadap teknologi ini setelah menerima laporan kecelakaan dalam kondisi visibilitas rendah, termasuk satu kasus yang menewaskan pejalan kaki.
Dalam sidang dengan Senat bulan lalu, Menteri Transportasi Duffy berjanji tidak akan membiarkan tekanan politik mempengaruhi penyelidikan Tesla. “Kami akan mengikuti fakta,” ujarnya.
Musk tampaknya memang membutuhkan semua kemudahan regulasi yang bisa ia dapatkan dari Trump. Pada awal Januari, Tesla melaporkan penjualannya mengalami penurunan sepanjang 2024—yang pertama kali dalam lebih dari satu dekade—karena persaingan yang makin ketat dari BMW, Volkswagen, serta BYD asal China.
Kemudian pada Rabu lalu, Tesla melaporkan pendapatan, laba, dan berbagai indikator keuangan lainnya tidak memenuhi ekspektasi analis. Tapi, yang mengejutkan, saham Tesla malah naik. “Hal-hal yang bisa menghancurkan harga saham produsen mobil lain,” kata analis Morningstar, Seth Goldstein, “tampaknya tidak berpengaruh pada Tesla.”
Bagi pemegang saham Tesla, bisnis saja tidak cukup untuk dipantau—mereka juga harus terus mengawasi CEO-nya. Belakangan ini, itu berarti harus memperhitungkan langkah politik Elon Musk yang makin liar.
Di Eropa, yang merupakan salah satu pasar utama Tesla, Musk secara terbuka mendukung Alternative for Germany (AfD), partai sayap kanan yang kontroversial. Ia juga menyebut Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, sebagai “diktator jahat” yang memimpin “negara polisi yang tirani.”
Di AS, saat pelantikan presiden, Musk melakukan gestur lengan lurus dalam sebuah pidato yang langsung memicu spekulasi sebagai salut ala Nazi. Ia menertawakan tuduhan tersebut, tapi gelombang protes tetap tak terhindarkan. Di Jerman, gambar Musk dengan gestur itu dipajang di pabrik Tesla yang megah di luar Berlin sebagai bentuk demonstrasi.
Di Italia, sebuah kelompok pemuda komunis menggantung patung tiruan Musk dalam posisi terbalik di alun-alun Milan—tempat yang sama di mana Benito Mussolini dulu juga digantung dalam kondisi serupa. “Berapa banyak pembeli Tesla yang sebenarnya sepakat dengan Musk?” kata analis senior di firma riset otomotif Jato Dynamics, Felipe Munoz. “Saya tidak melihat alasan mengapa ia harus membuat calon pelanggan menjauh.”
Musk juga berisiko membuat regulator Eropa tidak senang, terutama saat ia sedang berusaha mendapatkan izin penggunaan teknologi Full Self-Driving di benua itu. Jika investor mulai kehilangan kepercayaan pada Musk, maka Tesla akan jatuh dari ketinggian yang sangat berbahaya.
Kenaikan harga saham Tesla sejak pemilu AS saja sudah bernilai lebih besar dari total output ekonomi tahunan 160 negara. Kapitalisasi pasar Tesla kini mencapai sekitar USD1,3 triliun—lebih tinggi dibanding gabungan nilai General Motors, BMW, Ford, Ferrari, Porsche, dan belasan produsen mobil besar lainnya.
Namun bagi Musk, itu masih belum cukup. “Saya melihat jalan bagi Tesla untuk menjadi perusahaan paling bernilai di dunia—dengan margin yang sangat besar,” ujarnya pada Rabu lalu, sebelum menguatkan pernyataannya lebih jauh. “Ada skenario di mana Tesla bernilai lebih dari gabungan lima perusahaan terbesar berikutnya.”
Itu berarti Tesla harus melewati raksasa seperti Microsoft, Apple, dan Nvidia. Saat ini, Tesla masih berada di peringkat tujuh dalam daftar perusahaan paling berharga di S&P 500.
Menurut Dan Ives dari Wedbush—analis yang sebelumnya menyebut Tesla akan memasuki era keemasan—saham Tesla memang hanya akan terus naik dari sini. “Taruhan terbesar yang dibuat Musk adalah pada Trump,” kata Ives. “Musk akan punya pengaruh besar dalam deregulasi di Washington—dan itu setara dengan nilai triliunan dolar.”(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.