KABARBURSA.COM – Analis Monex Investindo Futures Ariston Tjendra, menyoroti adanya kesalahan kalkulasi nilai tukar USD/IDR yang ditampilkan oleh Google Search.
Menjadi perbincangan hangat sejak Sabtu sore, 1 Februari 2025, Google menampilkan nilai tukar rupiah di level 8.170,65 per dolar AS, angka yang dinilai jauh dari kondisi pasar yang sebenarnya.
“Saya pikir, ini merupakan kesalahan dari kalkulasi Google Search untuk USD/IDR. Jika saya cek, nilai tukar regional lainnya, seperti USD/SGD, USD/PHP, dan USD/KRW, hasilnya masih sesuai dengan kondisi pasar saat ini,” ujar Ariston, kepada awak media di Jakarta, Sabtu, 1 Febuari 2025.
Menurutnya, nilai tukar rupiah di pasar keuangan masih berada di kisaran 16.304 per dolar AS. Kesalahan tersebut diduga terjadi karena Google secara tidak tepat membagi dua nilai tukar yang sebenarnya.
Sementara itu, sumber data utama yang digunakan pasar keuangan, seperti Bloomberg dan Reuters, masih menunjukkan angka yang lebih realistis.
“Bloomberg masih memperlihatkan angka yang sama, di kisaran 16.300-an, sementara Reuters menunjukkan angka 16.271,” tambah Ariston.
Ia menegaskan bahwa tidak mungkin rupiah menguat drastis dalam waktu singkat, kecuali ada intervensi besar seperti redenominasi oleh Bank Indonesia.
“Tanpa kebijakan tersebut, penguatan rupiah yang begitu cepat tidak masuk akal,” pungkasnya.
Posisi kurs rupiah yang berada di level 8.000-an ini tentu saja menjadi pembahasan menarik. Apalagi, Google dikenal sebagai mesin pencarian yang handal. Banyak warga net yang memberikan komentar terkait ‘penguatan’ rupiah secara tiba-tiba ini.
“Data source google ngaco, dan menyebabkan informasi yang salah. 1 USD = 8000 IDR. Kenyataannya, USDIDR masih di kisaran 16300,” tulis emperor penguin di salah satu media sosial X, dikutip Sabtu, 1 Februari 2025.
Komentar lainnya datang dari akun X bernama Zulfikar Akbar. “Ikut kaget dapat kabar USD anjlok, senang rupiah menguat. Ngecek berita terbaru dan BCA (baca), sepertinya Google sedang pusing,” komentar akun tersebut.
Bank Indonesia sendiri sudah memberikan jawaban terkait hal ini.
“Data Bank Indonesia mencatat, kurs Rp16.312 per dolar AS pada tanggal 31 Januari 2025,” kata Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso, dalam keterangan resmi yang diterima Kabarbursa.com, Sabtu, 1 Februari 2025.
Menurut Ramdan, saat ini BI sedang berkoordinasi dengan pihak Google Indonesia terkait ketidaksesuaian tersebut. Hal ini diperlukan untuk dapat melakukan koreksi terhadap tampilan Google sore tadi.
Terkait hal ini, Communication Manager Google Indonesia Feliciana Wienathan, memberikan jawaban.
“Kami menyadari adanya masalah yang mempengaruhi informasi nilai tukar Rupiah (IDR) di Google Search. Data konversi mata uang berasal dari sumber pihak ketiga. Ketika kami mengetahui ketidakakuratan, kami menghubungi penyedia data untuk memperbaiki kesalahan secepat mungkin,” kata Feliciana dalam keterangan resminya yang disampaikan kepada Kabarbursa.com, Sabtu, 1 Januari 2025, pukul 21.43 WIB.
Diketahui, rupiah mengalami tekanan berat setelah kembali mendapat hantaman dari kebijakan proteksionis Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Ancaman tarif perdagangan terhadap negara-negara BRICS yang mencoba mengurangi ketergantungan pada dolar AS, menjadi pemicu utama pelemahan mata uang Garuda dalam beberapa hari terakhir.
Sentimen negatif yang datang dari Washington membuat investor semakin berhati-hati terhadap risiko perang dagang yang berpotensi merugikan stabilitas ekonomi global, termasuk Indonesia.
Trump, yang selama ini dikenal dengan kebijakan proteksionisnya, kembali memperingatkan negara-negara BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, agar tidak meninggalkan dolar dalam transaksi perdagangan internasional.
Jika kelompok tersebut tetap melanjutkan upayanya menciptakan mata uang alternatif, Trump mengancam akan mengenakan tarif perdagangan hingga 100 persen sebagai bentuk balasan.
Selain itu, Trump juga memperluas ancaman dagangnya dengan menargetkan Meksiko dan Kanada. Ia menuntut kedua negara tersebut untuk menghentikan pengiriman fentanil ke AS dan mengancam akan menerapkan tarif 25 persen atas ekspor mereka.
Kebijakan serupa terhadap Tiongkok dengan rencana tarif 10 persen turut memperburuk sentimen pasar keuangan global.
Ketidakpastian ini semakin menekan nilai tukar rupiah, terutama karena dolar AS masih menjadi mata uang cadangan utama dunia. Sebuah studi dari Pusat GeoEkonomi Dewan Atlantik tahun lalu menunjukkan bahwa meskipun ada upaya diversifikasi, baik euro maupun mata uang negara-negara BRICS belum mampu menandingi dominasi dolar.
Di sisi kebijakan moneter, keputusan Federal Reserve untuk mempertahankan suku bunga acuannya menunjukkan pendekatan yang lebih berhati-hati dalam menghadapi tekanan inflasi dan ketidakpastian ekonomi global.
Langkah ini memperkuat posisi dolar, membuat investor semakin defensif, dan memberikan tekanan tambahan terhadap mata uang negara berkembang seperti rupiah.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.