KABARBURSA.COM - Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo, menyoroti kontribusi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dalam sektor perbankan nasional yang mencapai sekitar 4,5 persen. Namun, ia menekankan bahwa angka kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) yang dilaporkan mencapai 12 persen perlu menjadi perhatian serius.
“Kalau kita bandingkan, kontribusi BPR di Banten secara nasional sekitar 4,5 persen. Namun, yang perlu dicermati adalah kenaikan NPL yang cukup tinggi, yakni sekitar 12 persen. Ini harus diwaspadai,” ujar Andreas dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 31 Januari 2025.
Selain itu, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menyoroti penyebab utama penutupan sejumlah BPR di Banten dan berbagai wilayah lain. Ia mengungkapkan sebagian besar kasus penutupan BPR masih berkaitan dengan dugaan praktik kecurangan atau penipuan yang dilakukan oleh pengurus maupun pemiliknya.
“Permasalahan yang menyebabkan BPR tutup masih berkutat pada hal yang sama, yaitu terjadinya fraud oleh pengurus atau pemilik, selain juga masalah sumber daya manusia dan teknologi,” katanya.
Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat, sejak mulai beroperasi pada 2005 hingga 31 Desember 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencabut izin usaha delapan BPR di Banten yang kemudian dilikuidasi oleh LPS. Pada 2024, terdapat 21 BPR/BPRS yang berstatus Bank Dalam Resolusi, termasuk PR EDC Cash di Banten yang tengah dalam proses likuidasi setelah izin usahanya dicabut.
Selain permasalahan NPL dan tata kelola yang buruk, tantangan lain bagi BPR adalah pemenuhan ketentuan Modal Inti Minimum sebesar Rp6 miliar sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK No. 5/POJK.03/2015 Pasal 13. Andreas menilai bahwa banyak BPR masih belum mampu memenuhi regulasi ini, yang berpotensi menghambat operasional mereka.
“Selain itu, ada juga BPR yang belum memenuhi ketentuan Modal Inti Minimum sebesar Rp6 miliar. Ini perlu diperhatikan, termasuk dalam penerapan pencadangan dana,” jelas Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR RI ini.
Melalui Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), ia berharap BPR bisa lebih berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi di daerah.
Sebagai informasi, UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK mengubah istilah Bank Perkreditan Rakyat menjadi Bank Perekonomian Rakyat. Perubahan ini diharapkan dapat mendorong peran BPR agar lebih optimal dalam menopang perekonomian masyarakat, khususnya di sektor UMKM dan ekonomi lokal.
Pengamat perbankan Paul Sutaryono mengatakan konsolidasi perbankan di sektor BPR dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) merupakan langkah mendesak dan penting. Pernyataan ini merespons penerbitan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 7 Tahun 2024 yang bertujuan memperbarui ketentuan kelembagaan, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan BPR/BPRS.
Menurut Paul, langkah ini penting mengingat jumlah BPR/BPRS yang mencapai lebih dari 1.000 entitas, yang sering kali menghadapi masalah tata kelola dan pengawasan.
Konsolidasi sangat penting untuk meningkatkan efektivitas pengawasan OJK. Dengan banyaknya jumlah BPR/BPRS saat ini, risiko salah kelola dan fraud menjadi tantangan besar, seperti yang terlihat dari penutupan 20 BPR/BPRS sepanjang 2024.
“Padahal bank itu berperan besar dalam menggerek perekonomian masyarakat terutama mikro dan kecil,” kata Paul kepada KabarBursa.
Ia menambahkan, konsolidasi akan memberikan manfaat besar, termasuk memperkuat permodalan dan meningkatkan daya saing bank melalui penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.
POJK 7/2024, yang mulai berlaku pada 30 April 2024, mengatur sejumlah aspek kelembagaan, termasuk modal minimum berdasarkan zonasi wilayah, transformasi izin usaha, serta perubahan kepemilikan yang memerlukan persetujuan OJK. Regulasi ini bertujuan menciptakan BPR/BPRS yang lebih stabil dan kompetitif dalam menghadapi tantangan ekonomi modern. Modal yang lebih besar memungkinkan BPR/BPRS untuk menghadapi berbagai risiko, seperti kredit, pasar, operasional, dan likuiditas.
Selain modal, Paul menyoroti pentingnya penerapan tata kelola yang lebih baik di BPR/BPRS. Menurutnya, tata kelola yang kuat akan menghasilkan kinerja yang lebih stabil, meningkatkan kepercayaan nasabah, dan memperkuat posisi bank dalam mendukung pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Dengan regulasi baru ini, BPR/BPRS juga diberi kesempatan untuk memanfaatkan digitalisasi, termasuk menyediakan terminal perbankan elektronik untuk meningkatkan efisiensi operasional dan aksesibilitas layanan.
POJK 7/2024 juga mewajibkan konsolidasi bagi BPR/BPRS dalam grup kepemilikan yang sama dengan tenggat waktu dua tahun untuk entitas non-pemerintah daerah dan tiga tahun untuk yang dimiliki pemerintah daerah. Langkah ini diyakini akan mempercepat penguatan permodalan, memperbaiki infrastruktur teknologi informasi, dan meningkatkan efisiensi tata kelola.
Paul menyimpulkan konsolidasi BPR/BPRS bukan hanya langkah untuk memperkuat kelembagaan, tetapi juga upaya strategis untuk memastikan kontribusi BPR/BPRS terhadap inklusi keuangan dan perekonomian nasional.
“Dengan konsolidasi perbankan melalui penggabungan, peleburan dan pengambilalihan, bank itu akan meiliki modal yang lebih besar,” katanya.(*)