Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Krisis Pangan Berakar di Desa, Sofyan Sjaf: Salah Kelola dan Data Tidak Akurat

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 30 January 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Krisis Pangan Berakar di Desa, Sofyan Sjaf: Salah Kelola dan Data Tidak Akurat

KABARBURSA.COM – Dekan Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University, Sofyan Sjaf, menyoroti kegagalan pemerintah dalam mengelola desa sebagai pusat produksi pangan. Menurutnya, desa memiliki potensi ekonomi yang besar, tetapi terus-menerus dipinggirkan oleh kebijakan yang tidak berpihak pada kemandirian pangan nasional.

"Ini fakta-fakta yang perlu kita lihat. Bahwa faktanya hari ini adalah desa sebagai tempat atau lokus produksi dan reproduksi pangan serta potensi ekonomi rumah tangga itu benar-benar terjadi. Tetapi apa yang kemudian realitasnya? Ini tidak pernah dikelola dengan baik oleh pemerintah. Malah impor bahan tidak pernah berhenti akibat desa-desa tersebut identik dengan ketinggalan dan kantong kemiskinan," ujar Sofyan dalam sebuah diskusi publik, Kamis 30 Januari 2025.

Ia mengungkapkan bahwa fenomena lost generation di sektor pertanian semakin nyata. Data menunjukkan bahwa mayoritas petani saat ini berusia di atas 40 tahun, sementara generasi muda enggan terjun ke sektor pangan.

"Fakta kedua, tidak ada lagi pemuda yang kemudian mau bergabung untuk memproduksi padi, memproduksi tanaman pangan, dan sebagainya. Buktinya, 61,8 persen persen petani itu berusia di atas 40 tahun, sementara hanya 12,6 persen petani itu berusia di bawah 32 tahun," tegasnya.

Lebih lanjut, Sofyan juga menyoroti besarnya perputaran uang di desa yang selama ini terabaikan dalam perencanaan ekonomi nasional. Berdasarkan hasil studinya, desa-desa di Jawa yang mencakup hampir 60 persen dari total 74.000 desa di Indonesia memiliki perputaran uang sekitar Rp4-7 miliar per bulan. Sementara itu, desa-desa di luar Jawa memiliki perputaran uang sekitar Rp400 juta hingga Rp2 miliar per bulan, tergantung jumlah penduduknya.

"Bayangkan, Rp4-7 miliar per bulan per putaran uang untuk memenuhi kebutuhan food consumption di desa-desa Jawa. Di desa-desa luar Jawa bisa kemudian Rp400 juta, Rp500 juta, sampai Rp2 miliar tergantung dari penduduknya. Artinya lagi-lagi persoalan pangan adalah persoalan yang luar biasa sekali," jelasnya.

Sofyan juga mengkritik bagaimana sektor impor pangan justru dikuasai oleh para konglomerat yang memiliki bisnis di berbagai sektor, termasuk properti.

"Menariknya adalah kalau kita melihat orang-orang terkaya kita, coba cek satu per satu perusahaannya di Indonesia khususnya, pasti memiliki perusahaan impor pangan. Sejago-jago perusahaan properti yang mereka miliki, tetapi dia pasti memiliki perusahaan impor pangan. Mengapa? Karena impor pangan itu adalah ekonomi kuantum. Hasilnya atau mungkin marginnya sedikit, tapi kalau dikalikan ribuan, jutaan, atau puluhan jutaan, maka jumlahnya akan besar," ungkapnya.

Sofyan menilai bahwa pemerintah gagal menciptakan kebijakan pangan yang berpihak pada petani dan ekonomi desa. Dana desa yang seharusnya bisa menjadi instrumen penguatan ekonomi justru tidak tepat sasaran. Ia juga menyoroti buruknya pengelolaan data yang menyebabkan berbagai persoalan seperti korupsi, ketimpangan kepemilikan lahan, dan ketidaktepatan kebijakan.

"Kebaruan pendekatan yang kurang dimaknai, alokasi pengguna dana desa juga tidak tepat sasaran untuk pengembangan ekonomi desa. Terlebih lagi adalah BUMDes sebagai kekuatan ekonomi lokal, ekonomi desa tidak kemudian mampu dirancang untuk melakukan konsolidasi ekonomi desa," ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa tanpa data yang akurat, demokrasi tidak akan bisa berjalan dengan baik. Sofyan menyoroti salah satu fakta yang ada adalah kesimpangsiuran mengenai luas tanah dan berbagai hal lainnya disebabkan oleh masalah ketidaktersediaan data yang diperlukan.

"Demokrasi tidak akan mungkin hidup tanpa data yang akurat atau presisi. Inilah yang kemudian menyebabkan banyak persoalan korupsi terjadi di mana-mana, kemudian kesimpangsiuran luas tanah, dan sebagainya ini karena persoalan data yang tidak dimiliki. Nah, ini adalah fakta-faktanya," pungkas Sofyan.

Agenda Besar Pemerintah

Presiden Prabowo Subianto optimistis Indonesia akan mencapai swasembada pangan lebih cepat dari target yang telah ditetapkan. Presiden RI ke-8 itu menyebut bahwa capaian ini akan menjadi salah satu kejutan besar pemerintahannya.

“Saya kira secara garis besar target kita makin jelas. Swasembada pangan kita jalankan 4 tahun, tapi ternyata kita akan kaget, sebelum 4 tahun kita akan swasembada pangan,” ujar Prabowo dalam pidatonya di Musyawarah Nasional Konsolidasi Persatuan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di The Ritz-Carlton, Jakarta, Kamis, 16 Januari 2025.

Selain swasembada pangan, Prabowo juga menyoroti pentingnya kemandirian energi sebagai salah satu agenda besar pemerintah.

Menurutnya, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi terbarukan secara signifikan. “Swasembada energi juga. Tidak banyak negara yang punya energi terbarukan yang utuh dan substansial,” tambahnya.

Lebih jauh, Prabowo menekankan bahwa pemerintah akan melakukan investasi besar-besaran di berbagai sektor untuk mendorong pencapaian tersebut. Namun, ia meminta masyarakat bersabar, mengingat dirinya baru memimpin selama tiga bulan.

“Saya baru 3 bulan, sabar sedikit. Bulan ke-5, baru dirasakan. Ini bukan business as usual. Kita akan lari,” ujarnya. (*)