KABARBURSA.COM - Dolar AS mencatat penguatan terhadap mata uang utama pada Rabu waktu setempat, 29 Januari 2025 atau Kamis dinihari WIB, 30 Januari 2025. Penguatan dolar terjadi setelah Federal Reserve memutuskan untuk mempertahankan suku bunga tetap stabil.
Keputusan ini sesuai dengan ekspektasi pasar, tetapi para pelaku keuangan menyoroti kurangnya kejelasan dari bank sentral mengenai kemungkinan pemotongan suku bunga lebih lanjut tahun ini.
Dalam keputusan yang diambil secara bulat, The Fed menetapkan suku bunga overnight tetap berada dalam kisaran 4,25 persen hingga 4,50 persen. Sikap ini mencerminkan strategi menunggu dan mengamati, di mana bank sentral memilih untuk tidak terburu-buru mengambil langkah lanjutan sebelum memperoleh data yang lebih jelas terkait inflasi, pasar tenaga kerja, serta dampak kebijakan ekonomi pemerintahan Presiden Donald Trump.
Karl Schamotta, Chief Market Strategist Corpay, menilai bahwa pernyataan The Fed kali ini cenderung hawkish. Meskipun fundamental ekonomi AS menunjukkan prospek yang cukup kuat, namun ketidakpastian masih tinggi, terutama dalam hal kebijakan fiskal, perdagangan dan belanja negara di bawah pemerintahan yang baru.
Para pejabat The Fed menegaskan bahwa mereka tidak akan merespons secara prematur sebelum kebijakan pemerintah benar-benar diimplementasikan dan mulai tercermin dalam data ekonomi.
Kondisi ini mendorong dolar AS menguat 0,51 persen terhadap franc Swiss. Sementara terhadap yen Jepang, mata uang AS justru mengalami sedikit pelemahan sebesar 0,09 persen menjadi 155,37. Indeks Dolar (DXY), yang mengukur kinerja greenback terhadap enam mata uang utama dunia termasuk euro dan yen, tercatat naik 0,2 persen ke level 108,14.
Kenaikan nilai dolar ini menunjukkan bahwa pelaku pasar masih menilai ekonomi AS dalam posisi yang cukup solid meski kebijakan moneter saat ini masih dalam mode bertahan.
Para investor akan terus mencermati pernyataan The Fed di masa mendatang, terutama terkait arah kebijakan suku bunga, serta bagaimana kebijakan ekonomi pemerintahan Trump memengaruhi prospek pertumbuhan dan stabilitas pasar global.
Stabilnya suku bunga acuan Federal Reserve atau Fed Rate, memupus harapan kemungkinan Bank Indonesia memangkas BI Rate.
Apalagi sebelumnya Donald Trump menyuarakan keinginannya untuk melemahkan dolar AS guna meningkatkan daya saing ekspor dan mengurangi impor. Langkah ini bertujuan untuk menghidupkan kembali industri manufaktur AS, tetapi juga menunjukkan kontradiksi karena Trump tetap ingin dolar menjadi mata uang dominan di dunia. Ia bahkan mengancam negara-negara BRICS, termasuk Indonesia, yang mulai mempertimbangkan dedolarisasi.
Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana, menilai bahwa kebijakan Trump ini memberi ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk lebih leluasa menurunkan suku bunga tanpa terlalu menekan rupiah.
Keinginan Trump untuk melemahkan dolar membuat BI lebih percaya diri menurunkan suku bunga. Dampak depresiasi rupiah akibat pemangkasan suku bunga bisa diimbangi oleh kebijakan Trump ini,” ujar Andri kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Rabu 29 Januari 2025.
Ia menjelaskan bahwa setelah BI menurunkan suku bunga 25 basis poin, indeks dolar AS (DXY) turun dari 110,1 pada 13 Januari menjadi 107,9. Kondisi ini mengurangi tekanan terhadap rupiah dan memberi pemerintah serta BI peluang untuk melonggarkan kebijakan moneter tanpa mengorbankan stabilitas nilai tukar.
Namun, Andri mengingatkan bahwa kebijakan Trump juga penuh kontradiksi, terutama terkait tarif impor. “Trump ingin dolar lebih lemah, tetapi di saat yang sama menerapkan tarif tinggi pada impor. Ini akan memicu kenaikan harga barang di AS dan bisa memaksa The Fed menahan penurunan suku bunga,” jelasnya.
Menurut Andri, AS adalah negara net importir terbesar di dunia, dan kebijakan tarif akan menaikkan harga barang konsumsi dalam jangka pendek. Di sisi lain, Trump sendiri baru-baru ini menyatakan suku bunga AS terlalu tinggi dan ingin segera menurunkannya, yang berisiko mengganggu independensi The Fed dan mempercepat pelemahan dolar.
Sementara itu, kebijakan Trump yang mendorong depresiasi dolar memang bisa memberi ruang bagi BI untuk menjaga rupiah dan menurunkan suku bunga. Namun, efek proteksionisme AS tetap menjadi ancaman serius bagi Indonesia.
“Jika AS semakin membatasi impor, Indonesia akan kebanjiran produk manufaktur dari China dan negara lain yang kehilangan akses ke pasar AS. Ini bisa memperburuk kondisi industri manufaktur Indonesia yang sudah mengalami deindustrialisasi dini,” tutur Andri.
Indonesia juga berisiko menjadi target langsung proteksionisme Trump, mengingat ekspor utama ke AS meliputi barang manufaktur seperti mesin, perlengkapan listrik, tekstil, minyak nabati, dan produk olahan lainnya. Selain itu, status Indonesia sebagai anggota penuh BRICS bisa semakin memperumit neraca perdagangan akibat kebijakan proteksionisme AS.
“Pemerintah harus bersiap menghadapi dampak ini dengan memperkuat daya saing industri dan mencari pasar ekspor alternatif agar tidak terlalu bergantung pada AS,” pungkas Andri.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.