Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Demi Swasembada Energi, Pemerintah Optimalkan Ekspor Minyak Mentah

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 29 January 2025 | Penulis: Syahrianto | Editor: Redaksi
Demi Swasembada Energi, Pemerintah Optimalkan Ekspor Minyak Mentah

KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmen kuat dalam memperkuat kemandirian energi nasional. Ke depan, ekspor minyak mentah akan dioptimalkan agar sebanyak mungkin dapat dimanfaatkan oleh kilang dalam negeri, sehingga produksi bahan bakar minyak (BBM) nasional dapat meningkat.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa pemerintah akan mengalihkan seluruh minyak mentah bagian negara yang sebelumnya direncanakan untuk diekspor agar dapat diproses di kilang domestik.

Selain itu, minyak mentah bagian kontraktor yang tidak memenuhi spesifikasi juga akan diolah dan dicampur agar sesuai dengan standar yang diperlukan untuk konsumsi kilang dalam negeri. Kebijakan ini menjadi langkah strategis dalam mempercepat tercapainya swasembada energi.

"Sesuai arahan Presiden Prabowo, kami telah meminta kilang-kilang dalam negeri untuk memanfaatkan seluruh crude, termasuk yang sebelumnya dianggap tidak sesuai spesifikasi. Dengan demikian, ekspor crude semakin berkurang," ujar Bahlil, dikutip dari laman esdm.go.id, Rabu, 29 Januari 2025.

Pemerintah juga terus meningkatkan kapasitas dan fleksibilitas teknologi kilang dalam negeri. Kilang-kilang utama seperti Balikpapan, Cilacap, dan Dumai kini mampu mengolah minyak mentah dengan spesifikasi beragam, termasuk jenis yang sebelumnya dianggap tidak memenuhi standar. Selain itu, percepatan pembangunan kilang baru seperti Kilang Tuban dan Balongan terus didorong untuk meningkatkan kapasitas pengolahan dalam beberapa tahun ke depan.

Tahun ini, ekspor minyak mentah diperkirakan mencapai sekitar 28 juta barel, dengan target optimalisasi 12-13 juta barel untuk menambah pasokan bagi kilang dalam negeri. Untuk merealisasikan hal tersebut, Kementerian ESDM meminta Satuan Kerja Khusus Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), serta PT Pertamina (Persero) untuk mengimplementasikannya.

"Kami mendorong SKK Migas, KKKS, dan Pertamina agar minyak mentah domestik dapat memberikan nilai tambah dalam negeri, sekaligus mengurangi impor," tutup Bahlil.

Harga Minyak Dunia Mulai Naik

Harga minyak dunia kembali naik di awal perdagangan, tapi tetap tertekan di tengah sentimen risk-off di pasar global dan ancaman tarif dari Presiden AS Donald Trump.

Minyak mentah Brent menguat 0,6 persen ke USD76,65 per barel (sekitar Rp1,22 juta), sementara West Texas Intermediate (WTI) naik 0,6 persen ke USD73,64 per barel (sekitar Rp1,18 juta). Kenaikan ini terjadi setelah keduanya anjlok lebih dari 2 persen di sesi perdagangan sebelumnya.

Analis ING dalam catatannya mengatakan pasar komoditas ikut terseret aksi jual besar-besaran di pasar saham. “Pasar komoditas tidak luput dari aksi jual besar-besaran yang melanda pasar saham, sementara ancaman tarif baru hanya semakin memperburuk sentimen investor,” katanya dikutip dari Wall Street Journal di Jakarta, Kamis 29 Januari 2025.

Ancaman perang dagang global kembali mencuat setelah Trump mengisyaratkan kebijakan tarif baru terhadap mitra dagang utama AS. Ancaman ini diyakini bisa menggerus permintaan energi global.

Tak cukup dengan itu, pada Senin lalu, Trump juga disebut-sebut berencana mengenakan tarif pada chip impor, obat-obatan, dan beberapa jenis logam, yang membuat dolar AS makin perkasa. Kondisi ini makin menambah tekanan pada harga minyak karena penguatan dolar membuat harga minyak yang diperdagangkan dalam dolar menjadi lebih mahal bagi pembeli non-AS.

Sementara itu, di Libya, aksi protes lokal sempat menghambat aktivitas pengapalan minyak di pelabuhan Es Sider dan Ras Lanuf pada Selasa kemarin. Hal ini lantas mengancam ekspor sekitar 450 ribu barel per hari. Tapi, kepanikan mereda setelah perusahaan minyak negara, National Oil Corp, memastikan ekspor masih berjalan normal setelah berdialog dengan para demonstran.

“Pasar sempat mengantisipasi gangguan pasokan dari Libya, tapi setelah dikonfirmasi tidak ada gangguan, premi risiko langsung lenyap,” kata analis komoditas dari UBS, Giovanni Staunovo, dikutip dari Consumer News and Business Channel. Meski begitu, ia mengingatkan ancaman gangguan baru masih bisa muncul di masa depan.

Di China, kabar tak sedap datang dari sektor manufaktur. Data aktivitas manufaktur Januari yang dirilis Senin kemarin menunjukkan kontraksi tak terduga yang langsung menekan harga minyak. “Sentimen pasar yang sudah waspada ditambah data PMI China yang lemah makin menimbulkan keraguan soal prospek permintaan minyak China,” ujar analis dari IG, Yeap Jun Rong.

Situasi makin pelik setelah AS memberlakukan sanksi terbaru terhadap perdagangan minyak Rusia. Analis FGE memperkirakan kilang-kilang di Shandong bakal kehilangan pasokan hingga 1 juta barel per hari dalam waktu dekat, menyusul larangan dari Shandong Port Group terhadap kapal tanker yang terkena sanksi AS.

Beberapa kilang independen di China bahkan sudah menghentikan operasi atau bersiap melakukan perawatan tanpa batas waktu, akibat kebijakan tarif dan pajak baru yang makin menekan keuntungan mereka.

Sementara itu di AS, cuaca yang lebih hangat dari biasanya pekan ini mengurangi permintaan bahan bakar pemanas, setelah sebelumnya suhu ekstrem sempat memicu reli harga gas alam dan solar. Menurut analis dari Panmure Liberum, Ashley Kelty, pasar minyak masih dalam kondisi gelisah. “Butuh waktu sebelum kita benar-benar bisa melihat dampak dari kebijakan tarif dan sanksi AS,” katanya. (*)